logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

5. Didatangi Bu Dahlia

"Hil, ada yang nyariin kamu," Lia menunjuk menggunakan dagunya pada seseorang yang tampak sedang berbincang dengan Roni, tapi suaranya masih terdengar hingga ke dalam toko.
"Iya, nih. Siapa, sih? Kenceng banget suaranya," kulongokkan kepalaku ke arah luar, penasaran. Hah! Jonas. Mau apa dia kemari?
"Udah sana temuin." Lia mendorong tubuhku ke luar.
Sesampainya di luar, aku melongo melihat Jonas sedang asyik berbincang dengan Bang Jaya dan Roni.
"Eh, Hil. Jonas nyariin, nih. Jangan lupa makan-makannya ntar, ya," goda Bang jaya, berlalu masuk ke toko.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, tersipu dengan rasa tak enak.
"Aku ke dalam dulu, deh." Roni segera menyusul Bang Jaya.
"Kenapa, Jo? Hmm … Aku bawa motor, kok, tadi udah dibenerin ke bengkel situ," tunjukku pada bengkel yang letaknya tak jauh dari toko.
"Tau. Makanya aku jemput, pulangnya bareng. Siapa tau di jalan motornya bermasalah." Sekenanya Jonas menjawab.
"Apaan, sih. Ya udah, tunggu bentar, ya. Siap-siap dulu, aku ke dalam." Sambil mengulas senyum kikuk, aku beranjak ke dalam toko.
"Oke." Jonas mengacungkan jempolnya.
Jadilah sore itu, kami pulang bersama demgan motor yang berbeda. Ada yang lernah ngalamin gini juga?
***
Ketika sedang santai menemani Mama nonton sinetron ikan terbang, terdengar suara pintu yang diketok, kebetulan pagar memang belum kami tutup.
Tok! Tok! Tok! "Assalamu'alaikum …."
"Wa'alaikumsalam …." Kompak aku dan Mama menjawab.
Setelah saling lirik aku memutuskan mengalah untuk membuka pintu.
Sempat termangu beberapa detik, begitu melihat Bu Dahlia ada di depan pintu.
"Eh, Bu Dahlia. Silahkan masuk, saya panggilkan Mama dulu, ya." Kubuka pintu lebih lebar mengizinkan Bu Dahlia masuk.
"Nggak usah. Aku perlunya sama kamu, bukan Mamamu," jawabnya sedikit ketus.
Aku hanya melongo, ini orang kenapa datang-udang sudah spaning.
"Oh, oke. Duduk, Bu." Kupersilahkan dia duduk.
Tampak dia berulangkali menggerak-gerakkan bokongnya. "Kursimu keras, Hil. Ganti kenapa? Beli yang bagus kayak punya saya itu, lho. Mahal punya." Ia meraba-raba pinggiran kursi dnegan raut sok iyes.
"Belum punya duitnya, Bu. Saya dan Mama nggak mau ngutang, takut nggak bisa bayar. Jadi, nabung dulu aja biar bisa beli yang bagus kayak punya Ibu." Bermaksud merendah kujawab perkataannya sambil mengulas senyum.
"Kamu nyindir saya, Hil?" Dia mendelikkan matanya.
Aduh! Salah pilih kata, kupijit perlahan pangkal hidungku.
"Eh, maaf, Bu. Saya nggak bermaksud demikian. Jadi, ada perlu apa, ya? Sampai-sampai Ibu datang ke sini?." Kualihkan saja ketujuannya datang ke rumah, dari pada salah ucap lagi.
"Ah, ya. Itu, Hil. Saya mau minta tolong sama kamu, minta tolong lho, ya, ini." Dia membenarkan letak cincin dan kalung tali kapalnya yang kalau diperhatikan mulai menghitam. "Besok, kan, jatuh tempo pembayaran kridit saya di toko tempat kamu kerja. Kamu bilang, dong, ke Bosmu, jangan tarik dulu barang-barang saya. Beneran, deh, bulan depan saya langsung bayar tiga bulan." Kali ini dia mengacungkan jari dengan benar, tiga jari.
"Wah, kalau soal itu di luar kewenangan saya, Bu. Baiknya Ibu datang ke toko langsung, ketemu Bos saya, nego sendiri dengan beliau." Aku memberi saran padanya.
"Duh, kamu ini. Masa bantu tetangga sendiri nggak bisa, percuma dong jadi tetangga." Sungutnya sambil bersedekap.
"Bukan begitu, Bu. Itu memang sudah peraturan dari toko. Mungkin terkesan berbeda dengan toko lain, tapi Ibu bisa lihat sendiri, kan, di toko kami itu barangnya lebih murah dari tempat lain. Modelnya juga bervariasi." Kucoba memberi pengertian.
"Sudahlah, percuma saya datang ke sini kalau kamu nggak bisa bantu. Lagian kamu di sana kerja di bagian apa, sih? Sampai-sampai perkataan kamu nggak didengar sama mereka." Dia mencomot kacang bawang dari toples di atas meja yang memang disuguhkan untuk tamu.
"Hanya pegawai biasa, Bu. Makanya nggak bisa bantu banyak," jawabku dengan senyum ditahan kala melihat toples kacang sudah berpindah ke pangkuannya. Lihat saja, sesudah ini pasti ada keajaiban baru.
"Pantesan. Makanya kalau sekolah atau kuliah itu cari tempatnya yang bagus, jangan asal murah. Susah nanti kerjanya." Sambil nyerocos dia terus memasukkan kacang bawang ke dalam mulutnya.
"Iya, Bu. Hesti enak, ya, punya orangtua kaya jadi bisa kuliah di tempat mahal." Aku lagi malas berdebat, jadi kusanjung saja ia sampai melambung tinggi biar kalau jatuh akan lebih sakit. Hi hi hi ….
"Iya, lah. Kan Bapaknya banya duit, minta apa aja dikasih. Itu semua barang-barang branded dia, semuanya dibeliin sama Bapaknya. Eh, minta minum, Hil, seret, nih." Dia menunjuk air mineral di meja.
Kuberikan satu cup air mineral padanya. "Oh, gitu. Alhamdulillah ya, Bu, kalau gitu." Perlahan tapi pasti kulihat toples berisi kacang bawang dipangkuannya hampir habis.
"Iya, dong. Eh, Hilma, kamu nggak pernah mau tau di mana Papamu? Siapa tau dia orang kaya, jadi kamu bisa minta duit yang banyak, bisa beli apa yang kamu suka, nggak usah capek-capek kerja." Tanpa melihatku ia terus mengunyah cemilan favoritku itu.
Aku memutar bola mata dengan malas, paling malas kalau sudah sampai pada pembahasan ini. 
"Gini aja, Bu. Besok saya coba bilang ke petugas yang menangani tunggakan kridit Ibu, ya. Terlepas didengarkan atau nggak, yang penting saya udah bantu ngomong." 
"Nah, gitu juga boleh. Tapi, saya kok sangsi omongan kamu akan didengar ya, Hil. Kamu, kan, pegawai biasa." Ia meletakkan toples yang sudah kosong di meja. "Kacang bawangnya buatan Mamamu ya, Hil?" tanyanya.
"Iya, Bu. Itu cemilan kesukaan saya, makanya Mama suka bikinin," jawabku, menanti keajaiban kata darinya.
"Pantesan! kurang enak, kurang pas aja rasanga dilidah saya, kurang asin. Kalau garemnya ditambah dikit lagi pasti enak, kayak yang sering saya bikin di rumah."
Nah, kan! Aku membekap mulutku yang hampir keceplosan untuk mengatakan, "Nggak pas di lidah, tapi habis ya, Bu. Kalau mau nambah di belakang masih banyak."
"Oh iya, kalau misal besok sore mereka datang untuk menyita barang saya, kamu talangin dulu, ya, Hil. Kamu, kan, kerja pasti punya duit, lah." Ia mengelap sisa cemilan di mulutnya dengan tisu, kemudian menyesap air mineralnya hingga tandas. 
"Wah, saya mana ada duit sebanyak itu, Bu. Kan, cuma pegawai biasa, cuma cukup buat jajan doang," jawabku sambil membenarkan ikatan tambutku.
"Widiihh, gelang baru, Hil. Katanya nggak ada duit, ini punya gelang bagus," ujarnya menatap gelangku dengan kagum. Kemarin Mama membelikanku gelang ini, model terbaru kata Cece penjualnya. Aku heran, Bu Dahlia matanya bisa jeli soal beginian.
"Oh, ini bukan aku yang beli, Bu. Ini dari-"
"Pacar kamu? Hesti bilang kamu pernah diantar Om-Om pas pulang malam. Bawa banyak kantong belanjaan pula, jadi kamu dibeliin gelang ini sama itu Om-Om, Hil. Ckckck … Pinter juga kamu cari mangsanya, ya." Bu Dahlia terus nyerocos, lalu mendadak terdiam kala tak mendapati suara sahutanku.
Raut wajahnya mendadak berubah saat melihat wajah tak bersabatku, pelan dia berdiri dan berjalan mundur ke arah pintu. 
"Saya pulang, Hil. Jangan lupa besok bilangin temen kamu." Dengan tergesa-gesa ia memasang sandal, hingga tanpa disadari sandalnya terbalik.
Begitu melihatnya telah melewati pintu pagar,
Braakkk! Aku memukul daun pintu menggunakan sebilah rotan bekas Nenek memukul jemuran kasur tadi siang.
Bruugghh! Di susul suara Bu Dahlia yang terjatuh karena tersandung polisi tidur di depan rumah. 

หนังสือแสดงความคิดเห็น (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    14h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    6d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    17d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด