logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Kelompok

Insiden rok terbakar sudah berlalu seminggu. Putri juga sudah masuk sekolah hari ini. Kemarin, Sadin sempat ditelpon Putri untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan motornya. Sadin juga menerimanya karena motornya menjadi sangat tak pantas. Padahal, itu peninggalan ayahnya yang bisa ia nikmati.
"Din, ayo ke kantin!" ajak Putri dengan santainya. Teman-teman se-gank nya menatapnya dengan aneh. Dari awal masuk tadi, Putri memang sudah mencueki mereka. Padahal mereka berkumpul di meja Putri sambil bertanya-tanya tentang keadaannya.
"Lu nggak sama temenlu?" tanya Sadin penasaran. Sadin merasa aneh karena tidak biasa-biasanya ada anak MIPA 1 yang mau dengan sukarela mampir ke bangkunya.
"Nggak. Gua mau bergaul sama lu aja," jawabnya santai. Sadin terkejut dengan pernyataan Putri yang terlalu blak-blakan.
"Lu nggak kacang lupa kulitnya, kan?"
Putri menggeleng. "Nggak. Kalo boleh dibilang, justru gua ATM berjalannya mereka. Gua capek aja dimanfaatin terus. Kalo sama lu kan nggak."
"Nggak usah bego deh. Tahu dari mana lu kalo gua nggak bakal manfaatin elu juga? Secara lu yang paling kaya. Jadi gampang buat gua manfaatin lu," celetuk Sadin santai.
"Kalo emang lu niat manfaatin gua, harusnya lu yang caper ke gua. Tapi setahu gua, lu sama sekali nggak peduli sama gua. Bahkan sama semua orang yang ada di sini."
Sadin membenarkan. Apa yang dikatakan Putri adalah kebenaran.
"Ayo, gua traktir elu. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena udah nolong aku kemarin," ajak Putri sedikit memaksa. Berhubung Sadin juga lapar, ia akhirnya mengiyakannya. Veera, Marisa, Rinda, dan Nawang memperhatikan mereka sejak awal Putri datang dan mengajak Sadin beristirahat bersama.
"Kenapa kok lu tiba-tiba ngajakin gua?" tanya Sadin masih penasaran.
"Karena cuma lu satu-satunya orang yang jenguk gua dengan inisiatif sendiri. Bahkan saat ada jengukan dari pihak sekolah, mereka berempat nggak ada yang ikut. Padahal mereka temen gua. Nanyain kabar gua aja nggak. Yang ada malah Veera terus-terusan nyalahin gua karena ngedorong dia. Nggak nanyain gimana lukaku atau apa. Kan gua kesel." Putri mengomel. Sadin hanya mengangguk-angguk saja, mengiyakan dan membiarkan Putri bercerita dengan berapi-api.
"Terus ya, masa mereka malah hang out tanpa gua, terus diupload story sama Rinda. Kayanya dia lupa ngeprivasiin gua. Pas gua reply, dia bilangnya itu foto udah lama. Padahal gua inget banget kalo baju yang dipake Marisa itu baru beli beberapa hari yang lalu bareng sama gua dan yang bayarin gua. Kan nggak banget gitu. Kalau pun emang udah lama, berarti selama ini mereka sering keluar tanpa gua. Pantes aja kadang pembahasan mereka radak nggak nyambung sama gua. Seolah mereka punya circle di dalam circle tanpa gua. Gua muak aja udahan. Makanya milih sama elu."
Sudah puas Putri mengomel. Remaja itu terlihat lebih plong setelah mengeluarkan semua unek-uneknya ke Sadin saat mereka sedang dalam perjalanan menuju kantin. Sadin sendiri memang tidak bereaksi. Alasannya bukan karena ia tidak peduli. Justru ia peduli, buktinya ia masih mendengar dari awal sampai akhir. Tapi, Sadin lebih suka ketika dia bercerita, orang hanya diam menyimak tanpa memberikan berbagai saran yang menurutnya tidak membantu. Jadi, inilah yang dilakukannya pada orang lain juga saat mereka curhat.
"Udah lega, kan? Sekarang lu pesen makan, terus makan. Lupain aja semua yang udah mereka lakuin ke elu. Toh udah lewat juga. Kalo emang lu mau mentallu tetep sehat, lebih baik keluar dari circle itu dan cari yang menurutlu bisa dijadiin temen dan sehat untuk jiwa ragalu. Gua nggak bisa ngasih tanggapan apa-apa, karena jujur aja gua nggak pinter kasih tanggapan buat curhatan orang. Gua cuma bisa nemenin mereka ngomel, ngoceh, terus gua ajak makan. Udah." Inilah tanggapan Sadin. Sebagian orang mungkin tidak suka dengan cara Sadin, tapi Putri tidak. Justru tanggapan inilah yang paling ingin ia dengar.
Mereka berdua sudah sampai ke kantin. "Mau pesan apa?" tanya  Putri saat Sadin mulai duduk di kursi.
"Nasi goreng aja. Minumnya es jeruk," jawab Sadin.
"Itu aja?" tanya Putri heran. Sadin juga ikut heran.
"La kalo nggak itu aja, emang mau minta apa?"
"Biasanya mereka kalo mesen pas gua yang traktir juga minta jajan sama gorengan," jawab Putri seolah tanpa beban. Sadin yang malah merasa aneh.
"Tenang. Gua cuma beli itu doang."
"Eh, nggak papa. Justru gua tanyain kali aja lu mau nambah. Soalnya kok cuma itu aja yang lu pesen. Gua nggak ngelarang atau nganggep apa yang lu pesen kebanyakan dan disamakan sama mereka. Justru gua heran kenapa cuma pesan itu aja." Putri salah tingkah. Sadina malah tertawa terbahak-bahak.
"Santai aja. Gua nggak nganggep apa-apa. Udah, buruan mau lu yang pesen atau gua? Mumpung agak sepi," tanya Sadin.
"Gua aja yang pesen. Lu tunggu di sini aja," jawab Putri. Remaja itu berjalan ke arah penjual kantin dan memesan makanannya. Sadin sendiri menunggu di meja sembari memainkan handphonenya. Ia membuka aplikasi berwarna biru untuk mengetik ide yang ada di otaknya.
Manusia itu mudah berubah, seperti daun yang terlepas dari ranting dan jatuh ke tanah.
Dibolak-balikkan hatinya oleh Tuhan, berganti-ganti rasa yang mendominasi hati.
Manusia itu rapuh, juga kuat.
Mereka bertahan hidup dengan mencari apa yang membuatnya kuat setelah muak diinjak-injak.
Tapi, terkadang ada manusia yang bebal.
Bertahan padahal ia nyaris menyerah.
Memberontak pada ingin dan harap, menekannya hingga batas terdalam.
Demi sebuah hal penting yang tak penting.
Akulah salah satu manusia bebal itu.
Menjerit pun suaraku ditelan oleh ego.
Merintih pun tangisku dihentikan oleh kenyataan.
Bertahan sendiri di tengah badai yang memporak-porandakan.
Akulah salah satu manusia yang bebal itu.
Yang tetap kekeh bertahan meskipun daunnya sudah membusuk.
Yang tetap berdiri sekalipun hati tak berbentuk.
Yang tetap mempertahankan angin yang hendak berlalu.
。◕‿◕。
Pelajaran kali ini adalah pelajaran prakarya. Bu Linda meminta mereka untuk berkelompok dengan teman sebangku dan memberikan waktu selama dua minggu untuk membuat sebuah produk yang bisa dijadikan usaha dan berdaya jual tinggi dengan modal yang rendah. Jujur saja, Sadin langsung menghela napas saat tahu kalau tugasnya adalah tugas kelompok. Terlebih satu kelompok dengan Rajaka itu sedikit mengesalkan. Lelaki itu minim bicara, minim reaksi, kulkas berjalan, nyaris miskin empati. Dia tidak tahu apa jadinya kalau sekelompok dengan remaja itu.
"Kapan bisa longgarnya, Jak?" tanya Sadina. Rajaka yang sedang membereskan bukunya karena bel pulang sudah berbunyi menoleh ke arah Sadin seraya menaikkan satu alisnya.
"Buat prakarya. Emang lu nggak mau kelompokan?" Sadin menjelaskan kembali maksudnya. Rajaka ber oh ria.
"Sabtu dan Minggu aku kosong," jawab Rajaka singkat. Sadin mengangguk saja.
"Oke, Sabtu gua ke tempat lu. Nggak masalah, kan, kalo gua ke tempat lu?"
Rajaka menggeleng. Ia sudah selesai menyimpan bukunya. Bu Linda juga mempersilakan mereka untuk doa dan pulang. Sadin sendiri sudah memasukkan semua bukunya ke dalam tas dan berdoa. Sebelum pulang, ia kembali mencegat Rajaka.
"Bagi nomor hape lu. Gua perlu nyimpen nomor buat komunikasi."
"Di grup ada."
"Gua nggak gabung grup."
Rajaka menatap Sadina heran. Ia lalu mengambil ponsel Sadina dan mengetikkan nomornya di sana. Ia mengembalikan ponsel Sadina setelah mengetikkan nomornya.
"Oke siap. Berhubung lu es batu, gua kasih nama kontaklu Es Batu ya? Nggak marah, kan?" ledek Sadin seraya terkekeh.
"Terserah," jawab Rajaka kemudian meninggalkan gadis itu yang tertawa geli. Seru juga meledek remaja itu, batinnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (31)

  • avatar
    FarahYui

    bagus

    20/08

      0
  • avatar
    VidiaSelvi

    seru

    19/08

      0
  • avatar
    Fitriana Tobing

    keren

    10/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด