logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

3. Hutang Kridit

Gerimis menyambut pagi, sementara selimut menjadi penggoda yang sangat sulit untuk ditolak. Coba saja cuaca ini menghampiri di hari libur kerja, tentu aku dengan suka cita akan menyambutnya. Kupaksakan diri menjauh dari selimut doraemonku, aku bisa kesiangan kalau bergumul dengannya terus.
Ceklek! Kubuka pintu kamar, tampak rumah sudah rapi. Maaf Mama, anakmu ngantuk berat, hi hi hi ….
"Lain kali, kalau selesai sholat jangan tidur lagi, biar nggak kesiangam bangunnya," tegur Mama saat melihat muka bantalku menghampiri meja makan.
"Iya, Ma. Abis hujannya awet, trus doraemon maunya ngajak bergelung bersama. Ya udah, tidur lagi, deh," jawabku sekenanya.
"Kamu itu, cuaca sama selimut yang disalahkan. Hujan itu rezeki, salah satu waktu yang pas untuk kita memanjatkan do'a." Mama menaburkan bawang goreng pada semangkuk mie rebus dengan telor di atasnya, lalu memberikannya padaku.
"Nenek mana, Ma?" tanyaku kala tidak mendapati nenek di meja makan.
"Nenek kurang enak badan, masuk angin kayaknya. Ini Mama lagi buatkan bandrek." Tampak Mama mengaduk-ngaduk isi panci di atas kompor.
"Senamnya libur dulu aja, Ma, kalau Nenek lagi sakit," saranku sambil melahap mie kesukaanku, mie kuah campur sayur, cabe rawit iris, dan telur serta taburan bawang goreng di atasnya.
"Iya, Mama juga udah bilang di grup senam, hari ini libur," jawab Mama, menyiapkan bubur kacang hijau untuk Nenek.
"Sip! Hilma pinjem jas hujan Mama, ya? Punya Hilma dipinjam Lia, belum dibalikin," ucapku, menghirup kuah terakhir di mangkuk, sayang kalau dibuang.
"Iya, Mama antar ini ke Nenek dulu." Mama beranjak membawa semangkuk bubur kacang hijau dan segelas bandrek ke kamar Nenek.
***
Gerimis menyisakan jalanan dan pepohonan yang basah. Segerombolan anak kecil berkumpul di bawah pohon ceri, memungut buah yang berguguran. Kemudian salah satu dari mereka dengan jahilnya menerjang batang pohon hingga sisa hujan berjatuhan membasahi tubuh merek. Caci maki pada sang pelaku memenuhi jalan utama kampung Gaduh yang kulewati, sementara pelaku tergelak melihat temannya terbakar emosi lqlu melarikan diri.
Sesampainya di toko aku langsung mengerjakan tugasku. Lia tampak sedang mencatat alamat customer yang cicilannya nunggak, setiap akhir bulan seperti ini memang ada tim yang bertugas mendatangi rumah-rumah customer yang cicilan kriditnya belum bayar.
"Hil, kamu masih tinggal di kampung Gaduh, kan?" Sambil fokus pada layar komputer Lia bertanya padaku.
"Masih, lah, emang mau pindah kemana lagi. Piye (ada apa)?" tanyaku balik. Lia memang berasal dari Jawa, sedangkan aku dari Sumatera.
"Ada satu customer yang nunggak, nih. Ini bulan ke-2, kemarin sudah ditelepon dan bilangnya hari ini mau transfer. Kalau sampai sore ini belum bayar, kamu ikut tim ke lapangan, mau?" Lia memutar komputer ke arahku.
Mataku mendelik melihat nama yang tertera di data tersebut, senyum senang seketika terbit disudut bibirku.
"Heh! Ditanyain malah senyum-senyum, mau nggak?" Lia menonjok pelan bahuku yang seketika terkekeh.
"Mau banget. Kamu harus ikut juga, orang ini tu ajaib banget. Beneran, deh," ajakku dengan antusias.
"Hmm … Oke, deh. Sekalian aku mau ketemu Mama, kangen." Lia menjawab dengan girang. Lia memang sering ikut ke rumah, Mama mengingatkan ia pada almarhumah Ibunya, katanya.
"Sip." 
Selanjutnya kami sibuk dengan tugas masing-masing.
***
Pukul 16:00 WIB Lia memberi kode untuk segera berangkat ke lapangan. Sebenarnya ini bukan tugasku, tapi karena yang dikunjungi adalah kampung tempatku tinggal makanya aku diajak.
Setelah melewati banyak simpangan, turunan, dan tanjakan, kami sampai di kampung Gaduh tercinta, kecuali penghuninya yang bernama Hesti dan Ibunya. Ha ha ha ….
"Rumahnya yang mana, Hil?" tanya Lia yang heran karena dari tadi belum sampai, padahal gapura kampung Gaduh sudah kami lewati sedari tadi.
"Sabar. Di depan situ ada simpang empat, ambil kanan, trus ambil kiri. Nah, rumahnya paling pojok situ," jelasku padanya.
"Berarti nggak terlalu jauh dari rumahmu," gumamnya.
"Iya, kenapa nggak sabar melihat makhluk ajaibkah? He he he …." kekehku.
"Jadi penasaran aku sama orangnya." 
"Liat aja nanti." Senyumku mendekati seringai membayangkan wajah Bu Dahlia saat melihatku ada bersama rombongan penagih hutang cicilannya. Ya, customer yang dimaksud adalah Bu Dahlia, yang kemarin mengejekku kala membeli meja rias.
Duggh! Lia menendang kakiku saat aku refleks tergelak membayangkan adegan selanjutnya nanti. Aku hanya menyeringai mengusap kakiku.
Sesampainya di depan rumah Bu Dahlia, tampak Hesti sedang mengecat kukunya, sedangkan Bu Dahlia sedang bermain dengan ponselnya. Karena pintu gerbang terbuka, kuminta driver langsung masuk ke halaman rumahnya. 
Bu Dahlia seketika berdiri, begitu melihat Lia turun dari mobil disusul driver dan satu pegawai lainnya. Sedangkan aku masih bertahan di dalam mobil, sambil menundukkan kepala agar tak terlihat aku mencuri dengar perbincangan mereka.
"Selamat sore, Bu Dahlia," sapa Lia dengan santun.
"Selamat sore juga, Neng Lia, silahkan duduk semuanya, masuk sini," jawabnya dengan ramah pula. 
Kuangkat sedikit kepalaku untuk mengintip, oh, ternyata mereka duduk di teras, jadi aku masih bisa menguping obrolan mereka.
"Bu Dahlia, sesuai kesepakatan kita kemarin kalau sampai sore ini Ibu belum transfer cicilannya maka kami akan memberikan SP pada Ibu, dan ini suratnya." Tampak Lia menyerahkan sepucuk surat pada Bu Dahlia.
Tampa menjawab Bu Dahlia membuka surat tersebut, selanjutnya keajaiban pun terjadi.
"Wah, nggak bisa gini, dong! Masa kalau minggu depan belum bayar barang saya ditarik. Nggak bisa, lah! Jangan seenaknya! Saya bukan belum bayar sama sekali, lho! Saya udah bayar, baru dua bulan ini aja telat, karena suami saya proyeknya di pedalaman. Susah buat transfer." Bu Dahlia menghempaskan surat ke atas meja sambil matanya mendelik tak suka.
"Begini Ibu, Ibu memang sudah membayar, tapi baru satu bulan dari total 24 bulan masa kridit. Sedangkan pokok hutang Ibu mencapai Rp. 21.000.000. Persoalan suami Ibu sudah transfer atau belum itu bukan urusan kami, karena dari awal yang Ibu tandatangani adalah kesiapan Ibu untuk membayar cicilan pada tanggal 25 ditiap bulannya." Roni, teman Lia memberikan penjelasan pada Bu Dahlia dengan tegas.
"Sssttt! Pelankan suaramu! Kalau tetangga dengar aku bisa malu." Bu Dahlia tampak bersungut-sungut. "Kalian itu lho, ya, nggak ada kasian-kasiannya sama saya, kalau kalian tarik barang saya, tamu-tamu saya mau duduk di mana kalau ke sini? Itu anak gadis saya tidurnya gimana? Pakaiannya taruh di mana?." Tunjuknya pada Hesti yang masih asyik mengecat kuku.
What! Jadi barang yang sering mereka sombongkan itu ternyata barang kriditan dari toko tempat aku bekerja? Aku cekikikan menahan tawa.
 "Maka dari itu, sebaiknya Ibu segera bayar tunggakan yang sudah berjalan dua bulan ini. Kasian anak gadis dan tamu Ibu nanti kalau barangnya minggu depan ditarik." Roni membujuk Bu Dahlia.
Bu Dahlia terdiam sesaat, lalu menoleh pada anaknya yang cuek, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Tapi saya belum punya uang, gimana kalau bulan depan aja? Saya janji langsung bayar tiga bulan sekaligus." Bu Dahlia mengangkat dua jarinya.
"Bu, itu jarinya kok dua bulan," sahut driver sambil terkikik, lalu Lia dan Roni pun ikut terkikik.
"Heh! Kamu ini, matamu jelalatan juga," Bu Dahlia mendengus.
"Saya lihat Ibu punya banyak emas, kenapa nggak dijual aja, kehilangan satu cincin tidak seberapa untuk orang sekaya Ibu, kan." Roni berusaha merayu Bu Dahlia lagi.
"Enak aja! Nggak bisa! Apa kata warga kalau liat saya cuma punya tiga cincin. Saya itu terkenal kaya di sini, malu kalau nggak pakai banyak." Bu Dahlis memegangi cincin-cincinnya.
"Duh, Ibu! Nggak usah lebay, cincin imitasi begituan masih aja disayang-sayang. Kata Ibu itu bisa dijual lagi ke tokonya, jual aja semuanya. Hesti nggak mau kalau barang Hesti diambil." Hesti menggerutu sambil terus mengecat kukunya, kali ini kuku tangan.
"Dasar anak kurang ajar! Malah buka kedok. Mending kalung kamu aja itu yang Ibu jual." Bu Hesti menoyor kepala Hesti hingga membuat warna kukunya berantakan.
"Aahh, Ibu! Kuku Hesti jadi rusak ini," sungut Hesti.
"Makanya, punya otak itu dipake!" bentak Bu Dahlia.
"Ha ha ha …." Aku terbahak dari dalam mobil, tak kuasa lagi menahan tawa melihat keajaiban mereka.
Bu Dahlia dan Hesti berbelalak melihat aku keluar dari mobil toko. Lalu, 
Bruugh! Bu Dahlia pingsan.
"Ibuu!!" Jerit Hesti histeris. "Awas kamu, Hil. Gara-gara kamu Ibuku sampai pingsan," sungut Hesti.
Hah! Apa salahku????

หนังสือแสดงความคิดเห็น (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    13h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    6d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    17d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด