logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Final Life

Final Life

Hany Eddera Hyaku


บทที่ 1 Satu nyawa pertama

Suara hentakan kaki terdengar keras dari sebuah ruangan yang tak begitu terlihat jelas karena keadaan yang gelap. Detik berikutnya terdengar suara langkah kaki yang kian mendekat tapi hilang saat sebuah angin menyapu pendengaran. Namun, tak lama kemudian, langkah itu kembali. Kali ini semakin cepat dan cepat lagi seperti orang yang berlari.
Sesuatu sepertinya terjatuh cukup keras. Dentumannya terdengar jelas membuat suara derap langkah itu kembali. Entah dari mana dan bagaimana semua itu terjadi, hanya saja jika keadaan tidak gelap mungkin kita bisa melihat bagaimana rupa tempat ini.
Bau darah segar menusuk indra penciuman. Bahkan kini terdengar suara air yang menetas lambat dari lantai tempat suara dentuman tadi terdengar. Malam sunyi yang hanya ada gemerencik hujan, menambah kesan mencekamnya tempat ini.
Tukk...
Sebuah botol bekas ikut terjatuh dan bergulir beberapa meter hingga berakhir saat botol itu mengenai sesuatu.
"Apakah sudah selesai?"
***
Ruang persegi itu hanya terisi beberapa orang saja. Salah satunya tengah mengaduk kopi yang baru saja di seduhnya. Satu lagi, memijit layar ponsel dengan ke dua jempol tangannya. Sementara dua lainnya sibuk merambah dunia mimpi yang tak kunjung tergapai.
"Dua hari di Dubai, Ok. Kau pikir aku tak bisa melakukannya," gerutu si gendut dari arah pintu.
"Kau kenapa lagi? Bukannya kemarin ada di Malaysia?" tanya pria dengan ponsel androidnya. Si gendut hanya melirik sinis tanpa berniat memperluas emosi.
Ruangan itu kembali sunyi. Bahkan setelah satu orang lain memasuki ruangan. Bukan kali pertama memang, mereka ada di suasana yang terbilang membosankan. Enam orang pemuda ada di satu ruangan tanpa obrolan, bahkan hanya sekedar sapaan kecil. Hingga ....
"Pembunuh 'tikus' menjadi buronan polisi setelah pembunuhan yang ia lakukan pada lima orang anggota dewan dua hari yang lalu." Arthur, membaca keras sebuah artikel yang lewat di layar ponsel pintarnya. Sebuah berita yang tiba-tiba saja membuat fokus semua penghuni ruangan beralih padanya juga ke dua orang yang baru saja bangun tidur.
"Pembunuh 'tikus'?" tanya Brian. Menaruh kopi hitamnya dan menghampiri Arthur, "bukankah seharusnya dia tidak terdeteksi," tandasnya lagi.
"Eiii, Lihat ini ...." Edward menunjukkan sebuah denah lokasi yang tak jauh dari kediaman mereka saat ini lewat map super pintarnya.
"Bukankah itu dekat dengan rumah kamu, Vi?" tanya Arthur memastikan penglihatannya benar. Merasa terpanggil, Jovi melirik sekilas sebelum melongos tak peduli.
"Pembunuh kelas teri," celetuk seseorang yang tiba-tiba ada di antara mereka. Sedikit mengucek mata kantuknya dan sesekali menguap lebar, dengan santainya dia duduk di antara Arthur dan Brian.
"Zul!"
Puk
Satu pukulan mendarat mulus di atas kepala Arthur. Refleks lelaki blasteran Amerika-China itu memegang kepalanya yang sedikit 'gatal'.
"Kau masih saja mengatakannya," gumam Rey pelan. Brian beranjak dari duduknya dan menyambar jaket hitam yang tersampir di kursi.
"Kau mau ke mana?" tanya Rey yang juga mengekor di belakang.
"Edd, temani aku membeli buku. Katanya hari ini keluar edisi baru trilogi 5 sekawan." Jovi menatap Edward dengan sedikit kode ajaib mata kanannya. Mengerti, pemuda itu bangkit dari duduknya dan segera berlalu bersama Jovi.
Di ruangan itu hanya tinggal Arthur dan seorang pemuda yang sedari tadi tak bersuara. Hening kembali menyelimuti ke duanya. Namun, bukan Arthur namanya jika tidak ada yang bisa ia obrolkan.
"Kau baik-baik saja?" entah bagaimana bisa pertanyaan itu yang meluncur. Arthur menepuk mulutnya pelan, sadar ia salah bertanya.
"Aku kenapa? Memangnya apa yang terjadi padaku." Selalu, itu yang menjadi jawaban ketika Arthur menanyakan keadaan lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Namun, sikapnya yang terkesan dingin dan tanpa perasaan tidak menjadi penghalang seberapa banyak yang dekat dengannya, termasuk Arthur dan ke empat lainnya. Tarikan magnet pertemanan itu sangat kuat hingga tak dapat di tolak lelaki itu begitu saja.
"Kenapa bisa tercium polisi?" pertanyaan lelaki berkulit sawo matang itu sedikit serius.
"Ada yang aneh saat di rumah direktur sialan itu," ujar Erick yang kini duduk berhadapan dengan Arthur. Dan obrolan mereka kini lebih serius. Erick bukanlah orang yang akan menceritakan segala hal pada semua orang yang dekat dengannya. Hanya Arthur satu-satunya yang ia percaya.
"Aku rasa untuk sementara, hentikan semua rencanamu untuk kelompok 2. Akan sangat berbahaya jika kau melancarkan aksimu." Arthur menasihati. Erick meliriknya sekilas sebelum sibuk dengan pikirannya sendiri. Tak ada kata 'iya' atau pun 'tidak', seperti keraguan mendekapnya.
***
Toko buku saat ini sedikit sepi pengunjung. Biasanya di hari-hari libur seperti ini, toko buku biasanya sangat ramai.
Sejak hampir satu jam yang lalu, dua orang lelaki masih setia membolak-balikan buku. Tak ada satu buku pun yang hendak mereka bawa pulang.
"Rey, apa yang ingin kau beli," ucap Edward yang sepertinya bosan hanya melihat-lihat jejeran buku. Rey menoleh sekilas kemudian mengedikkan bahu, Edward terlihat pasrah. Begitulah kelakuan temannya yang satu itu. Jika tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan, ia akan terus mencari. Seperti saat ini, pemilik toko bilang buku yang dicari belum masuk, mungkin beberapa hari lagi. Dan Rey? Ia mengitari seluruh barisan buku hanya untuk menemukan buku yang sesuai dengan genre yang ingin dibacanya.
"Kita pulang, lagi pula aku yakin Arthur dan Erick sudah selesai membicarakan hal penting mereka." Tanpa menunggu persetujuan Rey, lelaki gempal itu berjalan keluar.
"Huh, tidak bisakah kita terlibat hal yang luar biasa. Membosankan sekali," gumamnya pelan dan menyusul langkah Edward.
***
Alunan musik begitu lembut mengiringi para pelanggan menikmati hidangan yang mereka pesan. Hanya ada beberapa meja yang kosong.
"Maaf, bisa berikan saya air putih saja. Saya sedang menunggu seseorang," ujar gadis cantik yang duduk di sebelah jendela kafe.
Tanpa disadarinya seorang lelaki memperhatikannya dari jarak yang hanya beberapa meter.
"Apa yang kau lihat," teguran pemuda bertubuh mungil itu membuatnya refleks menoleh dan menggeleng.
"Tidak ada," sanggahnya cepat.
"Jangan pernah berpikir untuk memulai sebuah hubungan layaknya manusia lainnya."
"Vi, apa selamanya kita akan seperti ini?" dari pada menyahut ucapan Jovi, Brian memilih mempertanyakan hal yang selama ini memenuhi benaknya.
"Kenapa? Kau berpikir kita akan terus seperti ini?" senyum lebar Jovi membuat Brian sedikit merasa lega.
"Kita akan membuat dunia tahu seberapa besar 'cinta' kita pada orang-orang yang berjas itu," ucap Jovi lebih seperti bisikan. Smirik yang ditunjukkan Jovi membuat Brian membulatkan matanya sempurna.
"Jovi ...."
"Sudah tuan Brian! Nikmati makananmu." menyodorkan makanan yang beberapa saat lalu mereka pesan. Meski sedikit kesal Brian tak bisa ungkiri jika tugas juga ambisi mereka masih berada di titik tertinggi.
***
Jalanan malam sangat ramai hari ini. Selain karena jam pulang para pekerja kantor, malam minggu adalah malam bagi para muda-mudi untuk berkeliaran mencari hiburan melepas penat setelah sekolah. Bukan hal aneh memang, hanya saja begitu terasa mengganjal bagi seorang pria berjas hitam dengan dasi yang tak lagi terpasang. Beberapa jam yang lalu rasa gelisah itu selalu menghantui pikirannya. Entah kenapa ada perasaan yang tak bisa membuat nafasnya normal.
Pria itu terus berjalan sedikit terseok sebelum ia duduk bersandar pada tiang lampu jalan. Keringat dingin sudah membasahi wajahnya. Para pejalan tak begitu heran melihat pria sepertinya, bahkan banyak orang yang seperti itu karena pengaruh alkohol.
"Pak? Anda tidak apa-apa?" tanya seorang lelaki muda bermasker hitam dengan hoody hitam menutupi bagian kepalanya. Pria itu mengangguk pelan.
"Ini ...." Pemuda itu menyodorkan sebotol air putih. Dengan perlahan pria itu menerimanya dan berterima kasih.
Setelah pemuda itu pergi, pria yang masih terbilang muda itu meneguk air yang di berikan padanya. Perlahan ia mulai tenang. Memejamkan kedua matanya untuk merasakan kegelisahannya perlahan hilang.
Namun, detik berikutnya ia terlihat merasakan sesuatu yang salah dengan tubuhnya. Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Sesak dan sakit, seakan ada yang menarik seluruh otot-otot tubuhnya paksa. Selang seper sekian detik, tangannya terkulai lemas. Tak ada yang peduli, tak ada yang memberinya bantuan. Mereka hanya lewat begitu saja tanpa ingin sekedar tahu apa yang dirasakannya.
***
Edward dan Rey sampai di rumah tepat pukul 23.34. Mereka hanya menemukan Rian yang setia dengan laptopnya. Lampu rumah sudah padam, bahkan Brian sengaja tak menyalakan lampu ruang tengah.
"Bagaimana?" tanya Brian dengan fokus masih pada layar desktopnya.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua aman," ujar Rey yang kini duduk di samping Brian.
"Dia menginap di sini atau pulang?" tanya Edward saat tak menemukan sosoknya di sana. Mengerti siapa 'dia' yang dimaksud, Brian menunjuk pintu kamar dengan dagunya.
"Sudah masuk dari dua jam lalu," jawabnya. Meski sedikit heran, Edward dan Rey tak begitu peduli. Rey tetap menemani Brian meski dengan kesibukannya sendiri, sementara Edward lebih dulu merambah dunia mimpi.
Tepat pukul 02.32 dini hari, keheningan yang menyelimuti mereka dibuka dengan sebuah pertanyaan sederhana.
"Apa kau pernah menghawatirkan sesuatu?" tanya Rey membuat Brian menatapnya lurus.
"Huh, akhir-akhir ini aku menghawatirkan banyak hal. bukan tentang aku, tapi kita semua. Terlebih ... dia," ujar lelaki tampan itu dengan suara rendah. Tak ingin ada yang mendengar tentunya, terlebih 'dia'. Rey menunduk, mengerti apa yang menjadi kekhawatiran temannya itu. Ini bukan persoalan hati seorang sahabat, tapi manusia yang menamakan diri makhluk sosial.
"Bukankah, seharusnya kita sudahi?" ucapan Rey kini membuat ekspresi Brian berubah. Ada emosi dibalik ekspresi herannya. Bukannya tak mau, hanya saja ada banyak yang menjadi pertimbangan untuk mengakhiri ini.
"Sudahlah Rey, kamu lelah. Sebaiknya kita istirahat. Ini sudah hampir subuh, aku tidak mau besok pagi kita mendengar teriakan si gendut." meski enggan, Rey tetap menurut pada ucapan temannya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas hal yang sensitif. Bukan tidak mungkin, tapi Brian hanya menghawatirkan satu hal. Meski yakin, suatu saat itu akan terjadi. Bukankah dunia tak pernah diam?
***
Jovi berdiri tak jauh dari kumpulan orang-orang yang kini membubarkan diri. Di tatapnya tiang lampu jalan juga trotoar yang terdapat lingkaran putih. Tempat dimana seseorang meregang nyawa disana.
"Huh." Menarik nafas dalam dan menghempaskannya kasar. Bukankah lucu? Bagaimana bisa ada orang yang tak peduli pada orang lain. Apakah semua orang juga membenci orang-orang berjas dan berdasi? Jovi pikir, hanya dia dan teman-temannya yang membenci para politikus. Ternyata tidak.
"Dia baru saja menjadi wakil anggota DPR, kan? Sepertinya dia mati karena terlalu banyak meminum alkohol," celetuk seorang wanita dengan tas jinjing berisi sayuran. Seorang pria di sampingnya mengangguk mengiyakan.
"Itulah kenapa, banyak sekali para politikus yang mati akhir-akhir ini. Apakah mereka terlalu stres hingga bermain-main dengan nyawa mereka." yang lain menyahut. Hampir saja Jovi menyanggah argumen mereka jika seseorang tidak menarik lengannya menjauh.
"Apa yang kau lakukan? Jangan berkeliaran, kau tahu betapa susahnya kami menemukanmu?" ucapan Arthur membuat Jovi menarik senyum lebarnya.
"Aku lapar. Apa yang Brian masak hari ini?" tanya Jovi yang tak ingin membahas masalah itu.
"Bukan Brian, tapi aku yang masak hari ini." senyum bangganya disambut cengiran ngeri dari Jovi, pasalnya lelaki itu tahu apa yang akan terjadi jika Arthur di biarkan memasuki wilayah dapur.
***
Hari ini matahari mulai singgah ke peraduannya, terganti sang purnama yang nampak indah dengan sinar terangnya. Juga ratusan para bintang yang senantiasa menemaninya. Langit seterang itu, tapi masih ada sudut gelap di kota ini. Satu sisi yang tak terjamah cahaya.
Seorang pemuda berdiri menatap lurus bangunan berlantai lima di depannya. Bangunan tempat orang-orang berjas dan berdasi berkumpul. Sejak sepuluh tahun lalu ia memang benci mereka.
Menaikkan masker hitamnya hingga menutupi hidung, lelaki itu masuk dengan langkah biasa. Melirik sekilas sebelum ia mengaitkan kakinya dengan sengaja dan terjatuh tepat di depan orang-orang berjas itu.
"Maaf," ucapnya dengan sedikit menunduk.
"Kalau jalan hati-hati. Apa kau tidak punya mata!" hardik salah satu dari mereka yang mengenakan kemeja putih dengan kancing atasnya terbuka. Lelaki berhoody hitam itu menegakkan kepalanya, tatapannya berkeliling. Memastikan keadaan kafe itu sepi, kemudian kembali menatap mereka datar. Merasa tatapannya menantang, seseorang yang sedari tadi duduk di pojokkan berdiri dan mendekat.
"Kau menantang?" tanyanya dengan wajah yang tak kalah datar.
Erick, ya pemuda itu datang dan membuat para pria didepanya itu sedikit emosi. Sungguh, ia begitu membenci mereka. Terlepas dari kemeja putih, jas hitam dan dasi yang mereka kenakan, mereka hannyalah sampah yang mengotori negara menurutnya.
Pria besar itu mendorong tubuh Erick kasar dan tak sengaja ia menyenggol meja di belakangnya.
"Kau bahkan bernyali menatapku dengan mata itu." Pria yang di yakini sebagai bodyguard mereka itu menatap nyalang Erick yang juga menatapnya tanpa rasa takut.
Bugg ...
"Akh!" Erick terpelanting ke samping setelah mendapat pukulan di wajahnya. Sudut bibirnya mencibir. Lagi-lagi sebuah pukulan kembali diterimanya. Mengacaukan tempat yang awalnya rapi menjadi kacau-balau. Meja patah akibat benturan tubuh Erick tadi, juga kursi kayu yang hancur karena tertabrak oleh punggung Erick. Namun, bukan Erick namanya jika kalah hanya karena dua kali pukulan. Ia bangkit dan ....
Bugg ...
Pria besar itu terjengkang ke belakang nyaris tak bisa bergerak. Pukulan telak di dada yang di terimanya melebihi pukulan yang diberikannya pada lelaki yang lebih kecil darinya itu. Yang lain terkesiap di tempatnya. Waswas, takut jika mereka yang akan jadi sasaran selanjutnya. Erick menatap mereka secara bergantian.
"Kali ini akan kubiarkan kalian selamat. Lain kali kupastikan, tak akan ada yang bisa membuat kalian bernapas lagi!" desis Erick tajam lalu berjalan keluar, meninggalkan mereka semua.
Di perjalanan pulang Erick melihat beberapa polisi yang berjaga di pos.
"Saya rasa penyelidikan ini harus dituntaskan secepat mungkin." Suara salah satu dari mereka membuat pemuda itu menyembunyikan diri di balik tembok untuk mendengar lebih banyak informasi.
"Setuju. Kita tidak bisa membiarkan mereka semakin meraja lela. Terlebih kita tahu siapa target mereka. Dan mungkin saja sebentar lagi kita juga bisa di targetkan." Pria lain berujar.
"Besok, kepolisian akan mendatangi salah satu rumah yang sempat dicurigai," lanjut pria pertama. Pemuda yang sedari tadi mengintip, mengepalkan kedua tangannya geram.
***
"Iya, aku ke sana minggu besok. Kau tenang saja, semua aman dan aku akan berada disana membantumu." Edward menutup sambungan teleponnya kesal.
"Kenapa, dut? Masih masalah kemarin?" tanya Rey yang melompat duduk di samping Edward. Lelaki gempal itu masih merengut kesal.
"Sudahlah, lagi pula tak masalah menghirup udara segar jalanan Dubai yang panas." Cengiran Rey hanya mendapat lirikan tajam dari pria besar itu.
"Jovi, kau pulang malam ini." Suara pemuda jangkung mendapat perhatian dari ke lima lelaki yang kini berada di ruangan persegi itu. Bahkan Brian tak jadi menyeduh kopinya. Ia menghampiri Erick saat ia mendapati luka di sudut bibirnya juga memar di sudut matanya.
"Kenapa kau ...."
"Besok pagi pihak polisi akan mengawali penyelidikan. Dan di mulai dari rumahmu, karena mereka sudah mencurigai lewat GPS yang terlambat kita amankan," jelas Erick.
"Jadi maksudnya, tanpa sengaja Jovi dicurigai?" tanya Edward sedikit meyakinkan diri. Pemuda di depannya mengangguk.
"Oke, aku pulang sekarang. Lagi pula orang tuaku hanya tahu aku ada di LA. Jadi kemungkinan besar aku aman." Meski perkataannya dibarengi cengiran santai, tetap saja ada banyak kekhawatiran dari teman-temannya, terlebih Brian. Dia tahu, pilihan yang diambilnya punya banyak risiko. Hanya saja, sekali lagi ego tetap meraja.
"Aku akan ikut bersamamu, untuk menguatkan alibi jika kita ada di LA saat kejadian itu," ujar Brian yang tak dapat penolakan.
"Hati-hati. Jika ada masalah kalian segera hubungi kami, Erick sementara bisa menyabotase gedung utama," tutur Arthur. Sepertinya, mereka akan terus menjalankan aksi mereka. Tak ada yang bisa melarang, sekalipun nurani mereka berontak.
Ya, mereka semua membenci para petinggi negara. Terutama orang yang ada di barisan terdepan—presiden—yang di anggap melayani rakyat tanpa martabat. Para bangsawan yang hidup damai tanpa memikirkan siapa yang mendapat imbas dari kesenangan mereka. Ke enam pemuda itu geram, tentu. Hanya saja jalan yang mereka pakai untuk menyadarkan para 'tikus berdasi' tak memakai landasan kemanusiaan. Menyingkirkan mereka dengan cara 'halus' namun 'keji'. Katakanlah itu keterlaluan. Tapi tetap saja, membunuh para rakyat secara perlahan lebih dari sekedar kata 'kejam'.
"Lihat saja, tak ada satu pun yang bisa lolos dari tanganku," gumam Erick penuh kebencian. Di sampingnya, Arthur menatapnya penuh makna.
***
Seseorang mengendap-endap memasuki sebuah gedung. Ia melirik kanan dan kiri, memastikan tak ada orang yang melihat. Detik berikutnya ia melompat dinding tinggi dan kembali mengendap di sepanjang dinding. Kini ia berhenti tepat di depan ruangan CCTV. Dengan segenap keahliannya, ia dengan mudah membuka pintu.
Melangkah menuju bangku pemantau CCTV yang kini kosong ditinggal penjaranya. Dengan cepat ia menyalin seluruh rekaman CCTV dan tak lupa meng-copy data dari komputer inti tanpa hambatan.
Setelah selesai ia kembali ke tempat dimana dia masuk. Lelaki itu membuka hoody yang menutupi kepalanya. Tersenyum menyeringai puas.
.....
TBC.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (789)

  • avatar
    MaulidhahRizqi

    novelnya seru dan gak membosankan satu lagi selalu buat penasaran untuk terus membaca

    22/12/2021

      1
  • avatar
    Annur Hasni

    Verry good

    29/06

      0
  • avatar
    absadieveland

    👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    26/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด