logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Lelaki misterius

***
Perlahan usaha kecil-kecilanku mulai merangkak naik. Pelangganku sudah banyak, bahkan dari daerah yang jauhpun sudi mampir karena mendengar kabar dari mulut ke mulut enaknya masakanku.
Suatu hari ada seorang laki-laki separuh baya datang membeli jualanku. Umurnya sekisaran lima puluh tahun, namun wajahnya masih terlihat muda karena penampilannya begitu rapi. Dia menyuruhku memanggilnya--Mas Nano. 
"Sudah lama berjualan di sini, dek? Kok saya perasaan baru lihat," ujarnya memulai perkenalan kami.
"Baru beberapa bulan ini, Mas. Dulu saya nggak di sini."
"Suami sama anak-anak mana?" tanyanya lagi sambil celingukan menengok ke dalam.
"Anak anak ada empat orang. Pada sekolah semua, mas." Aku tersenyum pada seorang pembeli yang baru saja masuk.
"Suami?" Selidiknya,"
Aku tak menjawab, kulayani pembeli yang baru saja masuk. Setelah itu aku kembali duduk tak jauh darinya. Karena memang dia duduk dekat dengan meja kasir.
"Kalau suaminya, Dek?" tanyanya mengulang pertanyaan tadi.
"Macam detektif aja mas, semua ditanya," jawabku malas. 
"Nggak, biasanya kalau seorang wanita bekerja mandiri seperti adek ini, berarti suaminya nggak ada. Maaf lo kalau salah ngomong. Kalau ia berarti kita sama." Dia terkekeh dengan pertanyaan dan jawabannya sendiri.
Aku hanya diam tak menanggapi, mataku beralih pada sebuah mobil pribadi berhenti di depan warungku, lalu turun seorang pemuda berpakaian kantoran yang rapi dan necis.
"Dengan ibuk Tantri? Saya Rinto dari perusahaan furniture. Saya kesini menginformasikan kepada ibu Tantri bahwa kredit furnitire  pak Yadi sudah jatuh tempo, jadi kami harap ibu bisa membayar secepatnya."
"Ya Allah, apa lagi ini!" seruku terkejut.
"Ini nota total tagihan yang harus ibu lunasi atas nama ibu." Pemuda tadi mengeluarkan kertas tagihan. 
"Dari mana adek tau alamat saya di sini?" 
"Pak Yadi yang mengasih tahu alamat ini kepada kantor kami." Pemuda tadi mengeluarkan pena dan diberikannya padaku.
Jadi mas Yadi masih berada di sini, tega dia berbuat begini padaku. kepalaku sakit memikirkan semua ini. Aku tak menggubris lagi pemuda itu yang segera pamit meninggalkan warungku.
Mas Nano dari tadi terus memperhatikanku, mau mengusir nggak enak. Jelas dia tahu permasalahanku sekarang. 
"Dek, mas pamit dulu, besok datang lagi. Kalau ada masalah, adek bisa minta bantuan pada saya." Dia tersenyum lebar menampakkan gigi putih nya yang mempesona. 
***
Benar saja keesokan paginya, mas Nano datang kembali untuk membeli dagangan ku. Aku melayaninya dengan baik.
"Pesanannya biasa ya dek, nasi uduk ternikmat yang belum pernah aku temui," ucapnya terkekeh sendiri.
Tiba tiba Alya turun dari lantai atas mengatakan ada telpon dari Lina-- sahabatku. Setelah membuatkan pesanan Mas Nano aku segera ke atas sedangkan Alya kusuruh menunggui jualanku sebentar. 
"Fatih, ke sini bentar, temani kakak gi." Alya berteriak memanggil adiknya fatih yang sedang asyik bermain game. Bocah itu bergerak malas menuju kebawah. 
"Ngapain sih kak?"
Alya berbisik ke telinga Fatih. Fatih hanya mengulum senyum entah apa yang dikatakan Alya. 
"Hai nona cantik... Kamu anak Tantri nomor berapa? Sekolah dimana?"
"Sulung, Om. Sekolah di SMA bhayangkara," jawab Alya.
***
Setelah menerima telpon dari Lina aku segera turun ke bawah dan mendapati Alya sedang berbicara dengan mas Nano. 
"Lagi ngomongin apa nih?" tanya ku pada mereka. 
"Nggak ada, Ma. Om ini bilang pernah melihat Alya sebelumnya, Om ini rupanya guru magang di sekolah Alya dulu, Alya nggak ingat la, Ma."
"Oh, ya udah, sekarang Alya dan Fatih naik, ya," perintahku.
"Baik, ma." Mereka berebutan berlari ke atas." Aku menggeleng melihat tingkah bayiku yang sekarang sudah besar itu.
"Anakmu cantik dek. Pasti orang akan kenal sama dia sejak pertama kali bertemu, sayangnya dia lupa sama aku. Dulu aku pernah jadi guru honorer di sana... Tak lama sih," urai Mas Nano sambil mengaduk kopi buatanku. Asap mengepul dari segelas kopi panas yang baru saja ku hidangkan, Mas Nano merasainya sedikit dari tepi gelas.
"Kamu butuh suntikan dana kyaknya ya, dek?" tanya Lelaki itu mengejutkanku. Kurasa dia masih mengingat kejadian semalam.
"Aku bisa bantu dan kamu tidak perlu pusing membayar tiap bulan, kalau kamu ada uang baru kamu bayar." Dalam hati aku berkata. "Semudah itu, kah? Padahal dia baru mengenalku,"
"Kita saja baru kenal, masak mas Nano bisa langsung percaya meminjamkan uang pada saya? Kalau saya larikan uang itu, bagaimana? Mas tak takut?"
"Nggak. Karena Mas percaya padamu. Mas tak yakin kamu akan melakukannya." Mas Nano menatapku lekat membuatku gugup dan salah tingkah diperhatikan seperti itu.
"Jujur saja. Dari pertama melihat Dek Tantri saya langsung suka. Saya duda, tak salahkan saya ingin memulai hidup baru? Kita bukan anak anak lagi yang harus pacaran dulu untuk saling mengenal. Toh, banyak orang yang menikah tanpa pengenalan dulu, buktinya mereka langgeng. Saya kasihan melihat Dek Tantri bekerja keras sendiri, apalagi Dek Tantri masih muda. Apa salahnya menikah lagi?"
Aku hanya diam mendengar penuturannya yang masuk di akal itu dan mencoba mengalisa baik dan buruknya. Menikah dengan lelaki yang baru beberapa hari kukenal? Aku ingat perkenalan dengan Mas Yadi dulu, seperti ini juga. Namun dalam kurun waktu sembilan belas tahun aku bahkan tak juga mengenal pribadinya seutuhnya.
"Okelah kalau begitu saya permisi dulu, saya harap Dek Tantri mau mempertimbangkan dan memikirkan... Semacam lamaran saya ini." Senyum malu terukir di bibirnya yang merah, sepertinya dia tak perokok karena melihat warna bibir itu.
Laki-laki itu segera berlalu meninggalkan warungku dengan motor besarnya. 
Aku menghela napas berat, tenggorokanku terasa kering. Segera ku teguk air mineral di sampingku. Apakah aku perlu memikirkan permintaannya yang terlihat konyol itu? Menikah lagi? Sedang luka hati ku belum sembuh akibat perbuatan makhluk bernama lelaki dan bergelar suami itu.
"Ma... Mama!"
"E-eh, iya, ke-kenapa, Nak?" Aku tergagap menerima tepukan di bahuku.
"Ciee, mama melamun ya? Apa karena lamaran barusan?" Tika mengambil kursi dan duduk di sebelahku.
"Ih, kamu nguping, ya? Emang kamu mau punya bapak lagi?"
"Loh, siapa bilang? Tapi, itu terserah mama. Kalau mama nyaman bersamanya tak masalah. Kami anak-anak mama selalu mendukung mama." Tika mencubit pipiku.
"Ihh, ini anak! Jangan berpikir macam-macam dan menambah pikiran Mama. Sana! Sudah jam berapa ini, nanti kamu telah mengajar les." Aku menyikut gadis manis yang memeluk manja leherku.
"Oke, siap, Bos!" Tika berdiri dan berjingrak ke atas. "Pikirannya sudah dewasa sebelum waktunya," batinku. Aku tahu Tika berusaha menyembunyikan lukanya, Karena setiap sepertiga malam aku tersentak bangun, aku melihat Tika menangis di atas sajadah. Nama Mas Yadi yang disebutnya dalam untaian doa. Tika begitu kehilangan sosok ayah yang sangat disayanginya itu.
TBC...

หนังสือแสดงความคิดเห็น (83)

  • avatar
    Nurur rokhmanAndika

    mantap

    8d

      0
  • avatar
    Ertus Daru

    sangat baik

    24d

      0
  • avatar
    AlbakriUmam

    ya lumayan

    11/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด