logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

07 - Alice, August 21

Alice, August 21
Baru sepekan aku berada di sekolah ini dan aku sudah mendapat detensi? Mengapa aku begitu kesulitan menjaga komitmenku? Dan
bagaimana bisa siswa bernama Anthony Zedeck itu menyebalkan sekali. Apa sulitnya memberi tahu apa yang harus dilakukan? Apa dia pikir aku ini adalah siswi acak yang terpesona dengan ketampanannya dan berusaha menarik perhatiannya? Kuakui ada sedikit rasa itu. Siapa yang tidak jika melihatnya? Tapi mengejarnya bukanlah misi dalam hidupku.
Aku pasang earbud di telinga. Kuputar lagu-lagu favorit dan aku mulai mengepel koridor. Aku tak pernah mengerjakan ini di rumah, tapi aku sudah sangat terlatih. Di sekolah-sekolah sebelumnya aku pun siswi yang sering melakukan pelanggaran. Jadi, hukuman seperti mengepel lantai, menata buku perpustakaan, atau membersihkan kaca sudah sangat aku kuasai.
Kurasakan langkah kaki mendekatiku dan sayup-sayup kudengar beberapa orang mengobrol. Aku melepas earbud dari telingaku dan menoleh. The Butterflies sudah berada di belakangku dengan senyum dan seringai maut mereka. Britney menghampiriku dengan tangan terlipat di dadanya.
"Kau seharusnya melepas heels-mu karena menurut para asisten rumah tangga, mengepel akan lebih mudah tanpa heels. Ah, aku lupa! Tidak ada tukang pel yang mengenakan heels!" kata Britney. Lola dan Hailie cekikikan mendengarnya.
"Kenalkan aku pada asistenmu dan aku akan menghadiahi mereka Louboutins agar mereka tahu sensasi mengepel dengan heels," kataku. Mataku mengevaluasi satu per satu heels yang dipakai The Butterflies. Mungkin mereka mengenakan heels premium, namun semuanya adalah produk massal yang dipasarkan di gerai. Bukan one-of-a-kind seperti yang biasa aku pakai.
Britney memaksakan diri untuk tertawa. "Tapi bagaimanapun juga kau sudah tahu kau berurusan dengan siapa di sini," kata Britney berusaha terdengar berkuasa, namun itu sama sekali tak membuatku gentar.
"Kau pikir aku menjadi takut padamu? Maaf, tolong ingatkan aku lagi siapakah kau di luar sana!" balasku. Aku mengerutkan dahiku seakan berpikir keras.
"Jika kau terlalu sering dilaporkan, maka karirmu tak akan lama di sini," kata Hailie. Dia menatapku tajam. Sepertinya dia tak suka pada perkataanku terhadap Britney. Siapapun di luar sana tak akan menyangka bahwa gadis tinggi ini akan tunduk pada Britney.
"Jadi rasanya aku bisa membantumu mendapatkan topik untuk melaporkan aku lagi," kataku. Aku meraih ember dan dengan sigap aku menyiramkan air pel kepada mereka.
"Huaaaa!" teriak ketiganya sambil berusaha membersihkan air yang terpercik ke muka. Mereka segera berusaha meraihku dan aku berlari menghindar.
Berlari dengan mengenakan heels tidak menyulitkanku. The Butterflies mengejar hingga ke sayap selatan. Damn, mereka pantang menyerah juga. Aku bertemu Anthony di sana, dia nampak tidak berkenan ketika aku melewati lantai yang baru saja dia bersihkan.
The Butterflies berhenti mengejar ketika melihat Anthony. Wajah mereka tampak tercengang. Terlebih Britney yang tampak segera membersihkan muka dan merapilan rambutnya.
Karena tak lagi dikejar, maka aku pun turut berhenti. Tiga gadis itu tampak ragu-ragu berdiri tak jauh dari Anthony, tapi sepertinya juga tak terima kalau aku terlepas.
"Aku tak akan tinggal diam! Ingat itu, jalang!" seru Britney dengan marah dengan tetap menjaga jarak aman dari Anthony. Akhirnya aku melihat sendiri bagaimana seseorang bisa menjadi sangat takut berhadapan dengan Anthony.
"Diam kau, brengsek! Pergi dari sini!" bentak Anthony pada The Butterflies.
Aku tersenyum senang melihat sikap Anthony yang membuat The Butterflies tak berani bersuara lagi.
"Tak berani menyentuhku, eh?" Tentu saja aku tak melepaskan kesempatan untuk mengejek orang yang mengakakku bermusuhan.
Britney hanya melemparkan pandangan marah dan muka cemberut kepadaku. "Ayo pergi!" katanya pada dua minions-nya.
Setelah The Butterflies berlalu aku mendekat dan berhenti di depan Anthony sambil melipat kedua tanganku. Pandangan Anthony terhadapku seakan dia mampu mengeluarkan panah dari matanya dan segera menghujam kepalaku. Ada apa sebenarnya dengan siswa tampan ini hingga dia selalu tampak marah?
"Aku tak bermaksud mengganggu pekerjaanmu. Aku hanya menyelamatkan diri. Maaf," kataku. Kulihat ekpresi wajah Anthony yang masih juga marah.
"Aku tak suka orang memancingku," kata Anthony. Suara dan nada bicaranya membuatku merinding. Jantungku berdebar mendengar nada bicaranya. Seolah seseorang tiba-tiba memasang air conditioner tepat di punggungku. Caranya mengucapkan kalimat itu terdengar begitu dingin.
"Aku sudah berusaha meminta maaf." Masih dengan melipat tangan, aku bersikeras mengalah dengan meminta maaf. Kalau terdengar tak tulus, sekali lagi aku minta maaf. Mungkin memang tak tulus.
Lalu tanpa peringatan, dia memukul kakiku dengan gagang alat pel. Anthony menyerangku keras sekali hingga aku terjatuh kesakitan. Lalu dia meninggalkanku begitu saja.
Tentu saja aku tak menduga perbuatannya itu. Perlakuan macam apa itu? Memukulku meskipun aku tak berbuat apa pun padanya. Pantas saja orang-orang bisa mencintai dan membencinya secara bersamaan.
"Aku akan membalasmu! Catat kata-kataku!" seruku. Anthony tak memedulikan, tapi aku yakin dia mendengar. Aku masih juga meringis, meratapi rasa sakit di kakiku. Kulihat segaris memar yang masih berwarna merah menyala di kaki putihku.
Aku tetap berusaha menyelesaikan pekerjaanku meskipun rasa sakit dan nyeri di kakiku sangat mengganggu. Britney tadi hanyalah hiburan untukku. Tapi Anthony? Tak akan kumaafkan.
Aku akan membalas Anthony. Aku pasti akan melakukannya. Aku tak peduli siapa pun orang tua atau berapa pun hartanya. Aku tahu aku sanggup membalasnya.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (26)

  • avatar
    DiasParta

    bagus

    02/08

      0
  • avatar
    PutraReblors

    lumayan bagus

    16/07

      0
  • avatar
    RamadhanRiski

    bagus

    07/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด