logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

4. Hesti Patah Hati

Setelah kejadian Bu Dahlia pingsan karena melihatku yang mungkin seperti hantu, duo ibu anak itu sedikit menjauh dariku. Maksudnya tidak banyak mengusik, mungkin malu karena ketahuan barang-barang yang dia sombongkan beli cash ternyata masih kridit, nunggak pula, ha ha ha ….
Sore ini aku pulang terlambat, karena ban motorku ternyata bocor, sedangkan bengkel di sekitar toko banyak yang sudah tutup karena hujan. Iya, sekarang lagi musim hujan di sini. Bang Jaya dan istrinya yang sangat baik itu memaksa mengantar pulang, katanya sekalian hendak mengajak anak-anaknya makan di luar. Tidak hanya itu, aku pun diajak makan bersama bahkan ketika pulang istrinya membungkuskan makanan untuk Mama dan Nenek. Ah, entah di mana lagi bisa kutemukan Bos sebaik mereka.
"Terima kasih, Bang, Mbak," ucapku kala turun dari mobil di depan rumah.
"Sama-sama, Hil. Besok minta di jemput Lia aja berangkatnya, ya," kata Mbak Maya, istri Bang Jaya.
"Aman, Mbak. Naik ojol juga bisa," jawabku tersenyum.
Tin! Klakson berbunyi sebelum beranjak pergi. Kuanggukkan kepala, kemudian masuk setelah mobil Bang Jaya menghilang. Sempat kulihat Hesti dikejauhan dengan ponselnya, ah, biarkan sajalah. Selagi tidak membuat ulah, aku malas berurusan dengannya.
***
[Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya] tulis Hesti pada storynya.
Hanya kubaca. Positif thingking saja, mungkin yang dimaksud buah ceri depan lapangan volly. Kubalas beberapa chat yang masuk, termasuk chat di grup Karang Taruna kampung Gaduh.
"Mandi dulu, Hil. Mama sudah siapkan air panas, bawa sendiri ke kamar mandi, ya. Mama antar uang arisan ke Bu Rt dulu." Sambil ke luar kamar Mama berujar padaku.
"Iya, Ma. Ma'aciihhh." Kuberikan kecupan pada Mama yang bersiap pergi.
Setelah mandi, rebahan adalah aktivitas yang paling nikmat. Kubuka lagi aplikasi hijau untuk mengecek chat yang masuk.
[Hil, ini kamu bukan?] isi chat dari Jono disertai sebuah foto screenshot story Hesti.
Kuketik nama Hesti Ajaib di pencarian status, tidak ada  pembaruan seperti yang dikirim Jono. Berarti lagi-lagi dia setting privat agar tidak dapat kulihat.
Hesti … Hesti … Kenapa tidak ada habisnya menggangguku, padahal aku sudah tidak terlalu menanggapi Jono lagi, meski ia masih terus menghubungiku.
Sekali lagi kulihat story Hesti yang ia privat, fotoku saat turun dari mobil Bang Jaya dengan dua kantong berisi cemilan dan makanan pemberian Mbak Maya.
[Waww, gasskeeuun. Emak sama pejabat, anak sama Om-Om. Ngerii!]
Kalau menuruti emosi, ingin rasanya kulabrak lagi si Hesti. Tetapi jika aku melakukan itu, bisa jadi orang akan menganggap hal itu benar adanya. Kuurut pelipisku dengan jari, mencari ide yang tepat untuk memukul telak permainan Hesti.
Ahha! Aku ingat, mari eksekusi.
Tuutt! Tuutt! 
"Hallo, Hil," jawab Jono di ujung telepon.
"Hallo, Jon. Lagi apa?" sapaku agak gugup, karena selama ini memang tidak pernah menghubunginya lebih dulu.
"Lagi santai aja. Tumben telepon, ada masalah? Bilang aja, aku bantu kalau memang bisa." Dia terdengar sangat bersemangat demi mendapat telepon dariku.
"Hmm … Duh, gimana bilangnya, ya," jawabku yang tiba-tiba merasa malu.
"Bilang aja, nggak apa-apa. Kenapa, sih?" desaknya.
"Aku mau jadi pacar kamu," pelan kujawab.
"Apa?! Coba bilang lagi, aku nggak denger," pintanya yang terdengar kaget.
"Nggak ada siaran ulang. Udah, aku mau tidur nggak usah tanya-tanya lagi."
Klik! Kumatikan telepon. Heh, kenapa aku jadi deg-degan begini? Kok, perutku mendadak mules, sih. Duuhh … 
Klunting! Sebuah pesan masuk.
[Besok pagi aku jemput, kerjanya aku yang anter, titik.] 
Tiba-tiba mukaku terasa panas, duuhh, kenapa jadi begini. Sebenarnya nama dia bukan Jono, aku yang memanggilnya demikian saking sebelnya melihat dia mendekati hampir semua cewek kampung Gaduh. Nama sebenarnya adalah Jonas, anak juragan kontrakan. Hampir setengah rumah dan bedeng kontrakkan di kampung Gaduh milik orangtuanya. Untuk dia sendiri aku kurang tahu pekerjaanya apa.
*** 
Pukul 07:00 WIB
"Hilma, itu ada Jonas di depan. Ngapain pagi-pagi ke sini? Tumben. Nih, bawa kopinya ke depan." Mama meletakkan secangkir kopi di atas meja.
"Mau jemput Hilma, Ma. Motor Hilma, kan, belum diperbaiki," jawabku mengambil cangkir kopi.
"Hah? Tunggu. Kamu pacaran sama Jonas?" Mama mentapku lekat.
"Apaan sih, Ma." Kuambil langkah seribu sebelum Mama meledekku.
"Hai," sapaku kikuk pada Jono, eh Jonas maksudnya. Baiknya kupanggil begitu saja, bukan?
"Hai, kopinya buat aku, kan?" Dia menadah tangannya meminta kopi yang kupegang.
"Eh, iya. Lupa, he he he …." kekehku menggaruk tengkuk.
"Minum dulu, ya. Aku siap-siap," pamitku.
"Oke." Dia menyesap kopi perlahan.
Baru kali ini aku melihatnya dengan pakaian rapi seperti itu, biasanya suka-suka dia. Setelah sampai di ruang makan, kuintip lagi dia yang sedang menikmati kopi buatan Mama.
"Buruan ganti baju! Nanti telat." Aku terkejut merasakan tepukan Mama dipundakku.
"Mama! Ngagetin, iihh," sungutku.
"Siapa suruh bengong. Jonas ganteng, ya, kalau rapi gitu." Mama menaik-naikkan alisnya menggodaku.
"Mamaaa!" Aku berlari memasuki kamar. Terdengar suara gelak Mama di belakangku.
Pukul 07:30 WIB kami, aku dan Jono, aaiiihhh! Lupa lagi, maksudku Jonas, berangkat. 
"Sarapan dulu, yuk. Ada bubur ayam enak banget di depan SPBU depan," ajaknya.
"Nggak, deh. Takut kesiangan," tolakku dengan halus.
"Dibungkus aja, mau? Kamu pasti belum sempet sarapan karena aku datangnya kepagian." Dia terkekeh pelan.
"Boleh," kataku melirik ke arah rumah Hesti. Ahha! Hesti sedang ada di depan rumahnya. Duuh, pagi ini alam baik sekali, hingga berpihak padaku.
"Stop dulu, Jon, kayaknya ponselku ketinggalan, deh." Kutepuk bahu Jonas serta kutinggikan suara sok panikku.
Setika ia mengerem motornya mendadak, untung sudah menyiapkan jaket sebagai tameng. "Coba cek lagi, perasaan pas ke luar rumah kamu pegang ponsel," sarannya, melihat ke arahku yang pura-pura merogoh tas.
"Nggak ada, Jon." Aku menutup tas kembali.
"Saku jaket coba." Jonas memiringkan badannya memegang ujung jaket yang kupangku. "Nah, apa kubilang, ini apa?" Dia mengacungkan ponselku.
"He he … Iya, aku lupa. Biasanya aku taruh di dalam tas," ucapku nyegir.
Braakk!!! Suara pintu dibanting. Spontas aku dan Jonas melihat ke arah rumah Hesti, bersamaan dengan suara Bu Dahlia yang menggelegar.
"Hestiiiiii! Dasar anak gendeng! Kalau pintu itu rusak gimana? Punya duit kamu buat ganti, hah! Ibunya pusing mikir cicilan, malah berulah." Bentak Bu Dahlia pada sang anak gadis.
"Apaan sih, Bu! Nggak ngertiin perasaan anaknya banget, Hilma tuh dianter Jonas kerjanya. Hu hu hu …" Terdengar suara tangis Hesti dari dalam rumahnya.
Refleks aku tergelak, Hesti … Hesti … sudah kubilang jangan buat perkara denganku.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    11h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    6d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    17d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด