logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 PENGENDARA BERMOTOR

Marisa memantau proses pemotretan Noya. Ia sesekali meminta Noya untuk melakukan berbagai fose dengan menggunakan atribut tas yang menjadi iklan mereka nanti. Ando hanya diam sambil memakani makaroni goreng kesukaannya tanpa menawari semua kru yang berada di ruangan itu.
"Cantik sekali, bukan?" Marisa meminta pendapat Ando dengan mencondongkan kepalanya ke arah pemuda itu dan matanya tidak lepas mengawasi Noya.
"Ya," jawab Ando seraya mengunyah makanannya.
"Minta dong, dari tadi mengunyah melulu." Marisa merebut paksa makanan Ando.
"Tapi-" Ando berusaha merebut kembali makanannya.
"Pelit banget sih," sindir Marisa seraya meraup habis camilan milik Ando dan memberikan bungkusnya pada pemuda itu.
Ando melotot tidak terima setelah membalik bungkus yang kini kosong di tangannya itu. "Sadis betul. Kenapa dihabiskan sih," omel Ando merasa tidak terima.
Marisa tidak memedulikan omelan Ando, Ia kini mendatangi Noya dan malah asyik berbincang dengannya sembari menyerahkan makaroni di telapak tangan Noya. "Camilan," katanya.
"Makasih, Bos," ucap Noya.
"Panggil kakak saja," pinta Marisa.
"Iya Kak," ucap Noya.
"Besok kamu ada pemotretan lagi. Jangan lupa datang jam 10 pagi," kata Marisa.
"Masih aku yang mendandanimu," kata Ando tepat di sebelah Noya.
Noya menghindar dan menatap Marisa. "Saya tidak mau," katanya.
"Kau boleh hajar dia kanan-kiri, atas-bawah. Pulang-pergi juga silakan, tak masalah bagiku," bisik Noya.
"Keterlaluan kalian ini. Kenapa kalian merencanakan penindasan atas diriku, lagian kenapa kalian berbisik tapi suaranya nyaring sekali sih?!" protes Ando. Wajahnya sudah masam dari tadi sejak melihat mereka berbisik.
Noya dan Marisa saling tatap dan kemudian mereka malah tertawa geli melihat Ando mengomel tidak jelas sendiri.
Noya keluar dari stadio pemotretan dengan senyum bahagia, ia tidak menyangka hidupnya bisa berjalan normal kembali seperti sedia kala. Seorang lelaki tidak sengaja menabraknya dan marah-marah.
"Kamu bisa jalan tidak. Matamu di mana?!" bentaknya.
Noya seperti mengenali suara itu ia segera memandang orang di depannya. "Kamu!" balas Noya marah.
"Ya, kenapa? Kaget karena ketahuan kamu lagi kerja di sini?" sinisnya. "Katanya dulu gak bakal ke sini ... gak tahunya kamu gak bisa dipercaya," sindirnya.
"Jangan urusi masalahku lagi! Urus saja gendak barumu itu!" bentak Noya.
"Ngomong apa tadi?!" Rang ingin menampar Noya, tapi niatnya untuk menyakiti mantan istrinya itu dicegah Ando.
"Kalau berani jangan sama cewek, OM. Sama saya saja," hina Ando dengan menangkis tangan Rang.
"Oh, jadi ini selingkuhanmu?" sindir Rang.
"Siapamu ini?" tanya Ando heran.
"Bukan siapa-siapa," jawab Noya dingin.
"Saya ini-" Rang ingin meralat jawaban Noya.
"Saya suaminya," akui Ando dengan wajah serius.
Noya terperangah mendengar pernyataan pemuda di sampingnya itu. Rang melotot marah pada mereka berdua, sedangkan Ando hanya mengawasi wajah Rang yang memerah marah.
"Baru dua hari kita bercerai kamu sudah menikah. Pantas sekali kamu tidak becus menjaga Gilang karena kamu asyik pacaran sama dia!" Rang menuding wajah Ando.
Ando menepis tangan Rang yang menudingnya, merasa tidak terima Rang malah meraih kerah baju pemuda itu berniat menghajarnya. Noya tidak bisa diam saja menerima perlakuan kasar Rang di depan matanya. Ia menarik lengan kiri Rang dan menjauhkannya dari Ando.
"Kurang aj-" Rang tidak bisa melanjutkan serapahnya karena Noya lebih dulu meninju perutnya dan berputar sembilan puluh derajat untuk menendangnya hingga Rang terjengkang ke tembok.
Ando ternganga melihat aksi Noya. Para pejalan kaki dan orang di sekitar sana menatap mereka semua, menjadikan mereka bahan tontonan yang seru. Noya menghampiri Rang yang kesusahan untuk berdiri, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Dulu aku diam karena kamu ayahnya Gilang. Sekarang aku tidak akan pernah membiarkanmu menyakitiku lagi," kata Noya seraya meraih kerah baju Rang. "Cih!" Noya membuang ludahnya ke wajah lelaki itu.
Noya menepuk pundak Ando sebelum meninggalkannya. Ia sempat tersenyum dan berucap. "Terima kasih" Ando tersenyum memandang kepergian Noya bersama mobilnya.
Noya kembali ke rumahnya dan langkahnya terhenti ketika akan memasuki rumah. Ia mengerutkan dahinya dan memandang motor hitam yang terparkir di depan sana. Ia segera menghampiri dan meraba jok motor itu dan memerhatikannnya dengan teliti setiap inci dari boddy motor. Ia menghafal plat motor tersebut. Pemiliknya datang, dengan cepat Noya berlari kembali ke mobilnya. Motor itu dibawa pengendaranya ke arah timur. Noya kembali menghidupkan mesin mobilnya dan mulai membuntuti si pengendara motor itu. ke manapun si pengendara motor itu melajukan motornya di situ juga Noya tidak akan melepaskannya.
Motor itu melaju di jalanan sepi, membuat Noya berkesempatan untuk menyalipnya. Sreet! Nyaris saja mobilnya menabrak si pengendara kalau motor itu tidak mengerem mendadak saat itu juga. Si pengendara yang mengenakan helm hitam itu marah dan segera turun dari motornya, berniat hendak melabrak Noya.
Tuk! Tuk! Tuk! Ia mengetuk kaca mobil kemudi samping agar Noya segera keluar untuk membuat perhitungan padanya. Noya tersenyum simpul, kemudian secara mendadak secepat kilat Noya membuka pintu mobil dengan sekali sentak hingga lelaki itu terjengkang karena terkena tamparan pintu mobil. Noya keluar dengan santai sembari berjalan pelan ke arahnya.
"Beraninya kamu!" bentak lelaki itu seraya berdiri tegap dan menuding Noya.
"Ke mana teman-temanmu yang lain?" tanya Noya. Kini mereka berdua saling berhadapan, saling tatap.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Kalian yang menculik anakku dan memenggal kepalanya. Di mana sekarang komplotan kalian?" tanya Noya lagi.
"Kamu bercanda. Aku sama sekali tidak mengerti," kilahnya seraya menepis telapak tangannya ke udara dan berniat meninggalkan Noya.
Noya meraih kerah belakang lelaki itu dan menjatuhkannya ke aspal. "Di mana mereka!" bentak Noya.
Merasa tidak terima dengan perlakuan Noya, lelaki itu bangkit dan menyerang Noya dengan tinjuannya. Noya menangkap tinjuannya dengan telapak tangan kirinya dan memutarnya hingga lelaki itu berteriak kesakitan merasa tangannya terpelintir oleh tenaga Noya. Noya meraih helm lelaki itu dan dengan paksa membukanya tanpa melepaskan siksaannya padanya.
"Katakan di mana mereka?" tanya Noya.
Lelaki bertubuh kurus dengan wajah berkumis itu menggeleng. "Tidak tahu!" jawabnya.
Noya tersenyum mencibir, Ia menggeleng lemah dan sesuatu yang tidak terduga, Noya menarik tinjuan pemuda itu agar mendekat dengannya. "Akh!" erang lelaki itu saat Noya menggigit telinganya hingga berdarah. Lelaki itu berhasil lepas dari Noya dan menutupi telinganya yang berdarah. "Kamu gila!" teriaknya seraya mundur berusaha menjauhi Noya yang maju selangkah demi selangkah mendekatinya.
Darah segar menghiasi bibir dan dagu Noya. Saat tertawa sangat meyeramkan seperti setan. "Katakan di mana mereka? Aku tidak segan-segan untuk menghabisimu saat ini juga kalau kamu tidak memberitahukan padaku sekarang," ancamnya.
"Aku tidak tahu!" Ia kekeh pada pendiriannya.
Noya mengambil helm yang ia jatuhkan ke tanah dan menimbang-nimbangnya. "Katakan saja, apa susahnya sih," Ia mendekat sambil membawa helm di tangannya.
"Kamu mau apa lagi?!" Lelaki itu melihat kanan-kiri untuk meminta pertolongan, tapi percuma saja karena tidak satu pun orang atau kendaraan yang melintas di sana.
"Sebutkan saja." Noya berhenti tepat saat lelaki itu terdesak ke badan pohon besar di belakangnya. "Sebutkan!" bentak Noya seraya mengayunkan helm itu ke arah kepala korbannya.
kepala lelaki itu pening seperti berputar-putar, pandangannya tidak stabil. Ia memandang Noya dengan banyak bayangan. Ia menggeleng kuat-kuat untuk menetralkan penglihatannya. Kepalanya berdarah akibat hantaman Noya tadi.
"Beritahu atau kupaksa seperti tadi?" tanyanya lagi.
"Ba-baik," jawab lelaki itu. Ia meraih ponselnya yang berada di saku belakang celananya dan menyerahkannya pada Noya. "Saya tidak tahu mereka, tapi mereka memberi penawaran melalui SMS untuk tugas itu," jujurnya.
Noya meraih ponsel itu dan membaca pesan yang berada di sana. "Dapatkan kepala sebanyak-banyaknya, maka kamu akan dihargai dengan uang seberat kepala yang kamu dapatkan nanti." Noya mengerutkan keningnya kemudian menyimpan ponsel itu di balik saku jaketnya sendiri.
"Bolehkah saya pergi sekarang?" tanya lelaki itu dengan wajah takut-takut.
Noya tersenyum dan mengusap kepala lelaki itu kemudian mengangguk. "Tentu, tapi ke neraka!" Dengan cepat Noya memutar kepalanya dan dengan seketika lelaki itu tewas.
Noya masuk ke mobilnya dan pulang ke rumahnya, meninggalkan korbannya terkapar di jalanan. Noya tiba di rumah. Ia berbaring tanpa melepaskan jaket merahnya. Perempuan ini amat lelah sehingga dirunya nyaris terlelap. Noya mendengar bel pintu. Ia melihat surat di selipkan di Pintu utama saat dirinya hendak membuka pintu. Noya meraihnya. Ia mulai membuka amplop putih seraya berjalan menuju kamar. Noya duduk di tepi ranjang kemudian membaca, "Noya, ini surat terakhir dari kakek. Kakek telah menitipkan pada seseorang. Kelak kau yang akan mewarisi perusahaan kakek, tetapi karena dirimu telah bersuami kakek mengubah keputusan. Anakmulah yang berhak.atas perusahaan kakek. Kakek harap kamu tidak marah, Noya. Tidak dendam terhadap keputusan yang kakek buat ini. Noya, kakek meminta maaf karena telah menjodohkanmu pada lelaki yang tidak tepat. Kakek menyesal! Noya semoga dirimu dan anakmu selalu bahagia," baca Noya. Ia mengisak seraya mencium surat tersebut. Betapa hancur hatinya saat tahu harapan kakeknya tidak akan pernah terwujud. Kini dirinya sendiri. Bahkan Har tidak bersamanya. "Kek, Gilang udah nggak ada!" isaknya. Ia menjerit histeris. Noya meremas surat kemudian kembali berbaring. Ia sungguh kesepian sat ini. Butuh teman untuk berbagi rasa sedih. Namun, siapa yang peduli. Pikirannya kini teralihkan pada Asyat. Pemuda itu menawarkan cinta untuknya. Noya merasa tidak ingin terlibat asmara kembali sebelum dendamnya lunas. Ia wajib membalasnya.
Sementara di tempat lain. Arsyat sedang termenung di mobil. Ia hela napas berulang kali. Mencoba menghapus Noya dari pikirannya, walau hanya sedetik. Namun tak sanggup. Noya terus ada di pikirannya. "Noya-Noya, kenapa wajahmu nggak bisa aku lupakan?" Ia mendesah kemudian alihkan pandangan pada jalan.
"Kok, ngelamun?" tanya Adi seraya menyerahkan stik eskrim kepada atasannya ini.
Arsyat menerimanya. "Aku nggak bisa fokus jerja. Selalu mikirin dia!"
"Namanya juga cinta, Pak. Fokuslah bekerja, nanti menganggur. Cinta juga butuh modal untuk hidup bersama."
Arsyat tersenyum geli. "Iya, paham, Pak!"
Adi tidak menjawab. Ia malah asyik dengan eskrimya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (511)

  • avatar
    NegeriAnak

    Novel ini memiliki alur hambel dan graudal sehingga mampu menjerat rasa penasaran pembaca. Perlahan kita jadi menikmati setiap kejadi-kejadian kecil dan kejadian yang besar. Konstruksi kisahnya seperti melukis di atas batu karam, dimana kisah ini memulai dari hal sosial yang hampir sama di setiap lingkungan hidup kita. Saya jadi semakin penasaran untuk lanjut membaca, karena kisah ini juga ibarat mendaki gunung. Namun setelah saya membaca ada beberapa ejaan dan kosa kata yang kurang hurufnya.

    06/02/2022

      0
  • avatar
    Fujii Ann

    Lanjut

    10/08

      0
  • avatar
    ALARM_THAILOOK

    keren cui novel nya bagus iii aku suka bangettt tpi lagi asli kalau dia sexy lagi bagussss

    08/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด