logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Chapter 6: Firefighter

[Ben Andrews]
Betapa ganasnya sambaran api yang melahap habis seluruh area pom bensin itu. Mendengar isak tangis dan jeritan para korban yang terjebak di sana, segera kuambil lensa ultra pemberian Papanya Olive kepadaku yang terselip di dalam saku celana jeans, lalu mengaitkan ujungnya pada daun telinga kanan.
“MARIA!” ucapku untuk mengaktivasi benda itu. “Avturiadion sveneguareles!”
“Baik, Agent A03!” jawab MARIA, kecerdasan buatan dari perusahaan Biomax Inc. Sinar biru diproyeksikan keluar dari bundaran lensa, membentuk sebuah lingkaran sebesar tubuhku yang dikelilingi oleh percikan-percikan listrik ungu.
Sejenak kaki kanan melangkah masuk ke dalam portal itu, jari-jemariku mulai ditutupi oleh partikel-partikel plasma merah yang berukuran nano. Butiran-butiran itu menjulur ke seluruh bagian kaki, menciptakan garis-garis kuning neon di sepanjang jalannya. Terusannya menaiki permukaan kulitku, mulai dari betis, paha, perut, sampai ke uluh hati.
Di jenak berikutnya, permukaan dadaku mulai diselubungi oleh pelindung dada yang keras, kokoh dan berona merah tua. Merah menjadi redup, redam, akibat efek samping sinar balik dari garis-garis neon yang berasal dari akumulasi ion-ion plasma yang menubruk satu sama lain. Ion-ion itu juga berguna untuk membentuk sebuah topeng merah berkaca hitam yang menutupi alis mata hingga ujung dagu.
Kata rekan-rekan kerjaku dari Biomax Inc., agensi militer tersohor di seantero Nusantara, kostum ini membuatku terlihat seperti pengendara motor balap dari pada seorang perwira super. Akan kutunjukkan ke mereka apa saja yang bisa aku lakukan melalui kostum ini! Lihat saja!
“MARIA, tolong periksa siapa saja yang terjebak di dalam api!”
“Baiklah, Agent A-03!”
Hologram biru memancar di depan manik, memunculkan berbagai macam database yang aku butuhkan saat ini. Di sebelah kiri, terdapat sederetan tulisan “mengunduh” yang bergerak amat cepat, lantas memunculkan gambar-gambar korban kebakaran. Lalu, di sebelah kanan, terdapat peta lokasi kejadian yang memunculkan tiga buah lingkaran hijau dan empat yang merah. Hijau menandakan mereka yang masih hidup, sedangkan merah yang sudah tewas.
“Baiklah, marilah kita selamatkan segera yang masih hijau! MARIA, aktivasi perisai elektromagnetik!”
“Baik, A03!”
Layar biru hologramik di depan mata mengalami sedikit perubahan tampilan, di mana pada pojok kanan bawah terdapat sketsa anatomi manusia dengan kedua kaki dan tangan bergerak lurus dan merentang secara bergiliran seperti manusia vitruvian karya Da Vinci. Figur itu dikelilingi oleh lingkaran jingga yang bersinar agak redup. Demikian juga tubuhku dikelilingi oleh perisai oranye yang dihiasi oleh kubus-kubus bersegi enam. Perisai itu terbuat dari ion-ion plasma seperti halnya baju zirahku, namun tembus pandang.
Sekuat tenaga aku berlari menerobos bara api itu. Sekencangnya, lebih lesat dari jet tempur. Harus cepat, secepat mungkin. Aku hanya ingin menolong para korban kebakaran. Ya, mereka meski kutolong sekarang juga, agar semuanya segera baik-baik kembali.
“Boom!” Sulut-sulutnya menampar perisaiku sekuat ombak yang pasang di malam hari. Seperti trisula yang digunakan Iblis untuk menyiksa jiwa-jiwa di lembah maut, lidah-lidah api yang berujung lancip dan tajam mencari sela-sela di mana ia bisa menyusup kemari untuk membakar baju zirahku. Sangkanya bisa membunuhku hanya dengan itu. Yang benar saja!
“Shuut!” salah satu lidah api melesat kemari dari arah kanan. Aku segera mengibas lengan kananku, menciptakan ombak energi yang berhasil memecah belah lidah api itu. Perisai yang melindungiku tidak hancur, sebab ia menciptakan lubang besar yang mempersilahkan ombak itu keluar dari telapak tanganku.
Tahu-tahu, aku mendengar ada banyak suara panah yang melesat kemari. Kutoleh ke sekitar. Benarlah dugaanku bahwa sulutan yang menyembur kemari berubah bentuk menjadi anak-anak panah bermata runcing dan tajam.
“Sihir api … pasti ini ulah seorang penyihir yang diutus dari aliansi Predatron, perkumpulan dari monster-monster yang ingin memusnahkan umat manusia!” ucapku dengan penuh kewaspadaan. Secepat mungkin aku melompat tinggi untuk menghindari serangan itu seraya berlari ke arah barat daya. Namun …
“Roaarr!” Aku mendengar singa yang mengaum keras hendak menyergapku dari arah belakang. Kakiku segera menyapu ke belakang, tetapi singa itu langsung menghantam perisai plasma untuk menginjak-injak tubuhku. Ia adalah api amat sangat panas yang membuat baju zirahku mengalami overheating — suatu kondisi di mana suhu dari baju ini meningkat jauh lebih tinggi dari tiga puluh enam derajat celcius.
“S—Sihir apa ini?!” Aku mendecak kaget karena belum pernah berhadapan dengan kekuatan sihir seperti ini sebelumnya. Massa api yang menimpa tubuhku ini terasa amat berat, seolah-olah ia adalah seekor singa sungguhan. Ada peribahasa yang berkata bahwa kita tidak boleh membalas api dengan api. Bagaimana kalau kita memperbolehkan hal itu terjadi?
“Hey, singa api bodoh!” ucapku dengan suara nyaring. “Jangan ganggu aku, makhluk sialan!”
Beberapa celah zirah membuka sendirinya, mempersilahkan hawa panas keluar dari dalam tubuh. Kedua tanganku mulai mengeluarkan bara api merah, lalu mencengkeram leher singa itu.
“Grrr …,” singa api menggeram. Maniknya seketika terbuka lebar, kaget, sebab ia tidak bisa lari kemana-mana.
“Rasakan ini, Special Wave: Thermal Damage!”
Sambaran api keluar dari tanganku, merasuki tubuh singa itu dan mengobrak-abrik susunan partikelnya. Hewan itu berjalan mundur beberapa langkah seraya mencoba untuk memuntahkan api itu. Namun, kedua tanganku masih mencengkeram kuat, membiarkan tubuhku diseret oleh hewan itu. Ia pun meronta-ronta, mengerang hebat sampai mata dan rongga mulutnya bersinar terang, pecah dan hancur jadi sekilat cahaya terang.
Aku pun berdiri kembali, melihat ada banyak kawanan singa api yang mengelilingiku. Kedua tanganku mengepal kuat, lalu kakiku mengambil ancang-ancang siap untuk menyerang.
“Singa-singa bodoh, kemarilah!” Aku berteriak sekuat tenaga, mengundang singa-singa itu untuk datang kemari dan menyerangku. Mereka menyergap dari segala arah, membuat manik terpaksa untuk menyapu secepat kilat. Kedua tanganku lekas bergerak meliuk-liuk, memberi sapuan indah dari gerakan bela diri Asia Timur diikuti sinar merah yang memancar dari telapaknya. Satu singa menerjang, lantas perutnya ditendang dengan jurus thermal damage yang paling mampuni. Singa lain berupaya untuk menggigit tubuhku, lekas tanganku menggenggam kedua rahangnya, menarik wajahnya sampai sobek dan meledak.
“Roarr!” Semakin banyak kawanan singa yang datang kemari, membuatku geram sehingga tubuhku berputar sekencang angin puting beliung. Boom! Semua singa terpental mundur dan meledak tanpa tersisa sedikitpun sihir yang mengendalikan tubuh mereka.
Aku menghela napas sejenak, sebab baru saja aku menghantam habis singa-singa itu. Aku pun merengap, menunduk untuk menarik napas karena tempat ini amat sangat pengap, sesak dan berbau arang menyengat.
Ketika aku menarik napas panjang, tiba-tiba aku mendengar singa lain yang mengaum keras. Pastilah ini raja mereka.
“Perwira muda!” ucap raksasa yang berjalan kemari. Ia memiliki manik bersinar lebih terang dari sinar mentari siang, serta tubuhnya berdiri setinggi empat meter. Wajahnya adalah singa jantan berambut lebat, namun dari leher sampai ujung jempol kaki adalah badan manusia.
“Hahaha, Sifilis, si Raja Singa. Lihatlah, singa bodoh, teman-temanmu sudah habis aku bunuh mati!” ucapku dengan nada sombong untuk menentang monster api itu.
“Berani-beraninya kamu memanggilku Sifilis, wahai anak ingusan?! Aku adalah Yamma, raja dari segala tempat yang berapi, baik di Bumi ataupun di lembah maut! Kamu tidak mungkin bisa mengalahkanku, karena aku berbeda dari singa-singa lainnya!”
“Cih , berbeda. Kita lihat saja, bodoh!”
Singa itu langsung berlari kemari untuk menghantam tubuhku. Ketika tangannya mengepal dan menghantam aspal panas, aku pun menyeret ke bawah kolong kakinya. Kulompat secepat mungkin, lalu menempelkan telunjukku serapat-rapatnya untuk menyasar lubang pantatnya.
“Ugh!” Singa itu mendecak kaget. Ia melihat ke dalam dada, mendapati aku sudah ada di dalam tubuhnya. “B—Bagaimana kamu b—bisa?!”
“Selamat tinggal, Sifilis! Gowahhh!”
“Apa?!”
Aku mengerang sekuat tenaga untuk mengobrak-abrik partikel api di dalam tubuh singa ini. Hawa panas kian memuncak, dan Duar! Tubuh Yamma hancur berkeping-keping, lantas musnah akibat ditiup angin dari Timur.
Akhirnya, pergolakan yang tidak penting ini selesai juga. Aku pun mendarat dengan baju zirah yang agak sobek dan berlubang. Namun, lubang-lubang ini lenyap seiring partikel-partikel ion bereaksi untuk memperbaiki bagian yang rusak.
“Hah, akhirnya,” ucapku seraya bernapas pendek di jenak semburan angin dingin keluar dari celah-celah baju. Ketika aku ingin beranjak ke depan, tiba-tiba aku mendengar jeritan histeris dari seorang anak kecil. Lantas aku berlari ke asal suara itu, melewati bara api yang menyala-nyala, hingga sampailah pada puing-puing semen di mana seorang anak kecil meringkuk dan menangis seorang diri. Ia mengenakan jaket dan syal tebal dengan kedua kupingnya ditutupi oleh headset hitam yang tebal dan besar.
“Adik yang cantik,” sapaku dengan nada lembut, sebab wajahnya memerikan luka traumatis yang mendalam. “A—Ada apa?”
Ia tidak bisa meresponi panggilanku, jadi aku segera memeriksa apa yang terjadi di balik semen ini.
“Astaga ….” Aku menganga kaget, ngeri, karena apa yang aku lihat adalah bangkai truk yang disirami darah manusia. Jasad dari dua orang yang dimutilasi, yaitu kepala dari seorang pria muda dijadikan wadah bagi cat darah, serta kaki kanannya digunakan sebagai kuas untuk melukis di truk itu. Lalu, payudara dari wanita muda, yang kemungkinan besar adalah ibu dari anak kecil itu, digunakan sebagai hiasan bagi huruf O.
“Aghios … Dollarus …,” ucapku seiring membaca tulisan dari darah manusia. Apa artinya? Mengapa ada orang yang tega sekali untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah, lalu memakai tubuh mereka untuk menuliskan kata-kata itu?
“MARIA,” ucapku seraya menekan tombol pada kuping bagian kanan. “Berapa banyak orang yang masih hidup?”
“Satu orang,” balas MARIA. “Sisa satu anak, semua sudah tewas.”
“Sialan, seharusnya kita lebih awal datangnya. Kita —“
Tahu-tahu, aku merasakan seseorang berdiri di belakangku. Aku lekas berbalik badan, melihat seorang pria bertopeng putih yang tubuhnya ditutupi sebagian oleh api dan asap. Tangan kanannya sedang memegang buku sihir, lalu, telunjuknya menoleh ke sebelah kanan.
“Hah?” Aku berbalik badan lagi, melihat anak kecil tadi berlari secepat kilat dan menikam perutku dengan pisau kecil.
“Jleb!”
“Hoh hoh hoh,”
Mataku terbuka lebar, mendapati diriku bangun dari tidur. Segera kuperiksa sisi kanan perut. Ternyata, bekas tujaan itu masih ada di sini.
“Ini, k—kenapa bisa terjadi?”
“Zzz …”
Aku melihat seorang wanita yang sedang mendengkur pelan. Ia memiliki rambut panjang tergerai lurus, halus hingga menyentuh bahunya. Dada yang tak berbusana disingkap oleh selimut putih, dan ia masih tertidur pulas.
“Olivia … ia masih tidur di sampingku. Apa yang barusan terjadi padaku?” batinku heran.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (53)

  • avatar
    PutraGalang

    kerasss

    22d

      0
  • avatar
    Amelia

    500

    18/08

      0
  • avatar
    A.HASRAWATI

    kamu jelek

    31/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด