logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Awal Mimpi Buruk

Motorku dan Doni sudah sampai dihalaman rumah. Diiringi mobil yang membawa Karina dan Raffi berikut algojonya.
Gil*! Rina benar-benar tak seperti Rina lima tahun lalu. Wajahnya yang makin cantik malah bertambah angkuh. Sebenarnya apa pekerjaan dia di Taiwan? Aku tak yakin jika hanya seorang operator produksi, bod*h nya aku tak pernah peduli soal itu.
"Bim... Ibu ga mau terseret urusan rumah tangga kamu! setelah sertifikat rumah itu kamu ambil, buruan pergi dari sini. Urusan kamu dengan Karina dan Marni, Ibu jangan dilibatkan!"cecar Ibu pelan.
Astaga naga! Aku lupa tentang Marni. Semoga saja Rina tak tahu jika aku sudah menikah lagi. Kenapa urusan menjadi rumit begini.
"Sssst... Ibu ga usah sebut-sebut nama itu. Nanti Karina dengar!"rutukku. Bisa dikutuknya nanti aku.
"Cepet, Mas! nunggu apa lagi!"bentak Rina.
Aku dan Ibu bergegas masuk kerumah. Kalau saja Rina tak membawa bodyguard sudah kutampar muka angkuhnya itu.
"Dek, kita masuk dulu, yuk. Jangan marah-marah begitu. Lima tahun tak bertemu kenapa kita malah seperti ini."bujukku.
Rina menoleh, tangannya yang terlipat didada, menatapku lekat. Jujur, wanita itu sangat cantik dan elegant. Ah, andai dari dulu Rina seperti ini, aku pasti tak akan mendua.
"Aku ga suka manusia munafik. Lima tahun hanya soal waktu dan itu cukup untuk membuktikan apa yang harus aku perjuangkan. Dan apa yang harus aku buang!"
Degh!
Bahasanya kenapa jadi lebih tertata begitu. Aku mengusap wajah kasar.
"Setidaknya duduk dulu, Dek. Bagaimanapun Mas masih suami kamu. Ibu ini mertua kamu."aku masih terus berusaha membujuk Rina, mengulur waktu dan menetralkan hatiku yang sudah tak menentu.
Rina akhirnya mengalah. Dengan menggandeng Raffi dia berjalan masuk. Sementara dua algojo horor itu menunggu didepan pintu. Aku menghela nafas dalam-dalam.
Setelah ini apa?
"Dek, selama lima tahun disana?kamu emang ga kangen sama, Mas gitu? baru ketemu sudah jutek gitu wajahnya. Salah Mas, apa sama kamu, Sayang?" aku mendekati Rina. Tapi, dia malah bangun dan pura-pura melihat lukisan dan foto-foto yang ada di dinding.
"Rumah Ibu kamu makin megah saja, Mas?"katanya mengalihkan pembicaraan.
Aku menghela nafas lagi, seperti tak ada celah untuk melancarkan rayuan.
"Pasti biaya renovasi nya mahhall!" ucap nya dengan menekan kata "mahal".
"Ga kok, Dek. Ga mahal."imbuhku.
"Rin, ini Ibu buatkan minuman, minum dulu."Ibu datang dengan menyuguhkan teh hangat.
"Ini buat bapak-bapak yang diluar, Ibu takut memberikan."cicit Ibu.
"Tak usah takut, Bu. Selama ga bersalah mereka tak akan membuat Ibu terluka. Lagi pula mereka tak minum teh, tapi b*r."sahut Rina cuek.
Ibu mencebikkan bibir. Lalu duduk di sofa tak jauh dariku.
"Hayu, diminum nanti keburu dingin."seru Ibu.
Aku meraih gelasku hendak minum.
"Eits, tunggu aku minum ini. Kamu yang minum punyaku." Rina meminum seteguk minuman itu. Sedangkan aku meraih minuman milik Rina.
"Eh, eh jangan. Itu punya Rina!" pekik Ibu.
"Rina tukaran sama Bima, Bu." aku yang sehabis makan makanan sisa Raffi meminum teh hangat itu sampai tandas. Walau Ibu berteriak melarang.
"Sekarang buruan, Mas. Bawa sini sertifikat rumah beserta tabunganku." ucap Lina dengan menatap mataku tajam.
"Bim... kamu tak apa-apa?" lontar Ibu, pertanyaan macam apa itu, ya pasti aku sedang tak baik-baik saja. Jantungku seakan mau melorot, masalah sertifikat mungkin, aman. Tapi bagaimana dengan tabungan Rina.
"Cepatlah, Mas. Ga perlu mereka yang meminta, kan?"ancam Rina yang makin membuat nyaliku menciut.
Aku menyugar rambutku, kasar. Dan berlalu masuk ke kamar.
"Bim... " masih kudengar cicitan Ibu, entah mau apalagi.
Beberapa menit kemudian aku kembali membawa sertifikat rumah itu.
"Ini...!" aku menghempaskan surat di map biru itu ke meja.
Rina meraihnya. Tangan putih itu membuka map dengan santai. Hingga matanya memicing lalu menatapku.
"Kenapa surat ini atas namamu sekarang, Mas!"serunya.
"Eh, Rina tahu diri. Kamu kan hanya istri, kepala rumah tangga itu Rina. Ya, wajar dong rumah itu atas nama suami kamu!"decak Ibu.
Aku hanya diam, dulu rumah itu atas nama Rina. Karena memang rumah itu rumah peninggalan orang tua Rina. Tapi, setelah dia berangkat ke luar negeri, ibu mengusulkan agar balik nama menjadi namaku.
"Oh, gitu ya? KTP mu mana, Mas?"Rina menatapku tajam. Aku tahu, aku diposisi salah. Aku meraih dompet dan mengeluarkan KTP-ku.
"Eh, buat apa! sini KTP nya, Bim. Ngapain kamu kasih ke dia!" Ibu merebut KTP itu dari tanganku.
Wajah Rina memerah marah, tapi dia tak banyak bicara.
Tiba-tiba perutku terasa sangat mulas, isi didalan teras melintir hendak keluar.
"Sebentar Mas ke kamar mandi dulu."aku berlari sambil memegang bagian belakang tubuhku. Tumben-tumbenan hasrat ini tak bisa ditahan.
"Bim... kamu gapapa?"tanya Ibu, tapi kuabaikan. Lagi mules-mules begini malah nanya begitu, rutukku.
Beberapa menit kemudian aku kembali. Lega rasanya.
"Makanya jadi perempuan jangan rakus, segala sertifikat diminta!"
"Ibu mertuaku yang terhormat. Seharusnya anda malu berkata seperti itu! saya hanya meminta hak saya. Rumah itu milik saya, warisan dari orang tua. Kenapa sekarang justru balik nama menjadi milik orang lain?"
"Orang lain bagaimana, dia itu suami kamu!"pekik Ibu.
"Walau suami saat ini, suatu saat akan menjadi orang lain jika saya mau!"
Suasana makin memanas.
"Kurang aj*r kamu, ya! sok cantik, belagu banget mentang-mentang pulang dari luar negeri. Tetap saja kerja disana itu kamu, Babu!"hina Ibu. Rina hanya tersenyum tipis.
"Bu... sudah, sudah. Kenapa sih, kalian baru bertemu sudah pe...!"
Breet! Brooot!
Aduh, perutku melintir lagi. Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, perutku sudah berulah lagi. Tanpa berkata apa-apa lagi aku bergegas ke kamar mandi.
Sial*n! kenapa lagi nih perut.
Sepertinya mules di perut makin menjadi. Baru saja hendak keluar kamar mandi aku mules lagi.
"Bilang, sama anak Ibu itu. Besok saya akan kembali. Jika dia tak memberikan uang tabungan saya, silahkan gali kuburan buat kalian!"
Aku tercekat saat hendak keluar kamar mandi suara Rina terdengar lantang mengancam Ibu. Kurang aj*r sekali, berani-beraninya dia mengancam Ibu.
Aku hendak keluar tapi lagi-lagi perutku tak bersahabat.
Astagaaaa! apa ini karena makan tulang ayam tadi.
Tok tok!
"Bim... Bima!" Ibu mengetuk pintu kamar mandi.
"Apa sih, Bu. Bima lagi mules nih!"ringisku sambil memegang perutku yang makin tak menentu rasanya.
"Buruan minum, nih!"
Aku keluar setelah bersih-bersih.
"Beg* kamu! Minuman buat si o*n itu kamu minum juga! itukan sudah Ibu kasih obat pencahar yang banyak, biar kuwalat. Eh, malah kamu yang minum. Dasar bod*h! sekarang perempuan itu pergi membawa KTP kamu. Pasti dia segera ke notaris untuk balik nama lagi atas nama dia!"hardik Ibu.
Aku melongo. Gusti...! Mimpi apa aku semalam, nasib buruk ini menimpaku.
"Nih, minum!" Ibu menyodorkan segelas minuman yang dapat kupastikan itu cairan oralit.
"Lain kali itu jangan gegab*h. Jadi anak nyusahin orang tua aja kamu!"rutuk Ibu lalu melengos pergi.
Lho, kok aku yang kena omelan!
Bersambung.
Nah lho, Bima. Ini baru mukadimah mimpi burukmu. Tinggal menunggu waktu.
Siapkan mental, makanya jadi manusia jangan dzolim. Apalagi dzolim sama istri sendiri, ku-wa-lat!

หนังสือแสดงความคิดเห็น (360)

  • avatar
    Anggi Sholeh Hidayat

    aku TKW juga🤭 masih merantau demi anak3 ku. blum ada kelanjutannya thor?

    15/08/2022

      1
  • avatar
    f******7@gmail.com

    nice story, real life

    13/08/2022

      0
  • avatar
    Totok Suhermanto

    ceritany seru merakyat dan mudah di fahami 👍👍👍👍

    11/08/2022

      4
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด