Suasana rumah mewah bernuansa putih dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh disekitar bangunan menambah aura kekuasaan yang begitu kuat. Para pelayan dan penjaga bertebaran seperti lebah melindungi sarang. Disebuah ruangan yang tertutup tertata rapi dan elegan duduk seorang lelaki yang mengenakan jas hitam pas dengan ukuran badannya itu nampak begitu serius didepan laptop-nya. Mata tajam dan dingin itu begitu fokus tenggelam dalam pikirannya. "Lexy." Panggil Herman masuk kedalam ruangan namun tak sedikitpun lelaki yang dipanggil itu bergeming. "Ada dua kabar hari ini." Lanjut Herman, asisten yang selama ini selalu berada dipihaknya. Meski Lexy tidak terlihat meresponnya tapi Herman tahu bahwa lelaki yang duduk didepannya itu tidak pernah meninggalkan informasi sekecil apapun. "Yang pertama, Paul mencoba memanfaatkan kita. Dia berani membeli barang kita untuk menggali informasi tentang kita, dan dia jual informasinya ke Markus." Mata tajam itu terpejam sembari menyatukan masing-masing jemarinya didepan laptop. Seperti air tenang yang tidak tahu apa yang ada didalam sana. Suasana seakan menjadi hening bak pemakaman. Herman menghela napas karena kabar berikutnya akan membuat Lexy lebih marah lagi, bahkan murka. Apapun itu, Herman harus memberitahunya. "Dan...” Saat Herman tidak melanjutkan ucapannya, mata Lexy terbuka dengan pandangan seperti pedang yang siap merobek-robek apapun didepannya “dan salah satu gudang kita tertangkap polisi." Lanjut Herman lagi memberanikan diri. "APA YANG MEREKA LAKUKAN DISANA?!" Lexy megebrak meja sambil bangkit dari duduk. Matanya seakan memmercikan api didalam sana bahkan tersirat wajah ingin membantai siapa saja dihadapannya. Jauh dari dalam diri Herman cukup ada rasa takut ketika menerima amarah dari lelaki didepannya itu, meski usianya Lexy lebih muda tapi kekuasaan dan kekejaman yang dimiliki melebihi seorang iblis. Meski begitu Herman berusaha tetap terlihat tenang dan tegar lalu melanjutkan ucapannya "Kita tidak tau betul siapa yang membocorkan semua ini. Yang pasti, kerugian kita cukup besar." Herman terperanga kaku saat Lexy tiba-tiba melempar pisau kearahnya, untung saja pisau itu mengenai papan yang berada dibelakang. "Pisau itu bisa menembus mata mu, kalau kamu tidak bisa mendapatkan informasi siapa yang sudah membocorkan lokasi gudang kita." kecamnya tanpa belas kasihan. "Dan...dan aku mau Paul yang mengganti semua kerugianku." Tambahnya sembari berjalan mendekati jendela dan melihat seorang wanita berambut ikal dikawal oleh anak buahnya, dengan mengenakan rok diatas lutut wanita itu berlenggak-lenggok bak model. "Apa ada tamu?" tanya Lexy penasaran. "Tidak ada." "Lalu siapa wanita itu?" kepala Lexy mengarah keluar jendela. Herman yang penasaran, ikut menengok keluar jendela. "Oh, bukan. Dia akan bekerja dengan kita. Dia akan menjadi pelayan baru disini" Lexy menoleh kearah Herman. "Bawa dia kesini, sekarang." "Tapi, dia..." "aku suka." Potong Lexy yang tidak bisa ditawar lagi. ****** Di sebuah ruang tertutup, Lexy yang duduk di meja besar sedang menutup koper yang berisi emas batangan. "Gimana Paul? Kamu tertarik?" tawar Lexy. Tentu, manusia mana yang tidak tergiur dengan tumbukan emas murni tersebut. Bahkan mata Paul terlihat jelas tak berkedip sedikit pun melihat koper berisi kilauan emas batangan itu. "Ini tawaran yang begitu jarang aku lakukan. Karena kamu termasuk patnerku yang paling menguntungkan." Lexy memainkan jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Sangking tergiurnya, Paul belum juga menjawab tawaran Lexy. Dan membuat lelaki muda itu berniat melenggang. "Oke, kalau kamu tidak mau. Aku pergi sekarang." Lexy berdiri dari tempat duduknya, dan sudah dipastikan ia tahu apa yang akan terjadi. "Tidak, tidak. Aku terima tawaran ini." Senyum lancip pun terukir diwajah tegas itu, matanya yang dingin menatap pria setengah baya yang tak bisa lagi menahan diri untuk memiliki emas-emas tersebut "Tunjukan uangnya" Lexy kembali duduk sementara Paul menelpon anak buahnya untuk membawakan uang dalam jumlah yang besar. Lexy berdiri lalu memberikan koper yang berisi emas itu. "Aku suka kerja sama denganmu, Paul." Ia kemudian mengulurkan tangan berniat berjabat tangan dan Paul menerima uluran tangan Lexy. Tak lama kemudian, asisten Paul masuk membawa sebuah koper. Dengan tetap berjabat tangan Lexy bertanya "Apa itu uangnya?" "Tentu." Lexy tersenyum kecut sembari meremas tangan Paul. "Bukan uang itu yang aku maksud." Tekannya. Paul merasa sakit ditelapak tangan serasa tertusuk jarum lalu dia melepas tangan Lexy sembari menahan nyeri di telapak tangannya. Dengan perasaan mulai cemas, pria tersebut berjalan mundur beberapa langkah sambil melihat kondisi telapaknya lalu duduk lemas di kursi kebesarannya. Asisten Paul mengambil pistol dibalik jas lalu menodongkan pistol kearah Lexy. Bukannya takut, Lexy justru tertawa lebar lalu berkata. "Kalau kamu masih peduli dengan nyawamu, singkirkan pistolmu dari wajahku" seperti malaikat pencabut nyawa.itulah yang tergambar dari sesosok lelaki itu sekarang. Apa boleh buat, asisten Paul tentu tidak berdaya. Ia meragu dan tidak berani mengambil resiko yang bisa membahayakan nyawa-nya, kemudian ia memutuskan menurunkan pistolnya. Beberapa saat anak buah Lexy masuk lalu mengamankan Paul termasuk asisten-nya yang berada dalam satu ruangan. "Paul...Paul...Paul...” berjalan mendekati Paul yang sedang duduk dengan napas terengah- engah. “Kita cuma punya waktu tiga puluh menit sebelum racun itu menyebar keseluruh pembuluh darahmu." Paul mulai merasakan nafasnya semakin berat, dia berusaha membuka laci meja berniat mengambil pistol. Sedangkan Lexy hanya memperhatikannya dengan rasa sedikit kasihan, tapi sebenarnya tidak. "Ck, ck, ck, buat apa pistol itu?" geleng-geleng kapala duduk di meja yang berhadapan langsung dengan pria sekarat itu "Kamu mau menembakku? Iya? Wuu, aku takut sekali." bergaya ketakutan. "Tapi ingat Paul. Jika kamu menembakku. Maka tidak akan ada lagi penawar racun untukmu, karena aku yang bisa membunuh racun yang mulai mengeringkan kerongkonganmu." tambah Lexy begitu tenang tetapi mematikan. "Ap, apa mau kamu, Lexy?" Paul mulai berkeringat duduk dikursinya. Sementara Lexy berjalan memutari Paul dan berbisik. "Informasi apa yang kamu jual ke Markus?" mata Paul mengecil dan Lexy kembali duduk di meja menghadap kearah laki-laki sekarat itu "Apa yang harus aku lakukan Paul kalau rahasiaku dijual ke musuhku." "Plis, Plis Lexy berikan penawar racunnya. Aku mulai susah bernapas." Suara Paul mulai tidak jelas. "Dimana kamu menyimpan semua uangmu?" "Ap, apa maksud kamu?" "Kamu butuh penawar racun, aku butuh semua uang mu."Jelas Lexy sembari melihat jam tangannya "waktu kamu tinggal dua puluh menit" tambah Lexy.
seru juga
15d
0novel ini menarik saya penasaran dengan pembacaanya
20/08
0aku mau 💎 diakun Facebook aku udah like dan sucribe
23/07
0ดูทั้งหมด