logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Chapter 3 Fareldzi Arkhan Adhitama

"Papa, Mama, kalian di sini?" panggil seseorang.
Semua orang yang berada di ruangan itu menatap ke asal suara. Di sana, seorang pemuda yang mengenakan seragam pilot dengan tanda setrip empat berwarna emas, yang berarti memiliki pangkat captain tengah berdiri. Menatap ke arah orang-orang yang berada di ruangan VIP Big Family secara bergantian.
"Abang, kok bisa ke sini?" tanya Satrio kepada pria itu.
"Tadi Farel nggak sengaja lewat, Pa. Dan kebetulan lihat mobil Papa juga terparkir di sini. Pria itu hanya menampilkan wajah datarnya walaupun banyak berbicara.
"Kamu tahu itu mobil Papa gimana ceritanya?"
"Ya kan kelihatan Mang Imad lagi berdiri di sebelah mobil."
"Oh maaf. Perkenalkan, ini anak pertama saya namanya Fareldzi Arkhan Adhitama. Dia seorang pilot yang berpangkat captain di maskapai penerbangan, usianya hanya beda dua tahun dengan Azkan," ucap Satrio sambil merangkul pundak putra sulungnya, lalu menyuruh Farel agar duduk.
Farel menatap ke arah Sundari dan Azkan secara bergantian, lalu berkata, "Ini gadis yang akan dijodohkan dengan Azkan, Pa?" tanya Farel yang langsung dijawab anggukan kepala oleh ayahnya.
Farel mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti mengapa saat itu Azkan menekan kakaknya agar segera menikah, dia ingin segera menikah dan mendahului dirinya. Pantas saja adiknya itu ingin tergesa-gesa, gadis ini memiliki paras yang sangat manis dan enak dipandang.
"Udah ditentukan tanggalnya, Pa? Menurut Farel, sih, mending 1 bulan  lagi, Pa. Gimana?" usul Farel, membuat kelima remaja berseragam putih abu itu tersedak makanan masing-masing.
"Yang bener aja?! Masa 1 bulan lagi?!" pekik Renata.
Semua mata menatap ke arah gadis itu, membuatnya langsung tersadar dan hanya mampu cengengesan. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Farel, betapa terkejutnya ia ternyata pria itu tengah menatap tajam ke arahnya.
"Ma-maaf, tadi refleks." Renata menundukkan kepala dan berpura-pura fokus pada makanannya.
Dayina menghela napas pelan. "Ya udah, sih. Emang kenapa kalau satu bulan? Kita mah santuy aja, biar orang tua dan para orang dewasa yang kerja. Begitu aja repot," ucap Dayina seraya beranjak dari duduknya menuju ke wastapel untuk mencuci tangan.
"Bener juga kata Day. Ini urusannya para orang tua dan orang dewasa. Anak kecil nggak boleh ikut campur, kita cukup diam dan santuy. Iya nggak?" pungkas Renata sambil terkekeh pelan.
"Tadi lo yang repot, anjim!"
"Kan gue bilang refleks, Sayang."
"Apa yang dibilang sama Day dan Renata, benar kok, Pa. Ya ...." Sundari belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Renata langsung menyela.
"Eits, itu nggak berlaku buat lo, maaf. Lo 'kan udah tuwir? Buktinya, lo dijodohin persis kayak zaman Siti Nurbaya."
Renata tertawa seraya mengikuti apa yang Dayina lakukan sambil memakai tas punggungnya kembali.
"Sahabat lucknut!"
"Untung gue bukan sahabat lo," seloroh Renata dan Dayina secara bersamaan.
"Tadi lo nganggep gue sahabat," sahut Sundari tidak mau kalah.
Renata merangkul pundak Dayina, lalu berkata, "Itu 'kan tadi, bukan sekarang. Padahal cuma drama aja, supaya gue dapat fasilitas enak, kayak makanan di restoran ini," balas Renata yang disetujui oleh Dayina.
"Yups, bener banget. Sahabat, bakal nganggep lo kalau perutnya kenyang," ucap Dayina.
"Dan kalau hatinya senang," tambah Renata.
"Anjim! Ini baru sahabat gue," ungkap Rindi dan Kimma secara serentak.
Sundari mengerucutkan bibirnya, lalu berkata, "Ck, awas aja kalian. Pak Azkan, nilai matematika mereka dikecilin, ya, Pak." adu Sundari.
Renata memutar bola matanya malas. "Pak, jangan dengerin rengekan sang calon istri. Gini-gini juga saya pernah nge-fans ke bapak, sampai-sampai saya selalu bawain makanan plus minuman loh, Pak. Berkat saya kan Bapak nggak pernah kelaperan," papar Renata.
"Kamu penggemar adik saya?" tanya Farel, "pasti alay kelakuannya. Naro makanan atau minuman plus surat cinta tanpa nama, anak zaman sekarang," lanjutnya dengan nada dingin dan sinis.
Renata menatap tidak suka ke arah pria yang memakai seragam pilot dan sedang fokus melahap makanannya.
"Ih, nyinyir banget itu mulutnya. Wajar dong kalau saya begitu, karena saya masih remaja. Kalau Om yang begitu, baru nggak pantes!" ketus Renata.
Semua orang yang berada di sana berusaha menahan tawanya agar tidak meledak. Karena ucapan dan panggilan Renata pada Farel yang menurut mereka terlalu berani.
"Apa?! Om?! Kamu kira saya nikah dengan tante kamu apa?!" bentak Farel, membuat semua orang terdiam.
Farel itu memiliki sifat yang tempramental, dia tidak suka ada orang yang menyinggungnya sedikit pun. Ingat, sedikit pun. Tidak ada yang berani padanya, termasuk orang tuanya. Namun, walau begitu, Farel tidak pernah membentak orang tuanya ketika sedang tersulut emosi.
Bukannya takut, Renata malah menjawab bentakan dari Farel. "Kenapa harus marah? Emang saya salah, ya, dipanggil Om. Makanya, kalau punya muka itu jangan boros. Dan satu lagi, siapa juga yang mau punya Om kaya situh, untung orang tua gue nggak punya adik atau kakak perempuan yang belom nikah. Alhamdulillah," sahut Renata, "Nata pulang, ah. Assalamu'alaikum."
Renata berjalan dengan tergesa-gesa karena takut Farel mengejar dan memarahinya. Karena yang sebenarnya, Renata hanya berpura-pura berani, padahal kenyataannya dia sangat takut saat melihat wajah Farel yang membentaknya. Begitu seram.
"Maaf, ya, Nak Farel. Renata nggak bermaksud jelekkin Nak Farel kok. Dia cuma bercanda, Nak Fa ...."
"Bercanda?! Farel nggak terima dibegitukan sama dia! Pokoknya Farel masih punya urusan sama dia!" bentak Farel pada orang-orang di hadapannya.
"Hm ... kalau begitu, Day sama yang lainnya pamit pulang, Tan, Om. Assalamu'alaikum," ucap Dayina seraya melangkahkan kakinya menuju ke halaman restaurant.
***
"Ish, jadi cowok kok mulutnya begitu banget! Udah bawel, nyinyir, ketus lagi. Amit-amit deh jabang bayi. Ya Allah, jauh-jauh deh sama cowok yang begitu," gerutu Renata yang ternyata masih berada di halaman restaurant menunggu ketiga temannya.
"Pangkat doang captain, tapi kelakuan kayak alien. Sekolah tinggi-tinggi, tapi kalau ngomong kayak orang darah tinggi. Nggak berguna, mati aja sana." Renata terus berbicara sendiri, membuat seseorang menarik rok yang dikenakannya.
"Ate-ate, tenapa bicala cendili? Ate cakit?" tanya seorang anak kecil, mungkin umurnya sekitar tiga atau empat tahunan. anak itu bertanya 'Tante, Tante, kenapa bicara sendiri? Tante sakit?' begitu pertanyaannya yang Renata tahu.
Renata mengerutkan dahinya bingung, lalu berjongkok. "Nggak, kakak nggak sakit kok. Kamu di sini sama siapa?"
"Cama Mama, itu." Anak kecil itu menunjuk ke arah seorang wanita paruh baya.
"Atu mau te Mama, ya, Ate. Dah." Anak itu melambaikan tangannya ke arah Renata yang dibalas hal serupa oleh gadis itu.
"Ck, gara-gara si Om pilot yang mulutnya nyolot. Untung sepi, coba kalau ramai? Mau taruh di mana harga diri gue?" gumamnya.
"Taruh di ketek," ucap Rindi dengan asal, membuat Renata mendelikkan matanya.
"Sok berani lo, sumpah. Pengen muntah gue lihat lo kayak begitu, siap-siap aja, ya," papar Rindi.
"Siap-siap buat apa?" tanya Dayina dengan polosnya.
"Aih, lo nggak paham emangnya sama apa yang diucapin Si Pilot tadi?" Dayina menggelengkan kepala. "Allahu Akbar, dasar lemot lo. Di kelas aja lo gue puji, pas di luar MasyaAllah, hamba memuji!" pekik Rindi.
"Emang kenapa?" tanya Renata dengan penuh rasa penasaran.
"Katanya, Si Pilot tadi bakalan balas dendam sekaligus menyelesaikan urusannya sama lo," jawab Kimma dengan takut-takut.
"Apa?!"
"Mampus!"
"Rasain lo!"
Renata, Rindi, dan Dayina berteriak secara serentak, tidak lama kemudian taksi berhenti di depan mereka. Kemudian keempat gadis itu masuk ke dalam taksi untuk pulang ke rumah masing-masing.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (69)

  • avatar
    CHANRIORIOCHAN

    bagus banget

    07/07

      0
  • avatar
    Diva

    saya suka cerita ini

    16/06

      0
  • avatar
    GegeRayy

    bagus

    15/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด