logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 REZA DAN FARIZ

Mendengar teriakan melengking Talia, Reza spontan membuka paksa bola matanya hingga memerah.
"Ahahahaha, maap ya, Ja. Tapi hari ini gue gak mau telat lagi, kita dapet kelas hari ini. Gue gak mau duduk di depan!" oceh Talia, membayangkan betapa berhantunya kursi paling depan, apalagi kursi yang berada tepat di hadapan guru. Bisa-bisa Talia menangis ketika tak mampu menjawab pertanyaan malah diperintahkan untuk maju ke depan. Talia sudah pernah mengalaminya dan yeah… Lagi-lagi Reza yang harus turun tangan menyelamatkan otak dangkal seorang Talia.
"Harus banget ya banguninnya teriak di kuping?!" Reza mengusap-usap telinga kirinya.
"Masa iya gue mau bangunin teriaknya di jempol kaki lo?! Kuping lo pindah posisi?" ledek Talia.
"Bentar, Liaaa. Masih ngantuk banget ini," Reza masih ingin melanjutkan tidurnya.
"Ja! Buruan bangun, udah siang ini!" Talia memaksa tubuh Reza untuk bangkit.
Sesampainya di sekolah, Talia dan Reza mencari nama mereka bersama-sama dengan harapan mereka berdua akan dipersatukan dalam satu kelas yang sama agar dapat berbagi kegilaan bersama di setiap harinya.
Akhirnya tiba pada sebuah ruang kelas dimana di depan pintu ruangan itu terdapat sebuah kertas yang tertempel dengan beberapa deret nama anak-anak calon penghuni kelas itu dan nama Reza ada diantara sederet nama di sana. Hanya saja…, tidak ditemukan nama Talia di kelas X IPS 3.
"Yahhh, gimana ini. Masa gak sekelas sama lu! Hiks," Talia sudah mulai berkaca-kaca. Baiklah, sejujurnya Reza pun tak kalah sedihnya, tapi dia tahu jika dia ikut-ikutan bersedih di depan Talia, dapat dipastikan Talia akan benar-benar menangis kencang di depan umum.
"Yailah, Lia… Kita cuma beda kelas, belom beda alam. Kita masih bisa berangkat bareng tiap pagi, pulang bareng, jajan bareng. Jangan lebay ih, segitu enggak mau pisahnya lu sama gue?!" ujar Reza merangkul Talia sembari menaik-turunkan alisnya kearah Talia. Talia yang sudar terlanjur sebal pun langsung menepis rangkulan Reza, "Lu gak sedih pisah kelas sama gue?! Ck, dahlah malesin banget!" Talia langsung berlari sendirian meninggalkan Reza yang langsung melemparkan tas-nya ke sembarang arah hingga mendarat di kursi bagian tengah kelas itu. "Fiks, gue duduk di situ!" Gumamnya, lalu ikut berlari mengejar Talia.
Talia yang sudah cukup jauh dari Reza pun terus-terusan menggerutu tak terima dipisahkan kelas dari Reza. Karena memang seketergantungan itu dirinya terhadap Reza. Saat Talia berhenti tepat di depan sebuah kelas yang mana di sana cukup ramai dirubungi siswa-siswi baru lainnya. Talia tampak takut dan memilih duduk di kursi panjang, saat dilihatnya situasi aman dan sudah tak ada seorang siswa pun yang mengerubungi daftar nama di depan kelas itu, Talia pun bergerak ke sana untuk mencari namanya.
Talia menunjuk rentetan huruf demi huruf sembari mengeja namanya, "Talia Nahdhi Romusha! NAHHH, NAMAKU! Kelas berapa ini?" Talia heboh ketika hanya menemukan namanya tanpa melihat kelas apa dan berapa yang didapatnya.
"IPA 3?! YEAY!" Talia yang kegirangan sembari berjoget-joget ringan pun seketika terkejut saat dia berbalik dan melihat seorang anak laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya sudah berada tepat di belakangnya dengan jarak yang sangat teramat dekat, "e-eh, maaf. Aku cuma mau cari namaku," ujarnya mengeluarkan senyuman ramahnya.
"F-fariz, hehehe. Iya silahkan," Talia yang sudah teramat senang pun langsung masuk dengan bersemangat membawa tas miliknya di kursi paling sudut bagian belakang di sebelah kanan. 
Saat Talia tengah asik melihat ke jendela memperhatikan pemandangan senior-seniornya yang tengah berlatih futsal. Tiba-tiba, Talia merasa ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Spontan Talia pun menoleh dan sedikit terkejut melihat siapa yang duduk di sampingnya itu. "Fariz? Ngapain? Kamu masuk kelas ini juga?" Tanya Talia, dan Fariz mengangguk pelan dengan senyumannya.
"Kenapa gak duduk di depan aja?" Tanya Fariz yang sudah tak canggung lagi.
"Kursi depan itu, kursi berhantu. Hehehe," ucap Talia mengada-ada.
"Aku duduk sama kamu boleh 'kan ya?" Tanya Fariz.
"Iya, boleh." Talia tampak murung lantaran memikirkan Reza. Biasanya Reza akan mengamuk jika ada orang lain yang duduk di sebelah Talia tanpa seizinnya walau hanya untuk 1 jam mata pelajaran, bahkan seorang teman wanita sekalipun.
Sekitar 1 jam, dua orang senior menjelaskan banyak hal, mulai dari peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah mereka sampai pembagian kelas sesuai dengan isi raport mereka selama menjalani masa pendidikan di SMP masing-masing.
Tiba-tiba suara speaker sekolah terdengar hendak mengumumkan sesuatu.
🎙️Cek cek, perhatian kepada seluruh siswa-siswi SMAN Lohari, jam isti-,
Tiba-tiba terdengar kegaduhan seperti suara mic yang ditarik secara paksa.
🎙️Permisi-permisi, perhatian kepada Talia Nahdhi Romusha! Woy, Lia Monyet! Ini gue, Reza. Lu dimana sih? Kelas berapa lu? Gue keliling nyariin lu. Ntar-,
🎙️Kamu ini gak sopan banget, kamu pikir ini sekolahan punya nenek moyangmu?! Pergi sana! Sebelum saya laporin ke guru piket.
Seisi SMAN Lohari mendengar dengan jelas itu semua, Reza benar-benar gila yang tidak ada habisnya. Talia hanya bisa menenggelamkan kepalanya di antara tumpukan tangannya di atas meja. Berharap orang-orang di sekitarnya tidak menyadari bahwa Talia yang dicari oleh Reza sang pembuat onar itu adalah dirinya.
"Pffft, itu ulah Reza pacarmu itu 'kan? Dia nyariin tuh," ledek Fariz menertawakan Talia.
Talia pun manyun ke arah Fariz, "Yeuuu, bukan pacar 'ku. Mana mau aku sama orang sinting cem dia tu!"
"Tapi kalian sedeket itu?" tanya Fariz yang kebingungan.
"Kita sahabatan dari kecil, ya… Meskipun Si Reza sinting, ngeselin, jail, tengil, tapi aku bahkan ngerasa gak bisa kalo pisah jauh dari dia," Talia tersenyum tipis.
Fariz ikut tersenyum, tatapannya kini meneduh. "Aku juga pernah punya sahabat kecil perempuan. Tapi dia udah pergi jauh dari hidupku sejak kecil," ucap Fariz bersedih.
"Maaf, dia… meninggal?" tanya Talia berhati-hati.
"Astagfirullah, Bukan! Dia… Pindah. Dia juga jadi salah satu alasan kenapa aku memilih Jakarta," jawab Fariz tersenyum, dalam hatinya benar-benar berharap bisa kembali dipertemukan dengan sahabat kecilnya.
"Oh, maaf. Emangnya dia di Jakarta?" tanya Talia.
"Setahuku ke Jakarta," jawab Fariz.
Talia tersenyum, dia tahu apa yang dirasakan saat berharap kembali dipertemukan dengan sahabat kecil yang kemungkinan untuk kembali pun sangat kecil. "Semangat! Semoga cepet ketemu ya…."
"Aamiin," Fariz tersenyum.
"Ya udah adek-adek, ini udah waktunya jam istirahat. Kalian boleh isti-,"
Bruak…
"Assalamualaikum. Permisi, kakak-kakak, abang-abang, semuanya, saya cari temen saya. Talia namanya," tiba-tiba Reza menerobos membuat heboh seisi kelas itu yang tampak sibuk mencari seseorang bernama Talia.
Mata Reza pun menemukan senyuman Fariz yang tampak teramat ingin meledeknya, "Oy, Dukun Santet! Liat Lia gak?" tanya Reza pada Fariz yang bertubuh semampai hingga mampu membuat tubuh kecil Talia tersembunyi di sampingnya.
Talia pun memunculkan kepalanya dengan tatapan tajam seolah ingin menelan Reza saat itu juga. "LIAAA!" pekik Reza heboh saat menemukan batang hidung Talia, Talia pun segera bangkit lalu cepat-cepat menyeret teman gilanya itu dari ruang kelas.
Saat sudah berada di luar, akhirnya Talia mengamuki Reza. "Lu bisa gak sehari aja gak bikin gue pusing? Sehariii aja, Ja!" tanya Talia bernada frustasi.
"Santai, Lia. Gue cuma mau tahu kelas lo dimana," ujar Reza memberi pembelaan.
Takkk…
"Adoy! Pedes banget sentilan lu," ucap Reza seraya mengusap-usap dahinya yang barusan tersentil oleh jari kecil Talia.
"Apaan pula bikin onar sama guru penyiar, woy! Ga bisa mikir kah lu sebelum bikin ulah?" rasanya Talia sangat ingin mencekik Reza saat itu juga.
Dua Minggu Talia bersekolah di SMAN Lohari, dia jadi sangat mencintai kegiatan-kegiatan monotonnya bersama Fariz dan juga Reza yang tentunya selalu mengisi hari-harinya. Lebih lagi saat ini Talia dan Fariz mengikuti ekstrakurikuler yang sama sebab keduanya menyukai hal yang hampir sama, meneliti. Sedangkan Reza dengan hobby-nya, yaitu Futsal. Baru tiga hari mereka menekuni ekstrakurikuler masing-masing dan hari ini adalah jadwal Reza latihan.
Di kantin, saat Reza, Talia, dan juga Fariz tengah asik menyantap makanan mereka masing-masing, "Dukun Santet, ntar gue titip Lia ya? Anterin sampe rumah, soalnya hari ini gue latihan di jam pulang sekolah nanti," tutur Reza.
"Bisa bisa bisa, santai aja," jawab Fariz spontan.
"Maaf ya nyusahin kamu," tutur Talia tak enak hati pada Fariz.
"Ih apaan tuh? Lu gak pernah pun bilang gitu ke gue, padahal gue yang selalu lu repotin," ucap Reza tak terima.
"Lu gak ikhlas?" Talia menyipitkan mata kecilnya.
"Ya ikhlas lah, Bego!" cengir Reza.
"Santai aja, Lia. Aku 'kan sahabatmu juga sekarang," timpal Fariz.
Sepulang sekolah Fariz dan Talia langsung meluncur ke arah rumah Talia. Sepanjang perjalanan mereka bercerita banyak hal, entah tentang keadaan di sekolah atau mungkin keseharian Reza dan Talia tanpa Fariz. Fariz juga menceritakan bahwa Bunda-nya pun tengah sakit, alasannya pindah ke Jakarta memanglah untuk mencari sahabat kecilnya, tapi salah satu alasan besar lainnya adalah untuk mencari pengobatan terbaik bagi Bunda Fariz.
"Kapan-kapan aku besuk Bunda-mu boleh?" tanya Talia.
"Boleh lah," Fariz tersenyum di balik helmnya.
"Kalo aku besuk, enaknya bawain Bunda-mu apa ya? Makanan kesukaan Bunda-mu apa?" tanya Talia penasaran.
"Gak perlu repot-repot, ada yang besuk aja Bunda pasti seneng," ucap Fariz yang tak ingin Talia terlalu repot.
"Tapi aku pengen bawain sesuatu," Talia harap dia bisa membawakan sesuatu untuk memberi semangat pada Bunda Fariz.
"Bawain aja pisang goreng atau pisang mentahnya pun udah seneng banget pasti tuh," ucap Fariz.
"Pisang?! Mama-mu juga suka pisang? Aku pun!" ucap Talia heboh.
"Aku panggilnya Bunda," ujar Fariz memberi tahu.
"Oh iya, maksudku Bunda." ulang Talia.
"Bunda lebih suka pisang goreng sih," akhirnya Fariz dan Talia larut dalam pembahasan pisang yang tidak akan ada habisnya di mulut Talia. Fariz pun ikut senang, pasalnya membahas soal pisang dapat mengingatkannya tentang seseorang yang dirindukannya.
"Riz, mau tanya sedikit, boleh?" tiba-tiba saja Talia ingin membahas suatu hal kepada Fariz.
"Banyak juga enggak apa," Fariz tersenyum di balik helmnya.
"Eum, kamu yakin kalo sahabatmu juga bakal inget kamu?" tanya Talia yang spontan membuat Fariz mengendurkan pedal gasnya.
"Riz? Ga apa 'kan aku tanya ini? Kalo ga mau jawab ga apa kok," Talia jadi panik dan tak enak hati sendiri.
"I-iya, aku bakal jawab. Sebenernya aku pun gak yakin, tapi… Gak tahu, hatiku bilang kalo sahabat kecilku juga pasti akan selalu inget aku. Aku gak bisa berharap lebih, mungkin aku pernah berharap dia bakal jadi jodohku di masa depan. Tapi, untuk sekarang, paling enggak dia inget aku aja udah alhamdulillah," jawab Fariz kembali melanjutkan laju sepeda motornya.
Setibanya di depan rumah Talia…
"Mampir dulu, yuk. Aku buatin jus tomat! Kamu suka 'kan?" ajak Talia.
"Beneran nih? Gak ngerepotin?" tanya Fariz yang sebenarnya pun mau.
"Ayok!" Talia langsung menggeret lengan Fariz untuk masuk. Talia dan Fariz pun membuat jus tomat kesukaan Fariz, membuat pisang goreng untuk camilan mereka pun bersama-sama.
Kemudian Talia mengajak Fariz untuk berkeliling seisi rumahnya, bahkan Talia berani meminjamkan Fariz beberapa buku penelitian yang ada di perpustakaan pribadi miliknya. Meminum jus bersama, memakan snack bersama, bahkan menonton film kartun (Spongebob) bersama, membuat hubungan mereka tampak semakin akrab seiring berjalannya waktu.
"Ih tahu gak? Dulu aku sama sahabat kecilku itu suka banget nonton Spongebob bareng. Bahkan sampe malem!" ujar Fariz memberi tahu.
"Ih sama! Aku dari dulu suka banget sama Spongebob!" timpal Talia ikut heboh sembari menyantap pisangnya.
Pukul 15.15, akhirnya Fariz pamit dan beranjak pulang. Takut jikalau Bunda membutuhkannya di saat keadaannya yang tengah sakit seperti saat ini dan Fariz malah tidak berada di sana.
Keesokan paginya Talia, Reza, dan Fariz berencana untuk joging di sekitaran komplek perumahan Reza dan Talia bersama-sama. Seperti biasa… Fariz yang rumahnya cenderung lebih jauh malah lebih dulu datang daripada Reza. Hal itu sempat membuat Talia dan Fariz berniat meninggalkan Reza untuk joging lebih dulu.
"Duh capek banget woy beneran deh," keluh Reza yang sudah merasa letih, padahal mereka baru saja joging sekitar 500 meter.
"Hilih bacot lu capek-capek, Kambing Berok! Cepetan sini, astaghfirullah rabbal baraya, lemah banget ni cowok." ledek Talia.
"Ya lagian gue masih ngantuk berat woy, dibangunin pagi-pagi. Ini weekend, guys!" kesal Reza.
"Sekarang gue tanya, pernah lu liat orang joging jam 12 siang?!" Talia gemas seraya berkacak pinggang ke arah Reza.
"Mana ada orang joging jam 12 lah," timpal Fariz.
"Yeu, ikut-ikutan aja lu, Dukun Santet." ucap Reza tak terima disudutkan.
"Ya bener, Ja! Kalaupun ada yang joging jam 12 paling mah lu doang!" Talia menatap Reza sinis.
"Si Monyet, belain aja terus tuh Dukun Santet! Nyebelin kalian iiisss," Reza pun memilih untuk berpura-pura ngambek.
"Za, sekarang mata pandamu keliatan banget. Jangan sering begadang," peringat Fariz.
"Dih sok peduli lu, Dukun Santet." Reza memilih untuk joging di depan lebih dulu.
Talia pun menggeramkan giginya, kesal mendengar jawaban Reza terhadap kepedulian Fariz. "Eh, orang itu ngingetin yang bener, malah-,"
"Nyenyenyenyeeee," Reza malah meledek Talia dengan mengejek gaya bicaranya.
”Oh sialan! Nantangin Lia lu ya, gue lempar pake ni sepatu lu ya," baru saja Talia hendak melepaskan sepatunya dan melemparkan sepatunya tepat ke kepala Reza, tapi Reza lebih dulu berlari jauh dari mereka.
"Ahahaha! Sabar, Lia. Reza emang masih kek anak kecil, tapi sebenernya dia bisa kok berpikir dewasa. Kurasa cuma di depan kita dia nunjukkin sikap kekanakannya," ucap Fariz tersenyum menenangkan Lia.
"Mana ada, Riz! Dia pun manja banget kalo sama Mama-nya, ampun dah tu orang," Talia geleng-geleng kepala.
"Udah ih, jangan marah-marah terus. Tapi, kalo diliat-liat kamu makin imut deh kalo lagi kesel gitu," entahlah itu sebuah pujian atau hinaan, yang jelas hal itu spontan keluar dari mulut Fariz.
"A-apa sih, aduhhh," Talia memegang pipinya yang berasa panas, entah karena keberatan lemak di bagian pipinya atau mungkin faktor lain. Talia merasa pipinya bersemu mendengar hal barusan, tidak sekali… Kata-kata Fariz kerap kali membuatnya merasakan hal-hal yang seperti sekarang.
Lelah berjoging, akhirnya Talia, Reza, dan Fariz memilih untuk beristirahat di sebuah cafe saja, dengan alasan lebih terjamin kebersihannya daripada di warung-warung pinggir jalan. Tentu saja Reza yang beralasan demikian, kalau Fariz dan Talia lebih tidak ambil pusing tentang hal itu.
Talia sendiri yang memesan, karena dia lebih mengerti tentang rasa apa yang disukai oleh kedua sahabatnya. Saat mengantri…, antrian Talia diserobot oleh salah seorang laki-laki yang mungkin usianya cukup jauh di atasnya, kisaran 23? Mungkin. Lalu orang itu berbisik, "Maaf ya, Dek. Saya buru-buru banget, ada urusan penting abis ini," ucapnya dan Talia hanya membalasnya dengan senyuman kikuk.
"Dih, Om-om ga ada akhlak! Semua orang juga punya urusannya masing-masing, dasar orang Indonesia!" batin Talia memaki dalam hati.
Saat pesanannya tiba, laki-laki itu berbalik dengan ceroboh lalu tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu tepat di dekat kaki Talia, dengan gerakan cepat Talia memungutnya dan hendak berlari mengejar laki-laki barusan. Tapi sayangnya, "Mbak, ini antriannya panjang loh, yakin mau ikhlasin buat yang belakangnya?" tanya salah seorang pelayan cafe yang bertugas mencatat pesanan orang-orang.
"Ah jangan dong!" akhirnya Talia memilih untuk memesankan pesanan mereka lebih dulu, sembari menunggu pesanannya, Talia membaca deretan huruf yang terpampang pada benda tadi dengan sedikit gumam, "Kartu nama atau bet pengenal nih? Dr. Andry Maran Pratama. Weh! Dokter? Tapi kok gak taat antrean, cih!" gumam Talia berdecih sebal.
To be continued...

หนังสือแสดงความคิดเห็น (2)

  • avatar
    RamadhaniSuci

    Baguss

    03/08

      0
  • avatar

    Ih keren critanya😳😳😳🥺

    26/08/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด