logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Rajaka

Terkutuklah kau, wahai manusia pencari muka! Kira-kira itulah yang sedang digaungkan oleh hati Sadin saat ini. Saat dirinya terlelap di perpustakaan, seorang guru BK bernama Bu Aul tiba-tiba masuk dan melepas earphone-nya. Sadin yang mudah terbangun langsung terkejut dan menjadi lebih terkejut saat melihat wajah Bu Aul yang berjarak tidak jauh dari wajahnya dengan tatapan garang.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Bu Aul masih mempertahankan tatapan tajamnya.
"Tidur, Bu," jawab Sadin santai.
Bu Aul akhirnya kembali memasang muka santai dan ikut duduk di seberang meja, tepat di depan Sadin.
"Ibu dapat laporan kalau kamu bikin onar di kelasmu. Bisa jelaskan?"
Sadin merapikan earphone-nya yang kusut dan meletakkannya ke dalam saku.
"Lagian saya dikasih ke kelas unggulan. Kan saya nggak suka, Bu. Kelas kurang piknik gitu dikit-dikit laporan guru, harus taat aturan, nggak boleh berisik. Kenapa nggak pindah aja ke kelas lain? Manapun selain MIPA 1 saya mau kok, Bu."
"Itu udah keputusan final dari Pak Rozak, Sadin. Udah nggak bisa diganggu gugat. Lagian apa salahnya kamu di Mipa 1? Kamu kan pinter. Namamu selalu nyempil di deretan tiga puluh besar peringkat angkatan. Lagian sekarang udah nggak ada lagi sistem unggulan dan biasa. Semuanya dijadikan kelas biasa sama Pak Rozak, makanya disebar gitu," jelas Bu Aul. Nadin kembali bertanya, "Kalau gitu kenapa baru diacak sekarang, Bu? Kenapa nggak dari awal?"
"Keputusan ini sudah diwacanakan sejak akhir semester lalu. Tapi masih belum jelas. Sampai akhirnya minggu lalu Pak Rozak kembali membawa pembahasan ini di rapat dan disetujui oleh sebagian besar guru. Jadi, ya, baru bisa dilaksanain sekarang."
Sadin terdiam sebentar, lalu kembali menanggapi, "Ya sudahlah. Mau di mana pun juga sama saja. Jadi, biar nggak terlalu mengganggu kelas, izinkan saya tetap di sini. Saya cuma mau tidur, Bu."
"Nggak! Balik ke kelas! Teman kamu protes ke ibu, katanya kamu harus taat aturan kelas walaupun kamu nggak suka." Bu Aul melarang.
"Tapi kan ini udah jam istirahat, Bu. Lagian nggak ada guru juga," protes Sadin.
"Sadina. Balik kelas! Jam istirahat juga udah hampir habis. Meskipun jam kosong, kamu tetap nggak boleh keluar kelas. Kalau kamu ngeyel, temanmu bilang ke ibu kalo namamu bakal dicatat dan dikasih ke wali kelas biar dikurangi nilai kamu." Ah, ancaman seperti itu tidak akan pernah mempan untuk Sadin. Sama sekali. Tapi, karena ia menghormati guru di depannya, terpaksa gadis itu beranjak dari kursi dan berjalan untuk keluar perpus dengan wajah masam. Bu Aul menatap punggung Sadin dengan tatapan sendu.
"Sadin, tunggu!" Tiba-tiba saja Bu Aul mencegah Sadin. Gadis itu menoleh lantas bertanya, "Kenapa lagi, Bu?"
"Kamu itu gadis. Kenapa rambut bisa kusut semua gitu? Kamu nggak sisiran? Nih, sisirin dulu rambutnya. Terus benerin lagi ikatan rambutmu." Bu Aul menyerahkan sebuah sisir ke arah Sadin. Gadis itu menerima sisir itu tanpa banyak kata dan segera merapikan rambutnya yang kusut dan berantakan.
"Nah, gitu kan cantik. Ya sudah, balik kelas lagi, sana," puji Bu Aul saat menerima sisir dari tangan Sadin.
"Terima kasih, Bu."
***
Saat kembali ke tempat duduknya, Sadin mendapati kursi sebelahnya juga kosong. Mungkin laki-laki itu masih belum masuk, mengingat bel masuk baru saja berbunyi beberapa saat yang lalu. Mata Sadin berkelana ke sekitar, lalu perhatiannya tersita oleh buku yang terbuka. Karena penasaran, ia menggeser bukunya agar mudah ia baca.
Sore ini, langit masih sama
Gelap, seolah bermuram durja
Kurangkul bayangan yang mendadak memudar
Tentang kenang yang semakin samar
Aku bertanya pada merpati yang terbang
Mengapa mereka bisa terus sepasang
Lalu kutanyakan pula malam yang setia
Yang masih menanti pagi meskipun harus pergi
Biru, setelah putus benang merah itu, semua biru
Sembilu bermain menyisakan jejak sendu
Di tengah malam, rintih itu selalu menyapa
Mengapatiskan setia yang tak tahu ada tidaknya
"Nggak sopan!" Sebuah tangan menyambar buku itu begitu saja. Sadin mendongak untuk melihat pelakunya. Rupanya, pemilik buku itu yang merebut begitu saja dengan ekspresi gelap.
"Ah, sori. Gua gak bermaksud apa-apa. Gua cuma penasaran aja tadi, soalnya kayanya bagus gitu." Laki-laki itu berjalan untuk duduk di bangkunya, lalu ia memasukkan buku berisi sajak tadi ke dalam tas tanpa menjawab perkataan Sadin.
"Kenalin, gua Rainia Sadina Nisa Sjarief. Lu bisa manggil gua Sadin." Gadis itu mengacungkan tangan untuk mengajak bersalaman, tapi, laki-laki itu hanya melihat tanpa berkata.
"Astaghfirullah, gua rasa semua penghuni MIPA 1 emang kurang piknik. Cuma jawab nama lu doang apa susahnya sih?" protes Sadin sambil memukul tangannya sendiri yang dianggurin begitu saja oleh teman sebangkunya.
"Kenapa? Lu takut gua gigit? Tenang, gua jinak. Gini-gini gua juga pencinta sajak. Jadi gua ngerespek siapa pun yang punya kecintaan sama kaya gua. Kalo pun gua gak tahu nama lu juga bakal tahu nanti. Kan kita sekelas." Sadin cengengesan seolah tak menyadari bahwa laki-laki itu menatapnya sedikit aneh.
"Rajaka," gumamnya tiba-tiba. Sadin yang masih sibuk cengengesan tadi menatap Rajaka kaget. "Lu tadi bilang apa?" tanyanya agar Rajaka mau mengulangi ucapannya tadi.
"Namaku Rajaka. Rajaka Adam Mahardika." Senyum Sadin langsung mengembang lebar. Ia menyambar tangan Rajaka yang berada di atas meja dan langsung diayun begitu saja dengan semangat.
"Nah, gitu dong. Salam kenal, Rajaka."
***
"Dari mana aja kamu? Jam segini baru pulang?" Seorang wanita dengan rambut penuh roll berdiri seraya berkacak pinggang di depan pintu. Matanya menatap Sadin yang baru mau masuk rumah dengan tajam.
"Ekscul, Tante. Bukannya udah ada kesepakatan kalau saya dibebaskan untuk ikut ekscul?" Sadin menjawab dengan raut wajah datar. "Minggir, saya mau masuk," sambungnya dengan nada ketus. Namun, sebuah tarikan di rambutnya tiba-tiba terasa. Rupanya wanita itu menarik rambut Sadin dengan kuat. Sadin meringis kesakitan tanpa mengeluarkan teriakan sekalipun rasanya kulit kepalanya seolah mau lepas.
"Nggak usah belagu. Yang biayain kamu tuh saya. Kalau nggak ada saya, jadi gembel kamu," ucapnya keras. Sadin mengepalkan tangannya hendak menonjok, tapi ia ingat kalau orang yang tingkat menyebalkannya sampai pangkat lima ini orang yang sudah tua. Terpaksa ia menahannya dengan menarik napas, memegang tangan wanita itu kuat agar melonggarkan tarikannya di rambut, lalu diempaskan begitu saja.
"Anda juga jangan lupa. Rumah dan perusahaan itu punya Papa dan Mama. Kalau anda sadar diri, di sini anda yang menumpang. Meskipun surat wasiatnya masih belum ditemukan, secara hukum waris, saya yang jauh lebih berhak." Ucapan itu lolos begitu saja tanpa nada. Pandangan Sadin seolah mampu melubangi kepala. Gadis itu langsung berlari menuju kamarnya yang ada di lantai dua dan membanting pintunya kencang. Ia berusaha sebisa mungkin menahan air matanya yang sudah menggantung di pelupuk mata. Jangan nangis, jangan nangis, jangan nangis, batinnya seolah merapal mantra. Ia membanting dirinya ke atas kasur, lalu tangannya bergegas mengambil buku note khusus miliknya dari dalam tas dan dibukanya hingga ke halaman kosong. Sebuah pena sudah tersimpan di bagian khusus pena. Dengan ringisan menahan air mata, ia menggoreskan mata penanya.
Katanya, setelah badai pelangi akan tiba
Langit yang menggelap diselimuti awan
Mentari yang tak mampu membelai bumi
Menyisakan lubang kosong dalam hati
Kurindu bulan dalam kelam malam
Yang tersenyum di tengah gemintang
Kurindu baskara di siang cerah
Yang membelai dingin dengan kehangatan
Tess ....
Setitik air mata akhirnya jatuh membasahi rangkaian kata di atas buku. Sadin menggigit bibir bawah untuk meredam suara tangisannya hingga berdarah. Akhirnya ia menyerah untuk menahan perihnya hati. Ia memilih menelungkupkan kepalanya di atas kasur. Suara tangis tertahan keluar menyayat hati diiringi linangan air mata yang menganak sungai mengeluarkan segala keperihan.
Ma, Pa, Sadin mau ikut kalian aja, racaunya dalam tangis.
***
Tapi sepertinya, pelangi tak mudah tiba begitu saja
Bahkan sekalipun tujuh bidadari turun dari khayangan
Bahkan sekalipun seseorang melukis sambil berair mata darah
Pelangi itu tak akan tiba
Karena mentari tidak mampu membiaskan air ketika awan tak mau menyingkir.
****

หนังสือแสดงความคิดเห็น (31)

  • avatar
    FarahYui

    bagus

    20/08

      0
  • avatar
    VidiaSelvi

    seru

    19/08

      0
  • avatar
    Fitriana Tobing

    keren

    10/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด