logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

2. Meja Rias Viral

[Nggak cuma jadi simpenan pejabat gaaeesss, ternyata emaknya dulu ngelahirin tanpa suami. Itu apa, ya, namanya? Eh, anak haram, ya? Canda haram 🤭]
Seketika napasku memburu, emosi yang sudah reda kembali bangkit kala membaca story Hesti. Aku berlari mencari Mama.
"Ma, Mama!" panggilku setengah berteriak.
"Apa? Mama masih di ruang senam!" Terdengar sahutan Mama.
Aku berlari menemui Mama. "Hilma pinjem buku nikah Mama sama akte kelahiran Hilma, ya. Buruan, Ma." Sedikit kupaksa Mama memasuki kamarnya yang terletak di samping ruang senam.
"Buat apa, sih? Emang berkas-berkas kuliah kamu belum beres?" tanya Mama, membuka lemari penyimpanan.
"Bukan. Aku mau ngasih pelajaran sama Hesti. Makin ke sini makin kurang ajar dia itu, Ma," sungutku, menunggu Mama membongkar tas khusus berkas penting.
"Eh, nggak! Nggak boleh. Mama nggak suka kamu berurusan sama mereka. Mereka itu otaknya rada geser, Hilma. Mau gimana pun benernya kita, tetep aja salah di mata mereka." Mama bermaksud menyimpan kembali berkas tersebut.
"Ma, Hilma mohon," bujukku dengan mata berkaca-kaca. "Dia ngatain Hilma anak haram karena waktu Mama melahirkan nggak ada suami. Padahal Hilma tahu yang seharuskan mendapat label itu Hesti. Hilma janji nggak akan bikin ribut, Ma. Hilma cuma mau buktikan Hilma bukan seperti yang dia tuduhkan." Isak tangis tak mampu lagi kubendung jika sudah menyangkut harga diriku dan Mama.
Mama menghela napas berat. "Oke. Jika itu menyangkut harga dirimu. Tapi, ingat, setelah ini hindari berurusan dengan mereka." Mama mengeluarkan berkas yang kuminta.
Ckrekk!!
Kufoto dengan angle yang pas berkas di hadapan. "Salinannya masing-masing Hilma bawa satu ya, Ma," pintaku.
"Ingat pesan Mama, Hilma," ujar Mama, mengingatkanku yang telah berlalu.
"Oke, Ma."
Sesampainya di kamar, segera kubuka aplikasi hijau dengan logo telepon di tengahnya.
Ku-upload foto buku nikah Mama dan akte kelahiranku setelah mencoret beberapa hal yanga ku anggap tidak penting. Nama laki-laki sebelum nama Mama misalnya.
[Ini buku nikah mamaku, dan ini akte kelahiranku. Mana punyamu? Tunjukin, kuy!] tulisku.
Send!
Kupantau siapa saja yang sudah melihat storyku, 1 … 2 … 3 … 4 … 5 … yes! Hesti.
Kutunggu balasan story-nya. Kubuka aplikasi lain sambil menunggu, kemudian aku cek kembali, belum ada juga.
Skakmat!
Hilma dilawan.
***
Semerbak wangi bunga-bunga tanaman Mama menyambutku kala membuka jendela kamar. Kemudian aku mengerjakan tugas sebelum berangkat kerja, yaitu menyapu dan mengepel rumah. Jika waktunya masih panjang aku juga membantu Mama mencuci pakaian, sedangkan Mama akan fokus dengan menu sarapan.
Setelah mandi dan sarapan, aku berangkat kerja. Hari yang baik, karena diawali dengan sarapan dan senyuman. Kalau hanya diawali dengan senyuman, beberapa jam kemudian akan menjadi hari buruk, karena lapar.
"Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali. Semua semua semua dapat dikabulkan, dapat dikabulkan dengan kant—"
Kletak!
Lantunan lagu Doraemon kesukaanku terhenti saat sebuah lemparan mengenai helmku. Kuhentikan motor yang kukendarai sejenak, celingak-celinguk mencari pelakunya. Nihil. Huh! Pasti ulah anak-anak nakal itu.
Baru saja hendak beranjak, aku melihat sekelebat sosok mirip Hesti berlari dari balik rumpun serai. Ckckck … jadi ini ulah Hesti? Astaga. Kuusap dada perlahan. Sabar Hilma.
Sesampainya di toko, salah satu rekan kerjaku —Lia— sudah lebih dulu sampai.
"Pagi, Lia," sapaku, memarkirkan motor di parkiran khusus pegawai toko.
"Pagi juga, Hil Udah sarapan?" tanyanya.
"Udah. Kamu?" tanyaku balik. Aku membuka lemari meja lalu meletakkan tasku di sana.
"Belum. Ini mau beli sarapan di depan. Mau nitip gorengan?" tawarnya.
"Nggak, deh. Makasih, masih kenyang banget," balasku mengelus-ngelus perut.
"Ya, udah. Aku beli sarapan dulu." Lia berlari kecil menghampiri penjual bubur ayam keliling.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah seseorang menuruni tangga toko. 
"Udah sampe kamu, Hil," sapa Bang Jaya —pemilik Toko.
"Iya, Bang. Barusan aja," jawabku.
"Oh iya, Hil, nanti siang ada barang masuk. Meja rias kekinian yang lagi viral itu, lho, yang tempo hari kamu cerita." Bang Jaya menyerahkan tumpukan brosur meja rias padaku.
"Wah, bagus-bagus ya, Bang. Eh, Bang, kalau misalnya aku buka arisan boleh nggak? Soalnya temen-temenku banyak yang menekuni dunia make up. Target market aku udah pas berarti, kan?" Aku membeberkan ideku dengan semangat.
"Boleh, boleh tu, Hil. Jangan lupa kamu pakai perjanjian hitam di atas putih ke member-nya. Tahu sendiri zaman sekarang, barang dapat nggak bayar lagi." Bang Jaya memberi saran terhadap rencanaku.
"Nah, iya, Bang. Betul itu, nanti aku infoin temen-temenku dulu ya, Bang," kataku.
"Oke. Lanjutkan." 
"Siap, Bang!"
Melihat brosur ini, aku teringat Mama. Meski Mama tidak suka berdandan, tapi Mama memiliki skill dalam make up. Tidak jarang teman atau kenalan Mama menggunakan jasa make up- nya dengan syarat mereka datang langsung ke rumah. Aku membuka aplikasi bangking di ponsel, alhamdulillah saldonya bisa buat beli meja rias Mama dan masih cukup juga untuk membayar uang semester akan datang.
Selanjutnya hariku dipenuhi dengan aktivitas kerja. Tugasku mencatat barang masuk dan keluar, mencatat barang yang sudah habis, mencatat barang yang perlu dibeli kembali. 
***
Pukul 17:00 WIB toko tutup. Aku dan yang lain satu per satu meninggalkan toko.
Iring-iringan antara aku dan mobil bak berisi meja rias kekinian menjadi pusat perhatian warga kampung Gaduh. Mungkin mereka bertanya-tanya, siapakah pemilih meja rias tersebut? Sudah rahasia umum meja rias yang sedang viral itu harganya cukup membuat kantong megap-megap.
Dari jauh, Aku melihat Hesti dan ibunya memasang wajah tak suka saat mobil bak berhenti di halaman rumahku.
"Apa ini, Hil?" tanya Mama tergopoh keluar rumah.
"Tara! Meja rias buat Mama." Kurentangkan kedua tangan dengan antusias.
"Masya allah, Hilma. Meja rias Mama masih bagus, Nak. Ini pasti mahal, kan?" bisik Mama pada kalimat terakhir.
"Mama tenang aja, tabungan Hilma masih ada, kok. Lagian meja rias Mama itu udah lama, kacanya udah pecah sebagian, udah saatnya ganti yang baru." Senyumku merekah menyaksikan binar bahagia di mata Mama kala menatap meja rias barunya.
Ah, Mama. Ini belum seberapa dibandingkan pengorbanan Mama untuk Hilma.
Tiba-tiba terdengar celetukan dari rumah tetangga sebelah. 
"Halah! Beli kredit aja bangga! Itu mahal lho. Kerja yang bener biar bisa bayar cicilannya. Takutnya baru dua bulan dipakai udah ditarik lagi. Hahaha …."
Aku menatap tajam pada Bu Dahlia yang setengah badannya berlindung di balik tembok rumah tetangga, tanganku mengepal. Kenapa harus di situ? Takut aku ngamuk lagikah?
"Kenapa? Memang iya, kan? Nggak usah belagu ngaku-ngaku beli cash segala, kecuali ada yang beliin, sih." Bu Dahlia mencebik, mengejekku.
Aku memejamkan mata sambil menarik embuskan napas demi mengusir emosi yang mulai menguasai. Elusan tangan Mama di pundakku seakan membantu amarah kian reda.
Aku menoleh pada Bu Dahlia sambil tersenyum. "Iya, nih. Enak ada yang beliin. Ibu juga, dong, minta dibeliin sama suaminya. Beli cash Bu, ya, jangan kredit." Kukedipkan sebelah mataku.
Bu Dahlia mendengkus lalu berbalik dan beranjak pergi dengan tergesa-gesa.
Braakk! Buggh!
Bu Dahlia menabrak pintu pagar tetangga hingga terjungkal.
Bukannya membantu, warga yang menyaksikan adegan tersebut malah tertawa.
Dengan muka merah Bu Dahlia bangkit kemudian pulang.
Aku menggeleng tak habis pikir. Ibu sama anak kelakuannya ajaib. Besok, ulah apa lagi yang akan mereka perbuat. 

หนังสือแสดงความคิดเห็น (159)

  • avatar
    Chiaraa

    tudtdyfh

    11h

      0
  • avatar
    Nia Kndiss

    cukup baik

    6d

      0
  • avatar
    GabyFBB

    yes

    17d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด