logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Masa-masa Manis 2

#POV Yania
(Masih Flashback)
“Enggak, makasih, Bang” sahutku sambil mengangguk.
Pria itu bergegas pergi dan aku menemani adikku duduk. Kurangkul kembali adik lelakiku. Kasihan, dia sedih sekali.
“Nangis?” tanyaku sedikit bercanda. Rifat menggeleng, tetapi tangannya dengan cepat menyeka matanya itu. Aku tersenyum lucu.
“Ini kena air hujan tadi, kok.” Aku memeluknya erat. Dia berkilah, tak ingin terlihat cengeng di depanku rupanya.
“InsyaAllah Ibu enggak apa-apa, Dek.” Kutepuk pelan lengannya. Dia mengangguk.
Beberapa menit kemudian, Bang Indra kembali dengan tiga paper cup kopi di tangannya. Dia akan memberikan padaku dan adikku.
“Adeknya minum kopi, enggak?” tanyanya sambil mengulurkan paper cup itu pada Rifat.
“Enggak, sih, Bang, tapi perlu jugalah untuk angetin perut,” jawab Rifat sambil tertawa kecil dan meraih paper cup itu.
“Makasih, Bang.” Bang Indra mengangguk seraya tersenyum padaku.
Sebenarnya aku ingin menawarinya pulang saja, tetapi aku khawatir nanti dia mengira aku mengusir. Kasihan juga melihatnya dengan pakaian basah seperti itu. Aku dan adikku saja tak tahan dengan dingin yang berasal dari baju basah yang melekat di tubuh ini, pastilah dia juga merasakan hal yang sama.
Aku sungguh merasa bersalah padanya!
“Apa Abang enggak pulang aja?” Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya meski sedikit tak enak hati. Kukatakan itu dengan terbata-bata.
“Iya, nanti aku pulang setelah tau keadaan ibumu.” Dia sungguh perhatian sekali orangnya.
"Tapi, baju Abang basah," tunjukku.
Dia menunjuk ke arahku juga. "Kamu juga, kita sama-sama basah."
Seorang dokter dan perawat keluar dari UGD. Aku dan Rifat langsung berdiri dan mendekati keduanya. Berharap akan baik-baik saja.
“Gimana dengan Ibu saya, Dok?” Dokter itu tersenyum.
"Enggak apa-apa, udah sadar, kok. Saya permisi dulu," ucap dokter itu sambil berlalu.
Aku dan Rifat melangkah cepat sambil bergandengan tangan masuk ke ruangan itu. Kulihat wanita yang melahirkan kami beberapa tahun lalu tersenyum kecil. Aku dan Rifat langsung menghambur ke pelukan Ibu.
"Ibu!" panggil kami bersamaan seraya terisak.
"Ibu enggak apa-apa, kan? Enggak ada yang sakit, kan? Semuanya baik-baik aja, kan?" cecarku tak henti.
Wajar jika aku sangat khawatir karena Ayah kami juga meninggal karena terpeleset di kamar mandi. Jadi, aku tak mau kejadian itu terulang kembali. Ibu hanya tersenyum ketika aku mendadak jadi anak perempuan yang cerewet.
"Ibu enggak apa-apa, Yan," tukas Ibu seraya mengelus tanganku lembut.
"Kok Ibu bisa kepeleset, sih? Perasaan ... tadi pagi sebelum berangkat kerja, aku udah sikat kamar mandi, Bu," kataku penasaran.
"Ibu enggak kepeleset, kok. Tadi itu, mendadak kepala Ibu pusing, terus pandangan Ibu langsung gelap, abis itu enggak tau lagi, deh," terang ibuku seraya melipat bibir. Dia mengusap-usap kepala Rifat yang masih memeluknya.
"Semoga Ibu cuma kelelahan aja, ya, Bu," harapku begitu besar. Tak ingin ada penyakit apa pun yang menyergap tubuh Ibu. Aku masih ingin membuatnya bahagia di sepanjang hidupku ini.
"Yang bawa Ibu ke sini siapa?" tanya Ibu penasaran, "bukannya kamu kerja dan Rifat les?" tambahnya.
"Ooh, iya, Bu. Sebentar aku panggil orangnya." Aku langsung bergegas keluar.
Kulihat Bang Indra tengah duduk dengan satu kaki yang bertumpu di kaki lainnya seraya menyeruput kopinya tadi.
Kalau dilihat-lihat, sih ... Astaghfirullah! Apa yang kupikirkan? Ya Allah, ampuni aku yang sempat zina hati. Kuampiri Bang Indra dengan degup jantung yang berdetak kencang. Baru bertemu sehari aku sudah dilanda perasaan tak karuan seperti ini. Aku yakin ini cuma tipu daya setan. Sadar, Yan! Sadar!
"Anu, eng, Bang, ibuku mau ketemu katanya," kataku gugup. Tatapan matanya benar-benar hangat. Dia bangkit dan membuang paper cup itu ke tempat sampah.
Aku masuk lebih dahulu.
"Assalamu'alaikum!" ucap Bang Indra seraya mengangguk ke arah ibuku.
"Wa'alaikumsalam!" jawab ibuku dan Rifat bersamaan.
"Abang ini yang bantuin bawa Ibu ke sini," kata Rifat seraya bergeser dari sana dan berdiri di sampingku. Ibuku tersenyum.
"Terima kasih banyak, Nak," ucap Ibu sambil melirik ke arahku seolah ingin tahu nama pria itu.
"Indra, Bu," timpal Bang Indra. Ternyata dia membaca ekspresi ibuku. Ibuku mengangguk lagi.
"Terima kasih banyak udah bantui Ibu. Itu ... basah kuyup bajunya, ya?" tanya Ibu khawatir. Padahal aku dan Rifat juga basah, tetapi kenapa Bang Indra saja yang dikhawatirin? Huh!
"Iya, Bu. Ibu enggak apa-apa?" tanya Bang Indra sambil sedikit tersenyum. Dia memang baik sekali, harusnya setelah dokter tadi bilang kalau ibuku baik-baik saja, dia bisa langsung pulang, kan.
"Alhamdulillah, Ibu enggak apa-apa." Ibuku tersenyum manis. Bang Indra mengangguk.
Setelah terlibat percakapan panjang dengan Ibu, akhirnya Bang Indra pun pamit pulang. Baju satu kering di badan judulnya. Sudah enam kali Bang Indra pamit pulang dan ibuku mengiakan, tetapi tetap saja mereka terus asyik bercerita dan tertawa.
Ibuku memang cepat sekali akrab dengan orang, bahkan orang yang baru sekali kenal pun jadi sering mengunjungi rumah karena ingin sekadar berbagi tawa.
***
Aku mengantarkan Bang Indra sampai ke depan rumah sakit. Tadinya dia menolak dan memintaku untuk tetap bersama Ibu saja, tetapi aku yang tak enak hati karena dia sudah sangat baik padaku dan ibuku.
Aku juga tak lupa mengucapkan terima kasih, entah sudah yang ke berapa kali kukatakan padanya.
Hujan sudah mulai reda, hanya tinggal titik-titik air yang sangat kecil saja yang menjuntai dari langit. Syukurlah, aku jadi bisa pulang untuk mengambil keperluan selama di rumah sakit. Namun, anginnya bertiup kencang, rasa dingin mendekapku erat.
Setelah melihat mobilnya meninggalkan rumah sakit, aku pun kembali ke ruangan UGD. Begitu sampai di sana, kulihat Ibu sudah duduk dan kakinya menjulur ke lantai seraya bercakap-cakap dengan perawat. Selang infus juga sudah tak melekat lagi di punggung jempolnya. Ibu sudah bangkit dan menggandeng Rifat.
"Loh, mau ke mana ini?" tanyaku bingung. "Mau pindah kamar, ya?" lanjutku.
"Iya, pindah kamar ke rumah kita, Yan," canda Ibu.
"Pulang, Kak. Ibu enggak perlu di rawat, kok." Rifat menimpali. Aku menghela napas lega, itu artinya ibuku memang baik-baik saja.
"Astaghfirullah!" ucapku sambil menepuk dahi. Aku baru teringat sesuatu hal.
"Kenapa, Kak?" tanya Rifat.
"Tas, dompet, hape, dan semuanya ada di bagasi motor. Motor Kakak 'kan, lagi di bengkel. Gimana mau selesain administrasinya?" Aku kebingungan juga. Bisa-bisanya tadi aku lupa mengeluarkan tas dari sana.
"Ya udah, kamu balik dulu aja ke rumah, Yan. Ambil uang simpenan Ibu di lemari!" titah Ibu.
"Iya, deh, Bu. Nanti aku ganti, ya, Bu?" Ibu mengangguk.
Kutinggalkan Ibu dan Rifat. Sebentar aku mampir ke bagian administrasi untuk menanyakan total tagihan kesehatan ibuku. Aku menunggu sedikit lama.
"Atas nama Ibu Rustina, ya?" tanya perempuan yang usianya hampir sama sepertiku, kalau dilihat dari wajahnya, sih.
"Iya," jawabku singkat.
"Udah dibayar, Bu." Aku terperangah mendengarnya.
"Sama siapa, Sus?"
"Bapak Indrawan," katanya lagi sambil tersenyum.
Apa? Dia juga melunasi tagihannya? Bagaimana bisa dia melakukan ini? Untuk apa?
"Apa ada nomor hapenya, Sus?" tanyaku.
Aku tak mau terlalu banyak berhutang budi dan merepotkannya. Dia sudah terlalu baik di pertemuan pertama kami. Suster itu memberiku secarik kertas berisi nomor handphone Bang Indra.
Aku segera menyusul Ibu dan Rifat. Kuceritakan semuanya pada Ibu. Ibu terus berdecak kagum dengan kebaikan Bang Indra. Baru ini kutemui lelaki yang begitu baik. Aku jadi teringat lelaki yang pernah melamarku dan kelakuannya jauh berbeda dengan Bang Indra.
Teringat waktu itu seorang tetangga jauh membawa saudaranya yang memang sudah ingin menikah dan mendatangiku. Saudara dari pria itu ingin aku menjalin hubungan lebih dulu agar saling mengenal.
Karena aku tak ingin pacaran, maka kusarankan teranggaku itu untuk langsung melamar saja, masalah mengenal lebih jauh bisa setelah menikah. Yang terpenting setiap keluarga sudah mengetahui diri kami masing-masing.
Namanya, Dian. Pria berusia 27 tahun. Saat itu usiaku masih 22 tahun. Usai lamaran, kami memutuskan menikah di bulan depan. Entah apa sebabnya, tiba-tiba dia membatalkan semuanya.
Dia dan keluarganya datang mengambil kembali uang yang sebagian sudah terpakai untuk menyewa jasa rias dan tenda. Tak lupa juga dia menuduhku berselingkuh. Aku tak bisa menerima fitnah itu sampai detik ini. Karena sebagian uang pemberiannya sudah terpakai, maka dia meminta ganti rugi.
Terpaksa kami menjual motor peninggalan Ayah untuk menutupi kekurangan yang ditagih oleh Dian dan keluarganya. Sejak saat itu, aku jera memakai uang orang lain dan takut sekali berhutang budi.
Makanya, aku ingin segera menemui Bang Indra untuk mengembalikan uangnya yang sudah dia pakai untuk membayar biaya rumah sakit ibuku. Aku meminta Ibu dan Rifat menunggu karena aku akan mencari angkot atau taksi di luar sana.
Aku melirik arlojiku, waktu sudah menunjukkan jam delapan malam. Kuingatkan ibuku untuk tak berdagang dulu beberapa hari ke depan sampai kesehatannya benar-benar pulih. Kami tiba di rumah.
Kusiapkan makan malam terlebih dahulu. Aku pun sampai tak teringat untuk mengganti bajuku karena terlalu lapar, lagi pula sudah kering. Ibu dan Rifat sudah duduk manis di lantai yang beralaskan tikar anyaman dari pandan.
"Makan yang banyak, Bu! Abis itu minum obatnya dan tidur, ya!" Ibu mengangguk. Rifat sudah mengganti pakaiannya. Kasihan adikku! Dia harus ikut hujan-hujanan tadi.
***
Udara malam di Cikarang terasa sangat dingin. Ini tak seperti biasanya, mungkin karena di luar masih tersisa hujan yang sangat kecil. Aku menarik selimut bermotif kelinci dan berwarna biru sampai menutupi dadaku.
Mataku menerawang ke langit-langit kamar. Pikiranku melayang jauh ke sosok Bang Indra. Hari ini dia terlalu banyak menyentuh tuts-tuts piano dalam hatiku, sehingga irama syahdu pada awal perkenalan ini sudah membawaku ke laut kasmaran. Sungguh, entah karena apa aku bisa seperti ini?
Aku menyembunyikan wajahku di balik bantal. Kuharap ini hanya perasaan yang sekilas saja, bukan perasaan yang akan betah di dalam dadaku lalu bercabang menjadi harapan-harapan yang lain. Belum pernah aku merasakan degup jantung yang seperti ini. Ah, lebih baik aku tidur saja, semoga besok pagi aku sudah melupakan ini.
***
Suara kokok ayam tak terdengar sebagai penanda pagi yang telah datang menyapa, tetapi sudah diganti oleh suara toak Akang pedagang roti yang biasa mangkal di depan rumah.
Pagi ini, aku tak sempat memasak untuk sarapan Ibu dan Rifat, aku membelikan beberapa roti dan nasi uduk di seberang rumah untuk sarapan kami. Biasanya Ibu yang selalu menyediakan makan pagi, tetapi kali ini aku ingin dia beristirahat.
"Bu, sarapan dulu, terus minum vitaminnya! Nanti siang aku pesankan makan siangnya dan langsung dikirimkan ke rumah sama pelayannya. Pokoknya Ibu jangan nyentuh kerjaan apapun di rumah ini. Semuanya udah aku beresin, cuma masak doang yang enggak sempet," kataku memperingati Ibu.
"Iya. Kamu naik apa ke pabrik?" tanya Ibu sambil membuka kertas nasi uduknya.
"Naik ojek aja, Bu," jawabku.
Setelah selesai menyantap sarapan pagi, aku langsung berpamitan pada Ibu. Tak lupa aku mengingatkan Ibu kembali untuk istirahat saja. Rifat sudah pergi lebih dulu dengan mengendarai sepedanya.
***
Terpaan angin pagi menyentuh wajahku, rasanya dingin sekali. Sisa-sisa udara bekas hujan semalam masih melekat sampai detik ini. Rasa sejuk juga menyentuh rongga-rongga penghiduku saat aku menghirup oksigen.
Aku melewati tempat kemarin aku terjatuh dan bertemu dengan Bang Indra. Aku melihat mobil seperti milik Bang Indra di depan bengkel kemarin. Aku meminta Abang ojeknya berhenti, syukurlah bengkelnya juga sudah buka.
(Flashback Off)
Suara tangisan Satria membuyarkan lamunanku.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (264)

  • avatar
    PlayerRugbyy

    penceritaan yang sangat menarik

    2h

      0
  • avatar
    Abdul Rizal

    lanjut dong ceritanya

    4d

      0
  • avatar
    Bayu Erlangga

    mantapp

    15d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด