logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 SAKIT HATI

Noya menatap fotret Gilang, putranya yang manis dan menggemaskan saat difoto bersamanya di sebuah taman bermain. Tampak ia mengenakan baju merah dan putranya yang sedang mencium pipinya berpakaian merah pula. Ia tersenyum getir dan menangis sembari memeluk fotret kenangan mereka. Saat kejadian itu sang suami menyalahkannya dan menuntut cerai padanya. Ia masih mengingat kisah kelamnya dulu.
"Apa yang kamu kerjakan selama ini, kenapa menjaga anak saja tidak bisa?!" bentak pria bertubuh tegap dan bermata sipit kepadanya.
"Aku sudah berusaha menjaganya, Opa ... aku tidak salah!" Noya bersikeras membela diri di depan suaminya.
Pria berkebangsaan Korea itu tidak mau peduli. "Aku bawa kalian ke sini untuk tinggal dengan aman dan bisa menghabiskan kebersamaan kita dengan menyenangkan, tapi kamu malah mengacaukannya!" bentaknya lagi. "Aku tidak mau tahu. Kalau anak kita Gilang tidak ditemukan, maka kita bercerai saja!" ancamnya kemudian segera keluar dengan membanting pintu.
Noya mengepalkan tinjunya dan memukul dadanya sendiri. Ia sangat sedih dan menyesali setiap momen menyedihkan itu. "Aku akan membalas kalian. Aku akan membalas kalian!" teriaknya.
Sebuah piala dan foto terpajang di kamarnya. Foto di mana dulu ia pernah memenangkan juara beladiri tingkat satu internasional. Inilah saatnya ia memergunakan seluruh kemampuannya untuk mencari mereka dan menuntut balas.
Noya mendesah menghempaskan tubuhnya di kasur empuk berwarna biru. Ia memejamkan matanya sejenak kemudian membukanya kembali, seperti ada yang terlupa ia segera bangkit kembali dan meraih jaketnya kemudian pergi lagi keluar. Jalanan begitu lenggang saat ia berjalan tak tentu arah seorang ibu berteriak panik sambil menunjuk motor yang akan melewatinnya.
"Tolong! Tooloong! Anak saya diculik!" teriaknya pada siapa pun yang mendengarnya.
Orang-orang di sana melihat, tapi tak mampu berbuat apa-apa karena motor itu sangat cepat. Noya segera melepaskan jaket merahnya pada saat motor itu mendekat ia menyabetkannya tepat di wajah si pengendara motor itu, kemudian dengan gerakan cepat meraih tubuh si anak. Karena terkejut motor kehilangan kendali dan terjatuh. Semua panik dan berlari mendekat untuk membekuk pelaku penculikan, tapi sebelum rencana mereka tersampaikan, si pengendara dengan cepat pergi dengan mengendarai motornya lagi.
"Terima kasih, terima kasih," ucap si ibu seraya meraih bocah lelaki SD berusia enam tahun dalam dekapan Noya.
"Eh, iya sama-sama," ucap Noya setelah sadar dari tatapannya demi menghafal nomor flat motor tadi.
Noya meninggalkan mereka semua sebelum salah satu dari mereka memotretnya dan memasukkan ke media sosial. Akan sangat berbahaya baginya bila harus menunjukkan kemampuannya sekarang. "Halo," jawab Noya saat handphone-nya bergetar. "Baik, saya akan ke sana."
Noya segera pulang ke rumah dan melupakan tujuannya pergi lagi. Ia masuk ke kamar mandi dan sekarang telah berganti pakaian dengan dress warna ungu. Ia memoles bibirnya dengan lips pink. "Tunggu ibu, sayang. Sebentar lagi mereka akan mati." Noya berbicara sendiri di depan cermin sembari tersenyum dan meraih fotret Gilang. "Mati mereka akan sama dengamu, jangan khawatir." Noya segera pergi setelah mencium foto anaknya.
Ia menghapus air matanya dan segera menaiki mobil merahnya. SMS masuk, ia segera meraih ponsel yang berada di atas dasboard mobilnya. ARSYAT: Anda di mana, kami sudah menemukan pelakunya. Sekarang cobalah untuk datang dan mendengar pengakuannya.
Noya segera memutar arah kemudinya dengan cepat. SREET!! Hampir saja ia menabrak mobil truk gandeng di saat ia mendadak memutar arah tadi. Keningnya berdarah karena terbentur setiran kemudi mobil. Si sopir truk mengomel dan keluar dari mobilnya untuk memarahi Noya.
"Nona! Apa kamu buta, tidak melihat jalan? Tidak bisa menyetir?!" omelnya.
Noya menurunkan kaca sampingnya dan tersenyum. "Maaf," ucapnya dengan keadaan yang menyedihkan.
Si sopir terkesiap dan menjadi panik. "Anda terluka, apa Anda perlu ke Rumah sakit?!" tanyanya cemas.
Noya mengangkat tangannya, membuka telapak tangan dan memberi isyarat bahwa ia tidak apa-apa. Kemudian menutup jendelanya dan kembali menjalankan mobilnya kembali, meninggalkan si sopir truk yang melongo heran akan sikap Noya. Noya meraih tisu di atas dasboard-nya, dan menyeka luka di keningnya. Darah terus mengalir sehingga ia menjadi kesal dan meraih banyak tisu untuk menutup lukanya. Ia sampai tepat di depan kantor polisi dan segera memarkir di depan sana dan membuang tisu yang digumpalnya untuk menutupi lukanya tadi dengan tisu. Darah masih menetes dan ada robekan di sana, namun tidak mengalir sebanyak tadi. Masih bisa diseka dengan selembar tisu. Mereka yang berada di kantor itu memandang heran pada Noya yang terluka di keningnya. Noya melenggang tanpa peduli dengan tatapan mereka semua.
"Kamu su-kenapa keningmu itu?" tanya Arsyat heran dan mencoba memeriksa luka di kepala Noya.
Noya menepis tangan Arsyat. "Jangan mencoba untuk kasihan. Aku membenci kalian para lelaki," ujar Noya.
Arsyat menghela napas. "Oke," katanya dengan desahan napas berat. "Sekarang kita ke ruang introgasi!" ajaknya.
Noya mengikuti langkah pemuda itu. Ia melihat seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun sedang duduk di kursi dan dijaga ketat oleh dua orang polisi bersenjata. Lelaki berkumis dan bertubuh kurus itu memandang Noya dengan kagum karena kecantikannya.
"Ini pelaku yang kami ringkus saat mencoba hendak menculik calon korbannya." Arsyat membuka pembicaraan.
Noya berdiri dan memerhatikan tingkah lelaki yang tetap memandangnya dengan tatapan terkesima. Arsyat mengerti dengan tatapan itu, maka ia segera menampar kepala bagian belakang pelaku.
"Matamu melihat ke mana?!" bentaknya. "Katakan padanya siapa dirimu sebenarnya!" perintahnya.
Lelaki itu meringis, ia mencoba mengusap kepalanya namun tidak mampu karena kedua pergelangan tanggannya terborgol. "Nama saya ..." Ia diam sejenak untuk mengarang namanya. "Raden," katanya kemudian.
"Tadi bilang Surya, sekarang bilang Raden, namamu itu karangan semua!" bentak salah satu penjaga.
"Lupa, Pak," kata lelaki itu dengan menatap takut ke arah penjaga tadi yang hendak memukulnya dengan pistol di genggamannya.
"Saya tidak tahu, Pak. Saya cuma suruhan dan itu pun saya ditawari uang seberat kepala yang saya bisa dapatkan," akunya.
"Untuk apa kepala itu?" Kali ini Noya yang bertanya sambil menyeka darah yang menetes ke matanya. Arsyat segera tanggap dan memberikan tisu pada Noya.
Lelaki itu memandang Noya yang menutupi lukanya dengan tisu yang diberikan Arsyat tadi. "Saya tidak tahu!" jawabnya cepat lantaran terkejut kepalanya ditampar oleh Arsyat dari belakang karena memandang Noya dengan wajah bodohnya.
Sebuah teh panas diberikan pada Noya oleh pelayan dapur kepolisian. Noya meraihnya dan meyesapnya di depan mereka, kemudian menyiramnya ke arah si pelaku. "Siapa kamu?!" bentaknya.
Meraka terkejut dengan perbuatan Noya. Lelaki yang terkena siraman tadi melompat kepanasan. "Panas! Perih!" teriaknya sembari menyeka wajahnya dengan tangannya yang terborgol.
"Kenapa Anda melakukan itu?" tanya Arsyat.
Dengan santai Noya menatapnya. "Saya khilaf." Noya tersenyum manis dan kembali memerhatikan si pelaku yang sekarang sedang ditangani oleh penjaga untuk diobati.
"Lain kali jangan seperti itu," nasehatnya.
Noya memandang pemuda tampan di hadapannya dengan tatapan meremehkan. Sikap dinginnya membuat Arsyat penasaran dan ingin lebih mengenal Noya lagi, tetapi perempuan itu menjauhkan diri dari dunia.
"Kenapa Anda memandangku seperti itu?" tanya Noya.
Noya kadang berbicara formal dan terkadang non formal, membuat Arsyat salah tingkah untuk bersikap di depannya. "Tidak ada apa-apa," jawabnya setelah cukup lama mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Noya.
"Heh." Noya menyindir dan berlalu di hadapannya dan segera memasuki mobilnya kembali.
Noya kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia hari ini harus mengunjungi cafe tempat di mana ia diminta datang untuk menemui seseorang. Ia memarkirkan mobilnya pada halaman depan cafe yang ramai akan pengunjung. Ia masuk dan langsung memesan minuman kepada pelayan yang baru saja ia duduk sudah diberi buku menu andalan mereka. Dari kejauhan ia menatap lelaki bermata sipit dengan mengenakan stelan jas berwarna hitam. Pria itu kini sedang tertawa dan berbincang bersama seorang wanita seusianya, mereka terlihat akrab.
Noya meneteskan kembali air matanya dan segera menyeka air mata yang jatuh ke pipinya. Baru berselang beberapa minggu anak mereka meninggal, tetapi pria itu tampak tidak memiliki kesedihan sama sekali, bahkan ia malah asyik bercengkrama dengan wanita itu. Apa kurangnya aku ini? Apa salahku? Ia tidak mampu membendung tangisnya dan hanya mampu berpaling untuk menghindari tatapan para pengunjung.
"Nona," tegur pelayan wanita sembari meletakkan jus apel pesanan Noya.
Noya segera menyeka air matanya dan tersenyum menerima jus itu. "Terima kasih," ucapnya. Setelah pelayan itu pergi ia segera meraih tisu di depannya dan membersihkan wajahnya yang berantakan oleh make up yang terhapus oleh darah dan air mata tadi.
"Rupanya kamu di sini. Aku telah menunggumu dari tadi," tegur pria bermata sipit yang sedang bersama wanita tadi. Ialah mantan suami Noya.
Noya kaget dan segera melihat mereka berdua yang sekarang duduk di depannya dengan mesra bergandengan tangan, tanpa memikirkan perasaan Noya sama sekali. "Mana surat cerainya, akan kutanda tangani?" tanya Noya.
"Kupikir kamu akan merengek dan memohon agar aku kembali ... tapi ternyata berbeda," singgungnya.
"Berikan saja, tidak usah banyak mulut!" tuntut Noya dengan wajah sinis. Lelaki seperti kamu tidak pantas untuk diperjuangkan. Noya menatap wanita di hadapannya dengan menghina dan dibalas tatapan tajam oleh wanita itu. "Pelakor," cibirnya.
"Apa?!" Wanita itu ingin marah, tapi pria di samping menahannya agar diam saja.
"Ini," katanya sambil mendorong map berisi berkas perceraian mereka.
Noya membacanya dan segera menandatangani. "Ini!" katanya tiba-tiba dengan menamparkan map itu ke wajah mantan suaminya.
"Kau!" Wanita itu marah. Segera berlari dan menampar wajah Noya yang akan membuka pintu cafe.
Dengan refleks Noya menarik tangan wanita itu dan membantingnya ke lantai. Seluruh pengunjung panik dan terkejut. Satpam datang untuk mengamankannya, namun Noya memberi isyarat bahwa ia tidak akan melawan.
"Noya!" bentak pria itu.
Noya menatap tajam pada mantan suaminya. Ia memberikan penghinaannya dengan jari jempol terbalik. Noya pergi meninggalkan mereka yang sedang menatap heran padanya dan adapula yang sedang membantu wanita tadi untuk berdiri.
"Kenapa dia? Apa dia gila?"
"Kenapa wanita ini?"
"Siapa dia?"
Bermacam pertanyaan yang berbisik di telinga Noya sebelum ia meninggalkan Cafe tersebut.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (511)

  • avatar
    NegeriAnak

    Novel ini memiliki alur hambel dan graudal sehingga mampu menjerat rasa penasaran pembaca. Perlahan kita jadi menikmati setiap kejadi-kejadian kecil dan kejadian yang besar. Konstruksi kisahnya seperti melukis di atas batu karam, dimana kisah ini memulai dari hal sosial yang hampir sama di setiap lingkungan hidup kita. Saya jadi semakin penasaran untuk lanjut membaca, karena kisah ini juga ibarat mendaki gunung. Namun setelah saya membaca ada beberapa ejaan dan kosa kata yang kurang hurufnya.

    06/02/2022

      0
  • avatar
    Fujii Ann

    Lanjut

    10/08

      0
  • avatar
    ALARM_THAILOOK

    keren cui novel nya bagus iii aku suka bangettt tpi lagi asli kalau dia sexy lagi bagussss

    08/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด