logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

SERPIH 4

“Bu,” panggil Anna tiba-tiba. Aku belum genap memasuki koridor tapi sudah mendengar suaranya dari arah lain. Saat aku menoleh, gadis itu tampak terengah.
“Dari mana kamu?”
Sepertinya untuk berbicara, Anna harus banyak mengisi paru-parunya dengan udara. Agak tergesa, Anna akhirnya bisa menyuarakan hal yang membuatku ingin mengumpat.
“Di bawah, ada banyak buket bunga. Dan rasanya ... Anna tau dari siapa. Tadi Anna dipanggil karena terlalu banyak jadi harus minta bantu—”
“Suruh sekuriti gedung untuk membuang,” selaku penuh tegas tanpa menoleh lagi. Kali ini, aku harus benar-benar mengonfrontasi dirinya. Aku mengabaikan bukan berarti malah semakin jadi dirinya berbuat. Seenaknya sekali!
Sampai tanpa sadar aku membanting pintu ruangan yang kuyakin menyisakan Anna yang berjengit kaget karena ulahku. Agak kasar aku meletakkan tas tenteng yang kubawa. Sepagian ini, mood-ku yang dalam kadar happy luar biasa.
Sarapan pagi ini aku bersama keluargaku. Lengkap dengan Zain yang sudah heboh dengan buburnya. Semua yang tercipta di meja makan tadi, kurekam dengan amat betapa kami semua saling mencintai satu sama lain. Dan karena cinta ini pula, aku masih bisa bertahan tanpa tenggelam dan larut terlalu lama pada kesedihan tanpa ujung.
Aku bersyukur sekali mendapati hal ini dalam hidupku yang sepi. Bahkan sepanjang jalan, kami bercerita banyak mengenai Zain. Yaya semringah sekali saat berceloteh ini dan itu mengenai anaknya itu. Sesekali Rendra dengan jokes recehnya yang mampu membuat rona di pipi Yaya makin bersemu.
Dasar tukang gombal! Tapi kuakui, Rendra memang bukan pria yang hobi macam-macam dengan perkataan manisnya. Malah kurasa, kadar manis mendekati menjijikan itu hanya dibuat untuk Sayana. Kalau istilah Anna bilang. “Pak Rendra bucin banget sama Mbak Yaya.”
Dan semua hal menyenangkan itu dihancurkan oleh Andrew dengan sempurna! Mood-ku hancur total.
“Bu.”
Kali ini yang memasuki ruanganku, Yaya. Di tangannya, secangkir teh yang kurasa itu buatan Anna, ia bawakan.
“Pasti Ibu tau ini buatan siapa.”
Tebakanku benar. “Duduk, Ya.” Walau kuyakin dirinya mau bertanya lebih jauh mengenai tingkahku barusan, aku berusaha mengabaikan. Rendra pasti sudah bercerita mengenai proposal gila yang diajukan seorang Andrew Baharu Mahreem.
“Apa yang mau Kak Inggrid lakukan?” tanyanya pelan. Matanya menatapku penuh simpati.
“Menghantam Andrew pakai tas berisi batu bata, aku rasa itu cukup adil.”
Yaya sepertinya ingin tertawa tapi ditahan. Mungkin takut menyinggung perasaanku. Mencairkan suasana, aku terkekeh saja. Dan benar. Yaya menghela napas pelan dan seperti terbebas dari hal yang mencekik, ia mengulum senyum. “Nanti tambah sinting Pak Andrew-nya.”
Aku setuju dengan Yaya kali ini.
“Kosongkan jadwal aku hari ini, Ya. Sepertinya benar. Aku harus mencuci kepala Andrew sendiri. Syukur untung kalau ada dokter yang mau membantu. Biar cepat selesai dan dirinya enggak terlalu sinting lagi.” Aku berpikir sejenak, apa hari ini ada case urgent yang mesti kuselesaikan dengan segera?
“Buat janji temu hari ini, Ya. Reversasi di mana saja asal private,” imbuhku sembari mengutak atik ponsel. Menekan nomor telepon yang rasanya kini aku sesali pernah menyimpannya.
Begitu terhubung, tanpa perlu mengucap salam aku berkata dengan nada setenang mungkin tapi ketahui lah, itu menyeramkan. Bahkan bulu kudukku sendiri sudah mulai bangkit saking takutnya.
“Saya ingin bicara berdua dengan ... siapa kalau boleh saya berucap? Calon Suami?”
****
Biasanya, perempuan lebih suka ditunggu. Menghabiskan banyak waktu sekadar merapikan penampilan agar lebih pantas ketika bertemu calon pasangannya atau in case, calon suami. Itu yang digadang olehnya, bukan aku.
Waktu bagiku, teramat berharga. Betapa pengalaman mengajarkanku menghargai tiap detik yang terlampaui. Tapi kali ini, aku turunkan standartku mengenai waktu. Aku sengaja mengulur banyak waktu, hingga kurasa mungkin dirinya jengah menunggu.
Kubiarkan dua jam berlalu sejak jam janji temu disepakati.
Suara heels yang beradu dengan lantai restoran, membahana penuh irama. Seiring langkahku mantap mendekat pada salah satu sudut yang memang sengaja aku pesan. Kupikir, pria itu menyerah menunggu. Ternyata tidak. Dirinya malah asyik bersama asistennya, memindahkan meja kerjanya—kurasa—karena meja yang seharusnya terisi penuh dengan makanan, malah tercecer banyak lembaran kerja.
Langkah ini makin mantap saat kurasa keberadaanku disadari oleh dua orang yang sibuk itu. Senyum kecil sengaja aku buat walau di dalam hati ini, berkecamuk badai hebat. Siap menggulung pria yang matanya langsung menatapku dengan pandangan ... lega?
“Saya pikir Anda lupa, Bu, dengan pertemuan ini,” katanya diiringi seringai kecil andalannya.
“Enggak. Saya enggak lupa. Bapak jangan khawatir. Anda tau, kesibukan saya demikian menyita waktu. Jadi ... terlambat.” Aku diam sejenak saat dirinya buru-buru bangun dan menarik salah satu kursi untukku. Kata maaf atas keterlambatan ini tak ingin aku suarakan. “Terima kasih tapi sebenarnya ini enggak perlu.”
Dia hanya tersenyum. Asistennya mungkin tahu diri. Memilih menyingkir dengan segera dengan tumpukan kertas tadi.
“Jadi ... apa yang mau Bu Inggrid katakan.”
Berhubung sudah dimulai, aku tak memberinya jeda. Kali ini, aku mau dirinya sadar dengan siapa ia berhadapan. Jangan remehkan aku yang seperti wanita kesepian tanpa adanya pria di samping hidupku. Yang digoda sedikit atau diberi satu kepastian dalam hubungan, rela menyerahkan diri. Memang dia siapa? Seenaknya saja berhadapan denganku. Bahkan seorang Mahreem sekali pun, tak semestinya bertingkah murahan seperti ini.
“Apa yang Anda mau?”
“Well ...” Dia menggosok kedua tangannya yang kurasa itu menjadi kebiasaan sebelum dimulainya pembicaraan ke arah yang lebih serius. Aku sering memperhatikan dirinya dengan gaya yang selalu dimulai seperti itu sebelum berdiskusi yang teramat menyebalkan.
“Proposal saya jelas. Saya mengajak Anda menikah. Dan ... itu serius.”
“Base on?”
Keningnya berkerut sedikit tapi langsung diganti dengan senyum yang terlihat memuakkan.
“Anda single, saya pun single. Saya tau siapa Anda, pun saya rasa Anda tau siapa saya.”
Mataku bersirobok dengannya tapi senyumku tak ada.
“Bisnis Wijaya akan semakin melebar luas jika Mahreem sokong.”
Tanganku bergerak otomatis untuk menyelanya tapi dengan cepat, ia menggoyangkan telunjuk. Tanpa tak ingin ada penyelaan. Sialannya, aku patuh dengan geram kesal. Menunggunya melanjutkan bicara.
“Saya tau pasti kinerja Anda demikian bagus. Saya enggak meragukan itu sama sekali. Membuat saya make a deal, bukan hal yang mudah dan secara logika, Anda menang dengan pengajuan yang ditawarkan pada saya.”
Kulihat dirinya kembali menyeringai. Jenis sudut tarikan pada bibirnya yang seolah mengisyaratkan, kalau di akhir pembicaraan aku akan menyetujuinya. Sayangnya ... tak semudah itu.
“Jujur saja ... saya butuh pendamping. Dan saya merasa ... Anda qualified terbaik.”
Senyum remeh kuberi sebagai jawaban. “Hanya itu?”
Tanpa ragu anggukan ia beri sebagai jawabannya.
“Jadi ... pada dasarnya, kembali lagi ini bukan mengenai kesepakatan bisnis?”
“Tentu saja bukan. Bukan kah sudah saya katakan, saya butuh pendamping?”
“Dari sekian banyak perempuan yang Anda temui? Saya yang masuk kriteria Anda? Begitu?”
“Benar.”
Rasanya kalau tak mengingat berapa sopan santun itu perlu, aku ingin sekali menyiram wajah ke-bule-annya itu dengan air mineral.
“Maaf kalau begitu. Saya sungguh harus menolak.”
“Apa saya enggak pantas menjadi pendamping Anda?”
Aku tersenyum sembari mengangguk kecil. Mataku menatapnya tanpa ragu barang sedikit.
“Mahreem punya kuasa kalau saya boleh membawa nama itu di pembicaraan santai ini.” Ia terkekeh sejenak. “Perlu kah saya mengatakan mengenai persebaran saham Mahreem?”
Sama sekali itu bukan hal yang aku takutkan. Aku sendiri sudah mempelajari dengan amat mengenai siapa Mahreem tiga hari belakangan ini. Mereka bukan nama sembarangan.
“Jauh sebelum saya menghadirkan cincin ibu saya ke hadapan Anda, Bu Inggrid, saya sudah menolak ide ini. Tapi saat melihat dan mengawasi langsung dengan wanita seperti apa saya akan diperkenalkan dalam minggu ini, saya mengajukan terlebih dahulu. Mengantisipasi Anda enggak pingsan di tempat.”
Keningku berkerut dalam. Apa maksudnya ini?
“Oh ... melihat Anda yang sepertinya kebingungan, saya beri clue sedikit.” Senyumnya tercetak di sana. Wajahnya ia bawa condong ke arahku beberapa jarak. Membuatku ingin mencakar raut mukanya itu dengan segera. Kutahan semua yang seperti air mendidih di hati untuk menjaga wibawaku tetap terlihat di matanya.
“Kakek Anda, telah lama menyodorkan nama Anda, Inggrid Kesuma Wijaya. Agar saya mau berkenalan atau setidaknya ... bertemu sebentar. Beruntungnya Anda ... saya terus menolak.”
Ini ... tidak mungkin. Kakek?
“Tapi saat pertama kali saya bertemu dengan Anda di meeting siang satu atau... satu setengah tahun lalu? Saya enggak pernah lupa hari itu. Anda sudah berhasil memikat saya.”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (85)

  • avatar
    Asepmuh.zakwan

    mantap ini sih

    11d

      0
  • avatar
    Muhammad Khairun Nizam Bin Hashim

    ✌🏻 ⭐️⭐️⭐️⭐️

    28d

      0
  • avatar
    Wn07Ardian

    mantap

    21/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด