logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 EMPAT

Lonceng itu bertingkah ketika Badran masuk ke cafe, ia melangkah menuju bar memesan minuman. Seperti biasanya setiap berada di cafe itu, Badran memesan matcha latte, mungkin itu sudah jadi favoritnya.
Lantas mana perempuan yang ia cari? Hari ini Badran tidak menemuinya. Apa benar ia sudah tidak bekerja di sini lagi? Ya sudahlah, Badran menghela napas, terlihat sangat pasrah. Kalau memang benar jodoh, pasti akan kembali dipertemukan, tapi kalau tidak … Badran menghela napas lagi, kemudian berjalan memilih tempat duduk di bagian pojok seperti kemarin.
Badran sudah tidak memikirkan perempuan itu lagi, ia lebih memikirkan sesuatu yang ingin ia kerjakan. Badran segera membuka notebook-nya, dan menyibukan dirinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada di notebook.
Sudah menjadi kebiasaan, sepulang kerja Badran selalu mencari berita-berita di laman situs media lain. Mana-mana saja berita yang perlu dikembangkan lagi, untuk bahan liputan esok hari. Begitu cara Badran supaya tidak bingung saat liputan besok.
Tak lama akhirnya Badran sudah tenggelam dalam dunianya. Badran merasa suasana cafe seketika hening, pandangannya fokus ke tulisan-tulisan di layar, sesekali jemarinya bergerak lincah di atas papan ketik.
“Aku sudah menduga, kamu pasti akan kembali setelah meminum matcha kemarin.”
Badran mengangkat wajahnya, menatap seorang perempuan membawa cangkir di hadapannya.
“Sepertinya matcha adalah minuman favoritmu, silakan.” Perempuan itu tersenyum, seraya menyodorkan secangkir matcha pesanan Badran.
Badran masih menatap perempuan itu dengan tatapan bingung, dan tanpa ekspresi apapun. Siapa perempuan itu? Kenapa dia bisa tahu minuman favorit Badran? Bukannya baru kemarin ketemu? Begitu pikir Badran dalam benaknya.
Melihat ekspresi kebingungan Badran, perempuan itu hanya tertawa kecil, lantas ia meletakkan cangkir itu di atas meja, dan duduk di hadapan Badran. “Aku pemilik cafe ini, awalnya cafe ini punya mamah, tapi ketika mamah udah nggak ada, akhirnya cafe ini diberikan kepadaku.”
Badran hanya mengangguk sedikit memahami, tapi ia masih bingung kok bisa dia menjawab pertanyaan dalam pikiran Badran. Apa jangan- jangan, dia bisa membaca pikiran orang lain? Begitu sangkanya.
“Tenang, aku hanya manusia biasa kok, tapi kadang aku suka memperhatikan ekspresi – ekspresi orang. By the way, ekspresimu kalau lagi bingung lucu ya?” Perempuan itu tertawa, namun Badran hanya diam, menatapnya datar, ia semakin tidak bisa memahami perempuan yang ada dihadapannya. Apakah dia benar-benar manusia biasa?
Karena melihat Badran hanya diam, perempuan itu pun berhenti tertawa. “Kalau kamu masih tidak percaya, ya udah.” Perempuan itu hanya tersenyum, lantas duduk di hadapan Badran.
“By the way, aku suka memperhatikan orang – orang di sekitar sini. Di sana ada sepasang remaja.” Perempuan itu menujuk sepasang remaja, yang duduk di ujung sana. “Sebentar lagi salah satu dari mereka mengeluarkan kamera, dan selfi di tempat itu juga.”
Badran pun melirik ke sepasang remaja itu, ternyata benar, tak lama seorang laki-laki mengeluarkan kamera ponselnya, kemudian selfi bersama perempuan di sampingnya itu. Badran semakin bingung dibuatnya, ia langsung menjauhkan jemari-jemarinya dari papan ketik, meraih cangkir matcha, dan menyeruputnya.
Perempuan itu hanya tertawa melihat kebingungan Badran, “Lalu sebentar lagi, akan ada perempuan datang dan duduk dengan gelisah.”
Badran beralih menatap pintu cafe, setelah mendengar lonceng cafe berbunyi. Seorang perempuan baru saja masuk, dan duduk di salah satu kursi dengan gelisah, sambil mengotak atik ponselnya.
“Aku udah sampai cafe, kamu di mana?” ucap perempuan itu lagi, dan tak lama kemudian ada seorang laki-laki yang baru saja datang sambil menelepon seseorang. “Halo, Sayang. Aku udah sampai cafe, kamu di mana?”
Badran tertawa dibuatnya, perempuan itu pun juga ikut tertawa.
“Bisa ketawa juga ternyata,” katanya, dan Badran masih belum bisa berhenti tertawa, melihat keajaiban seorang perempuan di hadapannya itu. Sangat mengaggumkan.
“Eh, pasti kamu lagi menulis ya? atau jangan-jangan kamu penulis?” Perempuan itu mendeham sebentar. “Enak ya, punya bakat menulis, bisa merangkai kata-kata indah, dan pasti kamu bisa ekspresikan apa yang kamu mau, tanpa harus ngomong.”
“Aku lagi nulis rencana liputan besok, aku wartawan koran Jogjapolitan”
Perempuan itu mengangguk, kali ini tebakannya salah. Suasana seketika hening, Badran hanya diam memandangnya, ia merasa kikuk di hadapan perempuan itu, tidak bisa bicara, hanya bisa membalas senyum. Padahal perempuan itu yang ia cari, yang membuatnya kembali datang ke Cafe Titik Kumpul ini.
“Eh, aku kembali dulu ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan.”
Badran mengangguk, tersenyum.
Perempuan itu pun membalas senyuman Badran, “Oke, selamat menikmati matcha-nya ya,” ucapnya, kemudian ia langsung beranjak dari tempat duduknya.
Sementara Badran masih di tempat semula, hanya diam dan memandanginya. Sungguh unik dan ajaib perempuan itu. Bantinnya yang masih teringat tentang tingkah laku uniknya tadi.
Tak lama Badran duduk di sana, menulis rencana liputan sambil menikmati secangkir matcha. Tak terasa secangkir matcha telah habis, dan waktu sudah menujukan pukul 19.15. Badran segera membereskan barang-barangnya, memasukan notebook ke dalam ransel, kemudian bergegas menghampiri perempuan itu di bar, untuk membayar minuman yang ia pesan tadi.
“Dinda.” Badran menghampiri perempuan ajaib tadi, ia masih ingat namanya saat membaca papan nama di clemek kemarin malam.
“Iya, Mas?”
Badran menoleh bingung, kok orang lain yang menyahutnya?
Perempuan yang tadinya dipanggil Badran hanya tertawa di hadapannya, “Lain kali tanya nama dulu ya, Mas,” katanya seraya berjalan menghampiri Badran.
“Maaf ya, Din. Demarin malam aku pake aprof-mu,” ucapnya meminta maaf kepada salah satu pegawainya itu. Kemudian ia kembali menatap Badran, “Kebetulan, kemarin Dinda nggak masuk, jadi aku pakai aprof-nya. Oh ya, kenalin namaku Eliza.” Perempuan itu mengulurkan tangannya.
“Badran.” Badran menerima tangan Eliza untuk bersalaman.
“Oke, Badran. Salam kenal ya.”
Badran hanya mengangguk menerima salam kenalnya.
“Oh ya, tadi mau ngapain?”
“Mau bayar.”
“Buru – buru aja, kirain masih lama di sini?”
“Sudah malam, besok kerja soalnya.”
“Oohhh..” Perempuan yang bernama Eliza itu mengangguk, “Oke, kalau gitu. Terma kasih sudah berkunjung di Titik Kumpul, dan semoga kita bisa berjumpa lagi besok,” ucapnya disertai dengan senyuman yang teramat sangat manis.
Badran mengangguk, mebalas senyumannya, lantas segera melangkah ke pintu keluar. Jujur Badran mulai tertarik dengannya, baru pertama kali ini Badran menemukan seorang perempuan seunik dia.
“Dran, tunggu!”
Merasa dipanggil, Badran langsung menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Eliza yang berjalan ke arahnya.
“Hp-nya ketinggalan ya?”
Badran menatap benda pipih itu sebentar, lantas mengeceknya ke dalam saku dan ranselnya. Kemudian ia baru sadar, bahwa salah satu barangnya tidak ada di dalam saku dan ranselnya.
“Oh iya, benar. Ini Hp-ku ketinggalan, makasih ya.” Badran langsung menerimanya, dan segera memasukan ke dalam ransel.
“Makannya, lain kali dicek dulu barangnya.” Eliza mengingatkan.
Badran hanya menyeringai, “Siap, terima kasih. “
Eliza mengangguk, dan tersenyum lagi. Badran bengong sejenak, memperhatikan keindahan dari senyuman Eliza.
“Bukannya kamu mau pulang?”
Badran langsung sadar dari lamunan, beberapa kali ia menggelengkan kepala. Lantas Badran pun segera pamit.
Selama di perjalanan ke kosan, Badran terus memikirkan perempuan ajaib tadi. Mungkin sampai kos pun Badran masih terus memikirkannya. Aaarrgghh siap – siap nggak bisa tidur kau, Badrann..

หนังสือแสดงความคิดเห็น (49)

  • avatar
    FiahAl

    bagus banget karyanya

    13d

      0
  • avatar
    dithaapramu

    seru

    19/06

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    badran selalu membawa perlengkapan jurnalisnya didalam tasnya.

    07/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด