logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 ENAM

Badran tidak melihat Eliza, karena yang melayani Badran orang yang berbeda. Seorang pelayan perempuan yang aprof-nya dulu sempat dipakai Eliza. Ketika seorang pelayan mengatarkan pesanannya, Badran memberanikan diri mempertanyakan keberadaan Eliza.
“Mbak Eliza masih belum datang, mungkin masih ada acara sama komunitas fotografi.”
Badran baru tahu, ternyata Eliza juga mengikuti komunitas fotografi di Jogja. Mendengar kabar itu, Badran semakin tahu lebih jauh tentang Eliza. Ternyata Eliza juga aktif di komunitas fotografi, mungkin ada hobi di sana, atau cuma sekedar jadi model. Kalau menurut Badran orang secantik Eliza yang jelas ia jadi objek model fotografi.
Selang beberapa menit, Eliza datang memasuki cafe. Badran tidak mengetahui kedatangan Eliza, ia sibuk menatap notebook di hadapannya. Sementara Eliza segera tahu keberadaan Badran, langsung menghampirinya.
“Hey!”
“Astaghfirullah.”
“Kaget?” Eliza tertawa, lantas duduk di hadapan Badran, seraya menaruh kamera analognya di atas meja. “Serius amat.”
Badran menutup sedikit layar notebook-nya, beralih menatap Eliza. “Kamu dari mana?”
“Kangen ya, kok nanyanya gitu?” Eliza tertawa geli melihat ekspresi Badran yang hanya datar-datar saja. “Hunting sama anak-anak komunitas.”
Badran menatap sejenak kamera analog di atas meja itu. “Baru tau, ternyata kamu suka fotografi juga, jadi model atau yang motret?”
“Yang motret dong.”
“Orang secantik kamu cuma motret? Kenapa nggak dipotret?”
“Nggak lah.” Eliza tertawa. “Aku nggak terlalu suka tampil di depan kamera.”
Badran dibuat heran, ia tak seperti perempuan pada umumnya, yang selalu suka tampil di depan kamera. Tetapi perempuan itu tidak, ia terlihat sangat berbeda.
“Aku suka fotografi sejak masih sekolah.” Eliza menjelaskan, sementara Badran hanya mendengarkan. “Papahku yang ngajarin aku. Kata papah kita harus menghargai momen, salah satunya caranya mengabadikan momen itu dengan foto.”
Badran hanya mengangguk, memahami apa yang dikatakan Eliza.
“Kamu suka fotografi?” Giliran Eliza yang bertanya.
“Aku lebih suka mengabadikan momen itu dengan sebuah tulisan,” jawab Badran.
“Ya, setiap orang pasti punya cara sendiri, untuk mengabadikan sebuah momen. Bisa melalui jepretan foto, kata-kata, bahkan segores pensil pun bisa kita gunakan untuk mengingat sebuah momen itu.” Eliza tersenyum.
“Tapi tidak semua orang bisa memahami apa yang kita ekspresikan.” Badran berkata.
Eliza mengangguk memahami, “Ya itulah seni.”
Suasana seketika hening, mereka saling pandang. Ritme debar di dada Badran kotan semakin cepat dan ia menikmati sensasi itu. Tak lama pengunjung cafe semakin banyak, Eliza permisi melayani. Selagi Eliza berada di bar, melayani para pengujung, kesempatan Badran untuk memperhatikannya lagi.
Saat itu Badran merasa ada yang menarik dengan Eliza. Tapi apa ya? Badran berpikir, segera mencari tahu. Apa ya yang menarik dengan Eliza? Badran terus memikirkan itu, tak kunjung menemukan jawabannya. Hingga pada akhirnya Eliza kembali ke meja yang ditempati Badran.
“Kenapa kok lihatnya gitu?”
“Nggak papa.” Badran menggeleng, menatap Eliza yang sudah duduk di hadapannya.
“Aku jelek ya?”
“Cantik kok.” Badran tak menyangka Eliza menanyakan hal itu.
Sementara Eliza hanya tertawa. “Ya biasa aja mukannya.”
Mereka berdua pun tertawa di meja itu. Kemudian mereka tenggelam dalam sebuah topik pembicaraan mereka. Masih sama, Eliza yang banyak bicara, sementara Badran hanya mendengarkan, sesekali Badran melemparkan beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab Eliza.
Hingga pada akhirnya salah satu pegawai di cafe itu mendekat. “Ciie, Mbak Eliza. Setiap Masnya ada di sini, jadi lupa pelanggan cafe lagi rame.”
“Astaga, lupa.” Eliza menepuk jidat. “Maaf ya, Badran. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama.”
Badran hanya tersenyum, mengizikan Eliza kembali ke bar untuk melanjutkan pekerjaannya.
***
Badran melewati jalan sepi, ini sudah jam sepuluh malam. Dalam perjalanan Badran teringat isi dompetnya yang sudah menipis, hanya tersisa selembar uang dua puluh ribu. Badran harus segera menarik uangnya di mesin ATM terdekat.
Helaan napas berat Badran ketika melihat sisa saldonya hanya seratus lima ribu, sejenak ia terdiam menatap layar ATM itu, menimang-nimang haruskah Badran ambil semua uangnya? Atau separuhnya?
Tak perlu nunggu lama lagi, Badran segera menuliskan nominal uang yang akan ia tarik, lantas keluarlah dua lembar uang berwarna biru, dan sisa saldo Badran kini tinggal lima ribu.
Selesai mengambil uang di ATM, Badran segera meninggalkan ATM itu, niat ia ingin segera pulang untuk memanjakan tubuhnya yang kelelahan di atas kasur yang empuk di kosan. Namun, ketika Badran hendak keluar dari ATM, ada seorang pria tak dikenal yang berdiri di depan pintu. Kini Badran berhadapan dengan orang itu.
Pria itu mengangkat sudut bibirnya, lantas segera menyerang Badran. Badran dengan refleks cepat dengan kemampuan bela dirinya, Badran berhasil menangkis satu dua pukulan, dan melancarkan tendangannya tepat di perut pria yang tidak ia kenal itu. Seorang pria itu pun langsung jatuh terpental.
Ternyata tak hanya satu orang, ada satu orang lagi yang hendak menyerang Badran. Dari samping kiri ia melancarkan pukulannya yang siap mengenai wajah Badran, namun sayang lagi-lagi Badran menangkis pukulan itu dengan tangan kiri, dan berhasil membalas dua kali pukulan, hingga orang itu terjatuh bersandar di dinding kaca ATM.
Setelah Badran berhasil melumpuhkan dua orang yang hendak menyerangnya, Badran segera melarikan diri, menaiki motornya dan pergi meninggalkan ATM. Tak sampai situ, kedua orang itu kembali bangkit, menaiki motornya dan segera mengejar Badran.
Aksi kejar-kejaran antara Badran dan kedua pria tak dikenal itu berlangsung di jalanan yang sepi. Badran melajukan motor maticnya selaju mungkin untuk menghindari kejaran orang itu. Hingga pada akhirnya, secara tiba-tiba Badran membelokan motornya masuk ke jalan kampung. Hal itu membuat kedua orang yang berboncengan mengejar Badran terkejut, kedua orang itu tampak tidak siap membelokan motornya mengikuti Badran. Hingga akhirnya Badran belok ke jalan kampung, sedangkan kedua orang itu terus ke jalan raya.
Namun dengan cara itu bukan berarti Badran bisa lolos, jalan itu bukan jalan pulangnya, juga itu adalah jalan buntu. Badran tahu di situ tidak ada jalan pintas menuju kosan. Badran memilih masuk ke sebuah gang kecil, ia punya rencana sendiri untuk lolos dari kejaran kedua orang itu.
Sementara kedua orang itu masih mencari keberadaan Badran, kini mereka sudah berada di jalan kampung di mana tempatnya Badran membelokan motornya. Dengan kecepatan rendah, mereka sangat yakin pasti Badran masih ada di sini, karena mereka juga tahu jalan itu buntu. Tidak ada jalan pintas lagi untuk ia lolos, kalaupun memang di sini tempat tinggal Badran, justru itu sebuah kebetulan. Karena selama ini mereka sedang memburu Badran.
Pelan-pelan motor itu berjalan, satu orang yang mengendarai motor itu mengawasi di sisi kiri jalan, sedangkan orang yang diboncengnya mengawasi sisi kanan jalan. Dan lagi-lagi kedua orang itu mendapat kejutan, ketika melintasi gang kecil di sisi kiri jalan. Motor Badran keluar secara tiba-tiba dan menambrak motor yang ditumpangi kedua pria itu. Motor itu pun terguling bersamaan dengan orang-orangnya, terjatuh tertimpa motor.
Rencana Badran telah berhasil, Badran tersenyum puas, tidak memperdulikan mereka yang berteriak-teriak memaki-maki Badran. Ia segera menarik motonya dan segera melaju ke arah jalan pulang.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (49)

  • avatar
    FiahAl

    bagus banget karyanya

    13d

      0
  • avatar
    dithaapramu

    seru

    19/06

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    badran selalu membawa perlengkapan jurnalisnya didalam tasnya.

    07/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด