logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

SERPIH 2

“Kak,” panggil Rendra yang memecah lamunku. Sudut rumah yang paling kusuka adaah kolam renang. Di sekitarnya dibangun gazebo untuk sekadar melepas penat atau seperti ini; duduk bermandi cahaya temaram dari lampu taman. Jangan lupa Americano juga kue keju kesukaanku.
Aku tak butuh membalas panggilannya karena adikku yang menyebalkan, sudah duduk di sampingku penuh cengiran. “Motornya balikin, Kak.”
Rendra dan segala inginnya. “Enak aja. Kan, kamu yang ngasih. Barang kalau sudah dikasih enggak boleh diminta, Ren.”
“Aku susah banget ngedapetinnya.” Suara Rendra terdengar penuh keluhan. Dia merayu. Tentu saja aku tak tertipu. Kukibaskan tangan tanda tak mau diintervensi masalah motor klasik yang diam-diam kukagumi itu.
“Lebih dari itu, sih.”
Aku tau, Rendra menghampiriku bukan sekadar perkara motor.
“Bisa dapat persetujuan Andrew Mahreem keren banget tuh. Susah banget dia di-lobby. Orangnya objective banget.”
Bagian itu, entah kenapa aku setuju dengan Rendra tapi sisanya? Jangan harap. “Tau dari mana kalau proyek ini goal?” tanyaku sembari menyesap cangkir kopi. Menikmati pahit yang menyapa ujung lidah.
“Ada lah.”
Aku tak heran dengan semua pengetahuan Rendra mengenai bisnis yang kutangani. Sayang ... otak cerdasnya tak mau diberdayakan di kantor. Lebih memilih santai dengan celana pendek dan kaus biasa. Berlakon seperti pengunjung kafe padahal ia jelas pemiliknya. Berlagak seperti orang yang tak memiliki kesibukan namun, banyak yang membutuhkannya.
“Kakak rasa, kepala Andrew terbentur.”
Rendra terkekeh kecil. “Bukan karena dilempar sepatu Kak Inggrid, kan?”
See? Rendra memang menyebalkan. Sayana kenapa tahan, ya?
“Seminggu lagi, pertemuan besar keluarga Wijaya. Kakak tau, kan?”
Kapan aku melupakan hari itu? Tak pernah. Kusesap sekali lagi rasa kopi yang kini, pahitnya tak lagi sama. Mataku menerawang jauh. Mengamati bintang yang sebenarnya indah menghias langit namun, hatiku hampa.
“Ada kami. Kakak enggak perlu sedih.”
“Kakak enggak pernah sedih, Ndra. Kenapa harus sedih?” Kurasakan usapan pelan dari Rendra di bahuku. Kuresapi dalam-dalam serta mulai menumpuk hal-hal yang membuatku kuat hingga kini. Pertemuan yang hanya berlangsung beberapa jam, padahal dalam kurun waktu satu tahun pun dilakukan hanya satu kali, tapi mampu membuka luka lama yang tak pernah mengering ini.
“Thanks, Ndra,” kataku tulus. “By the way, aku penasaran. Gimana hidup rumah tangga kamu? Seru?”
Bibir Rendra malah mencebik. Aku salah bertanya memangnya?
“Kalau aku ceritain, nanti Kakak iri.”
Tawaku berderai.
“Serius. Menikah dengan orang yang kita cintai itu, seru parah.”
Tadinya aku bisa melihat binar bahagia di mata Rendra, menyiratkan kalau pilihannya menikahi seorang Sayana tak pernah salah. Bisa jelas kurasakan betapa besar cinta itu ada di antara mereka berdua. Namun, saat kami bersitatap Rendra langsung menatapku dengan pandangan iba.
“Ehm ... maksudku ... ya...”
“Ndra ... Kakak enggak apa, kok. Kakak selalu bahagia kalau kalian semua, keluarga ini, bahagia.”
“Tapi kami pengin lihat Kak Inggrid bahagia juga.”
Senyumku terpaksa terbit. Berdoa dalam hati, agar tidak terlalu kentara palsu. Kugusak rambut tebalnya itu. “Kakak bahagia, Ndra. Karena kalian sumber bahagia Kakak,” tukasku tanpa ragu.
Aku bukan berbohong, tapi jelas itu adalah kenyataan. Keluargaku yang paling utama. Bahagiaku amblas enam belas tahun lalu. Menyisakan rongga yang tak mampu ditutupi oleh apa pun. Dan aku tak ingin berusaha lebih dari yang kumampu sekadar untuk menambal. Kubiarkan menganga lebar, sebagai bentuk, betapa ada sesal yang bergelayut andai saja ...
Menggeleng pelan sebagai afirmasi agar bayang itu tak menghampiri sekarang. Ada Rendra. Tak ingin dirinya mengetahui lebih banyak. Bagiku ... aku sudah bahagia.
***
Rutinitasku kembali berjalan. Tak ada cacat yang ingin kulihat. Semuanya harus sempurna tanpa terkecuali. Bahkan kurasa, dinding serta kaca di kantor jengah melihatku selalu on point dan tanpa cela. Bisa jadi mereka menungguku dalam keadaan lengah, untuk mengolokku kalau Ratu Sempurna, bisa saja tergelincir.
Tapi tidak.
Jangan harap itu terjadi.
Kurasa, itu pula yang sedang orang lain tunggu. Keruntuhanku. Belasan tahun berada di puncak kekuasaan, membuatku mampu melihat dengan teliti. Mana yang menungguku jatuh, mana yang tulus memuji namun berharap ada sela menjegalku, juga mana yang memang murni mengagumiku karena hal yang kuraih.
Itu lah kenapa, aku jarang sekali mau didekati sembarang orang. Tak banyak yang tau pribadiku seperti apa. Kubangun tembok setinggi angkasa hingga tak ada yang mampu menembusnya. Hanya pada orang-orang tertentu, di mana hatiku turut serta memilih mana orang yang pantas mendapat secuil perhatian dariku, yang kuberitahu seperti apa sesungguhnya seorang Inggrid Kesuma Wijaya.
“Morning, An,” sapaku yang membuat Anna berjengit kaget. Sendok yang digunakan gadis itu menyuap serealnya, hampir saja meluncur. Apa kedatanganku ia tak sadari?
“Ibu bikin saya jantungan.”
Yaya tak pernah berani seperti itu sebelumnya. Kuberi tatapan menyelidik tapi yang kudapat, ponsel yang sejak awal menyita perhatian Anna disodorkan padaku.
“Ibu lihat, deh. Ini hot news banget.”
Keningku tertaut tapi cukup penasaran dengan apa yang Anna beri. Laman berita gosip tersaji sempurna di sana. Satu demi satu paragraf aku baca dengan instan dan ketika sampai di akhir berita ...
“WHAT THE FUCK?!”

****
Inhale. Exhale.
Itu yang kulakukan selama lima belas menit setelah duduk di singgasanaku sejak tadi. Semua yang kurencanakan untuk hari ini, tak lagi fokus dalam jangkauan. Tanganku mengepal kuat hingga kurasa ujung kuku ini mulai melukai telapak tangan. Aku tak peduli kalau nantinya timbul luka gores. Aku marah. Sangat.
Sial pria itu! Bisa-bisanya ... Ya Allah. Kenapa juga aku harus bertemu orang seperti Andrew Mahreem, sih? Aku jarang sekali terusik dengan keberadaan pria sejak lama tapi kenapa Andrew seenaknya begini?
Jelas sekali dalam ingatanku mengenai berita tadi pagi. Kata laman gosip, hot news pengusaha sukses juga tampan, akhirnya memiliki calon istri. Dan namaku, tertera sangat jelas di sana. Pun ... foto saat dirinya membuka pintu mobil untukku. Padahal aku keras sekali menolak dan mendorongnya menjauh. Bahkan menerima ajakan gilanya saja tidak!
Ya Allah!
Ah, sudah lah. Aku kembali membanting diri pada sandaran kursi. Percuma memikirkan hal ini. Nanti saat makan siang akan kupergunakan sejenak waktu yang ada untuk membahas ini. Daripada kukuras energi sekarang, akan lebih baik aku kembali fokus dengan pekerjaan. Itu pilihan paling menguntungkan.
Baru saja aku mulai berkonsentrasi dengan laporan, dering ponsel sudah kembali menginterupsi. Kulirik, nama Rendra muncul di sana.
“What news?” katanya setengah memekik ketika aku menggeser layar ke arah hijau pun sengaja aku loadspeaker.
“What?” tanyaku malas. Mataku kembali fokus pada sisa laporan keuangan kemarin yang belum selesai kukoreksi. Untuk urusan ini, aku tak boleh lagi lengah.
“Andrew ... Mahreeem? Sekalinya Kak Inggrid menjerat, yang didapat Mahreem? Seriously?”
“Kalau mau bicara enggak penting, aku tutup teleponnya. Sibuk.”
Di sana, Rendra terbahak. Tanpa ragu, aku menggeser icon telepon ke arah merah. Tak menyerah, satu pesan masuk masih dari Rendra.
Rendra. K: Mau kubungkam atau enggak?
Kuketik pesan balasan dengan cepat dan singkat.
Inggrid. K: Yes.
Rendra. K: Dont forget the key, Kak Inggrid.
Aku menggeram kesal.
Inggrid. K: Yes, please. Aku mohooonnnn.
Yakin lah seribu persen, di sana, Rendra tergelak menertawakan diriku yang tak berdaya. Kalau Rendra tak segera bertindak, bisa-bisa berita ini menyebarluas dan aku yang tersudut.
Kupikir gangguan di hari ini sudah mereda nyatanya belum. Pintu ruanganku diketuk, kukira Anna memberi laporan lainnya. Aku salah. Anna masuk dengan sebuah buket mawar merah. Kali ini, besar. Menutupi hampir seluruh wajahnya.
“Bu, ini taruh di mana?”
“Dari siapa, An?” Ini jenis pertanyaan hanya untuk meyakinkan hatiku, kalau pengirimnya adalah Bule Sinting bernama Andrew.
“Pak Andrew, Bu. Ada kartunya juga di sini.” Anna tampak kerepotan membawa buket bunga itu padaku. Kuminta agar ditaruh saja di salah satu sudut karena memang mengganggu. “Ini, Bu, kartunya.”
Aku hanya melirik sekilas kartu putih berhias pita gold di bagian depan. Tak ada minat bagiku untuk sekadar membacanya. Nanti ... nanti akan kusuruh Budi membuang bunga ini ke tong sampah. Merusak aesthetic ruanganku saja.
***
Kartu itu masih setia ada di meja kerjaku. Hingga sore jelang jam kerja berakhir—aku jadi terbiasa pulang tepat waktu karena kehamilan Yaya beberapa bulan lalu. Sekarang rutinitasku kembali tapi intensitasnya berkurang jauh. Lembur masih setia menemaniku membunuh waktu. Anna terkadang menemani, kadang aku menyuruhnya pulang lebih dulu.
Lain halnya dengan Yaya dulu. Aku menyukai kalau dirinya menemaniku bekerja. Entah kenapa, aku merasa seperti bercermin saat melihatnya bekerja. Bukan pribadi yang ambisius tapi bekerja dalam koridor yang menerapkan batas tinggi. Bukan orang yang senang puas hanya karena pujian sesaat. Itu yang membuatku betah berlama-lama dengan Yaya dan kini ... dia menjadi bagian keluargaku.
Kewajibanku pada Illahi baru saja kutunaikan. Untuk satu ini, aku berusaha tak melewatkannya. Aku sadar usiaku tak lagi muda. Kapan pun usiaku bisa saja habis tak bersisa. Kalau tak ada bekal, apa yang mau kuberi sebagai balas napasku hingga detik ini? Walau pada kenyataannya, sujudku pun masuk dalam terapi tersendiri agar aku masih bisa berdiri di atas kaki ini tanpa goyah.
Saat akan bersiap pulang, dering ponselku membuat semua gerak terhenti. Mataku nyalang menatap layar ponsel yang menampilkan nama Andrew di sana. Siang tadi, niatku menghubunginya tapi terjeda. Banyak sekali pekerjaan yang menyita waktuku.
“Saya di lobby, Bu.”
“Bisa ucap salam? Anda menelepon tanpa tau diri.”
Kudengar renyah tawanya menyapa telinga.
“Assalamu’alaikum, Calon Istri.”
“Wa’alaikum salam.” Aku tetap harus menjawab salam itu padahal jengah.
“Sebagai calon cuami yang baik, saya jemput Ibu. Dan ... posisi mobil saya sudah di lobby. Siap menjemput. Saya sejak tadi menunggu dan saya rasa ... saya enggak terlambat menjemput, kan?”
Aku memejam sejenak. Mengumpulkan sabar yang masih kumiliki dengan kadar yang tipis sekali. “Saya bawa mobil. Dan perlu saya tegaskan, saya bukan calon istri Anda.”
“Ehm ... begitu rupanya.”
Entah kenapa aku punya keyakinan, ini bukan hal yang mudah untuk menghindar darinya.
“Padahal saya mau berbincang mengenai banyak hal. Apalagi ... Kakek Willy sudah setuju, kalau saya punya hubungan khusus dengan cucu kesayangannya.”
Mataku membeliak saking kagetnya! “Berengsek!”
“Wow! Selain seksi ... bibir Bu Inggrid pintar sekali memaki. Saya pikir, bibir bergincu merah yang sudah menawan hati saya, hanya ulung dalam hal bernego—”
Tak butuh alasan banyak untukku menutup teleponnya. Sudah sejak lama aku tak semarah ini tapi Andrew berhasil memancing sempurna amarahku. Ya Allah, padahal baru saja kulantun dzikir menyebut asma-Mu. Tapi kugunakan bibir yang sama, untuk mengeluarkan kata kasar kembali.
“Ndra,” kataku buru-buru saat Rendra menjawab telepon dariku. “Kamu bilang mau dibungkam ber—“
“Bahkan Jacob sendiri enggak mampu berbuat banyak, Kak. Aku frustrasi banget dari tadi. Semua akses pemblokiran berita, ditolak. Katanya bayaran untuk menaikkan gosip ini tinggi banget.”
Aku kembali memejam, mengambil napas dalam-dalam dan sangat berusaha agar bisa berpikir jernih.
“Yang Kakak hadapi ini Mahreem.”
“Terus?” tuntutku penuh desak.
“Kakak seharusnya sadar, Mahreem ini siapa.”
“Terus ini semua salah Kakak? Yang gila itu Andrew!” pekikku tak terima. Mataku melotot garang. Seandainya Rendra ada di depanku, bisa kupastikan dia menyusut karena amarahku tak terbendung lagi.
“Dan ... Kakek sudah tau,” kata Rendra dengan suara lemah.
Ini yang membuatku diam kaku dan mulai memikirkan banyak perhitungan khusus.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (85)

  • avatar
    Asepmuh.zakwan

    mantap ini sih

    11d

      0
  • avatar
    Muhammad Khairun Nizam Bin Hashim

    ✌🏻 ⭐️⭐️⭐️⭐️

    28d

      0
  • avatar
    Wn07Ardian

    mantap

    21/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด