logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Hello, Juwi!

Hello, Juwi!

Vinnara


Peternakan Sapi

Seluruh sapi yang menghuni peternakan keluarga Maharaja berteriak riuh. Pasalnya, salah satu dari teman mereka terlepas dari kandangnya, lalu berlarian ke segala penjuru, menghindar agar tidak tertangkap dan diikat lagi. Sapi-sapi itu berisik dan bersorak, berteriak menyemangati teman senasibnya agar berlari lebih kencang lagi. Enam orang pengurus kandang di sana sudah terengah-engah, lari pontang-panting mengelilingi kandang, mengatur strategi demi menangkap seekor sapi yang lepas saat ini.
Mereka mengacungkan celurit hingga perkakas apa saja dan berharap sapi itu segera menyerahkan diri. Namun nihil, si sapi lepas tadi justru semakin liar, sorak sorai semangat dari para sahabatnya membuat dia terus berlari ke sana kemari, kabur dari para pengejar, menghindar.
“Bule!” teriak salah satu dari pemburu itu. “Pokoknya kalau ketangkep aku bawa pulang! Dia pasti nggak kerasan tinggal di sini.”
“Gimana baiknya aja, A. Kalau udah ketangkep mah boleh diapa-apain, terserah! Mau dipanggang juga nggak papa.”
“Eh, ya jangan!”
Arvin menyeringai dengan posisi tubuh membungkuk, siap siaga bersama lima Mamang pemburu lain demi menangkap sapi yang dipanggil Bule tadi. Si Bule adalah sapi favoritnya di peternakan ini, Bule punya kulit yang putih, mulus, glowing, dengan hidung dan mata berwarna pink, dia lebih mirip babi ketimbang sapi. Dan Arvin sangat menyukainya.
“Coba si Bule bisa dikecilin lewat rekayasa genetika ya, Bu. Biar jadi segede kucing, aku mau bawa dia ke rumah terus bikin kandang di kamar, aku ajak tidur bareng sekalian.”
Wan Fenty bergidik mengingat ide gila yang pernah dikatakan oleh putra sematawayangnya, untung saja rekayasa genetika itu tidak ada. Jadi sapi tetap seukuran sapi, bukan sebesar kucing seperti idaman anaknya.
“Pokoknya kalau ketangkep aku bawa pulang!” teriak Arvin sekali lagi, sangat bersemangat, dia berlarian ke sana kemari, lincah sekali seperti kancil.
“Iya, terus disimpan di mana?” keluh ibunya pelan. “Ada-ada aja memang tingkah budak sebijik itu, mau pelihara sapi di Jakarta, ke mana cari rumputnya?” Fenty bersungut-sungut.
“Nggak apalah, Makcik. Arvin kesepian itu, kalau Bule dibawa ke sana kan lumayan ada temannya, ada kegiatan.” Atalia tersenyum maklum. “Dede, bantu Bang Arvin kejar sapinya gih.”
“Dede aja yang makcik bawa, ya? Biar Arvin ada temannya.”
Pemuda yang dipanggil Dede itu menyengir kecil, menyimpan ponselnya asal-asalan lalu berlari menuju arah para pejuang sambil berteriak seperti sparta. Sebagai anak pemilik peternakan, dia jelas lihai menangani kasus seperti ini, hanya terlalu malas saja untuk turun tangan.
“Dia pintar menolak secara halus,” kata Fenty saat Dede—nama aslinya Juan, pergi meninggalkan pondokan mereka. “Padahal tadi saya setengah serius lho, Teh Lia.”
Atalia tertawa, anak bujangnya adalah si bungsu di keluarga mereka. Bagaimana bisa diajak pergi dan jauh dari orangtuanya kendati dia sudah SMA? Juan tidak masalah untuk bersekolah di tempat yang lebih sederhana, tidak punya kendaraan mewah seperti teman-temannya.
“Wah, ketangkep tuh sapinya, Makcik.”
“Oi... entahlah, Arvin! Anak bujangku, coba kita diskusi dulu. Nanti itu nanti, jangan sekarang kau minta bawa pulang sapinya! Mana bisa kayak gitu! Telepon dulu ayahmu!”
Wanita asal tanah Melayu yang lama merantau di Jakarta itu masih memiliki suara dan sentuhan dari tempat dia berasal. Atalia tersenyum sambil menatap punggung sahabatnya yang menjauh dari pondokan, sementara di sebelah kirinya seorang gadis muda tengah menatap ke hamparan peternakan mereka lekat-lekat.
“Yang ditatap bisa kebakar kalau kamu ngeliatnya berapi-api gitu, Neng.”
Juwi melirik asal suara, ibunya yang tenang dan santuy menyengir senang. Keramaian selalu terjadi jika keluarga Wijaya datang berkunjung ke tempat mereka. Termasuk saat seekor sapi lepas, bahkan hanya satu ekor, tidak banyak, tapi orang-orang di tempatnya memang selalu bereaksi berlebihan jika ada pemuda manja itu di sana. Seolah kehadirannya seperti pangeran kecil yang menggemaskan, tidak tahu saja sebenarnya dia adalah manusia tanpa kepribadian. Angin-anginan.
“Tante, memangnya bener ya? Ibu bilang, Tante Lia nggak kasih kalau aku bawa Bule pergi dari sini.” Arvin menghampiri pondokan dan meneguk air kelapa muda yang tersedia di sana. Wajahnya berpeluh, anak-anak rambutnya sedikit basah.
“Hm?” Atalia mengulum senyum saat bertatap dengan Fenty yang menyusul di belakang sang putra dan tengah memberi kode dengan kedipan mata. “Iya, Bule di sini aja. Lembang mah adem, Abang. Jakarta kan panas, kasihan Bule.”
“Aku kasih AC, tenang aja.”
“Bule kan sukanya AG, bukan AC.” Juan ikut muncul setelah kegiatan mengejar sapi itu selesai.
“AG apaan?” tanya Arvin heran.
“AG itu berasal dari alam, Bang. Angin gelebug,” ujarnya asal yang membuat ibu-ibu di sana tertawa.
“Jadi beneran nggak boleh?” Arvin mengonfirmasinya sekali lagi, lalu terhenyak dengan tatapan kecewa yang tidak repot dia sembunyikan, respons Atalia tidak memberi harapan.
“Kalau Bule di sini, Bang Pipin kan bisa datang sering-sering. Tante, Om, Juan sama Juwi seneng kalau Abang sering main.”
Arvin mendadak bisu, dia mengeraskan ekspresinya untuk tidak menyengir malu atau bersemu. Itu menggelikan. Usianya hampir 20 dan tidak boleh gampang merona seperti sahabatnya, Arvin harus belajar dari pengalaman. Dia mengatupkan rahang dan berdeham untuk menahan anomali di jantungnya yang menyalahi aturan.
Juwi berdiri di sana, tanpa suara, seperti biasanya. Dia memang pintar menganggap keberadaan seseorang seperti sudah mati atau bahkan tidak pernah ada di sekitarnya. Gadis sombong itu, Arvin jengkel sekali padanya sekarang, tapi memandanginya diam-diam. Juwi yang cantik, dengan rambut dikuncir tinggi dan menampilkan leher putihnya yang jenjang, wajah bulatnya yang mungil, ekspresi datarnya yang kentara. Ah, Arvin bisa gila kalau meneruskan kegiatan itu dan tidak segera menghentikannya.
Gadis itu bahkan tidak tertarik pada kegiatan mengejar sapi barusan, gadis yang berminggu-minggu lalu Arvin kirimi pesan setelah susah payah melawan ketakutan dan jari-jarinya yang gemetaran, gadis yang juga tidak membalas pesan itu sampai sekarang. Gadis yang bukan lagi membuat Arvin penasaran, karena dia mulai sangat menjengkelkan.
**
Dulunya, Maharaja memiliki beberapa pabrik tekstil yang beroperasi di daerah Jawa Barat. Mereka menerima pesanan beberapa merek ternama untuk produksi pakaian dalam jumlah besar, permintaan ekspor ke luar negeri, dan masih banyak lagi. Pabrik yang sudah berdiri 3 generasi itu harus gulung tikar akibat bobroknya manajemen dan perebutan hak waris dari banyaknya keturunan sang pendiri pertama.
Kini Maharaja hanya tinggal nama. Usai dinyatakan pailit dan harus menjual seluruh asetnya untuk membayar tunjangan karyawan serta membagi puing-puing terakhir untuk para keturunan yang tersisa. Jiwan Maharaja yang awalnya menduduki posisi sebagai direktur keuangan Maharaja Tekstil telah pensiun dari tugas terakhir yang dia emban untuk keluarganya, lalu menepi—mengasingkan diri, dengan membeli aset berupa tanah seluas 4 hektare yang sekarang dijadikan sebagai peternakan sapi sekaligus kebun dan rumah tinggalnya.
Jiwan dan Atalia yang tadinya bermukim di Jakarta dan menjalankan bisnis keluarga dengan kantor megah di kawasan SCBD pulang ke kampung halaman mereka di tanah Sunda, hidup sederhana dengan uang yang tersisa serta bunga deposito yang dibagikan tiap tahunnya. Masih ada dua anak yang harus disekolahkan, untung saja Atalia sudah menyiapkan dan memisahkan tabungan khusus pendidikan untuk anak-anak mereka sehingga keduanya tetap bisa sekolah tanpa kendala apa-apa.
Hanya harus hidup lebih sederhana. Tidak punya sopir pribadi yang mengantar ke mana-mana, berdamai dengan kenyataan bahwa hidup satu lingkungan dengan puluhan ekor sapi bukan lagi sebuah keterpaksaan. Itulah hidup mereka sekarang, Juwan, Atalia dan kedua anak mereka harus menerima kenyataan.
“Papah mau menghabiskan hari tua dengan beternak, berkebun, impian si Abah sejak dulu.”
Alasan klise itu yang awalnya membawa keluarga mereka memilih Lembang dan membangun peternakan di sana. Kini, Juwi dan Juan tidak lagi melanjutkan pendidikan di Jakarta, keduanya pindah ke Bandung saat tahun ajaran baru dimulai. Juan di SMA kelas 2 dan Juwi masuk kuliah di universitas swasta jurusan farmasi.
Jangan tanya bagaimana akhirnya seorang Raratya Juwi Carissa Maharaja yang dulunya seorang siswi SMA jurusan IPS kini terdampar di fakultas farmasi. Itu semua diraihnya dengan perjuangan yang tidak mudah, Juwi harus menghabiskan waktu seusai UN menjelang ujian masuk universitas dengan belajar IPA mati-matian. Farmasi erat kaitannya dengan Kimia dan Biologi yang tidak pernah Juwi pelajari semasa SMA karena dia berada di jurusan yang berbeda.
Dan jangan pikir Juwi tidak punya alasan kenapa melakukannya. Tentu saja dia punya, hanya tidak akan membeberkan alasan itu sekarang. Kalian cukup tahu saja.
“Karena kita masih Maharaja, ada hal yang harus diselamatkan oleh kalian berdua.” Begitu kata Juwan pada dua anaknya. “Meskipun keluarga kita sekarang terpecah belah sejak kebangkrutan pabriknya mendiang Abah, tapi masa depan kalian sebagai keturunan harus tetap diselamatkan.”
Pendidikan memang penting, itu bahkan bisa mengubah masa depan seseorang. Namun memiliki pasangan dan keluarga yang kelak akan jadi besan dan penopang tak kalah pentingnya. Juwan percaya, meski mereka hanya mantan orang kaya, masih banyak keluarga ningrat di tanah Jawa yang bersedia meminang anaknya. Terutama Juwi, anak pertama, tumpuan keluarga, Juwi harus membawa kembali keluarga mereka ke masa jaya dengan menemukan suami dan keluarga yang tepat untuknya.
“Sepanjang tahun 2019 ada tiga lamaran yang menunggu dan tujuh yang kita tolak.” Atalia membeberkan informasi yang selama ini disimpannya rapat-rapat.
Tawaran untuk berbesan sudah datang sejak bertahun-tahun yang lalu, selain karena Maharaja, anak mereka adalah gadis tercantik dari seluruh anak bangsawan Sunda yang hidup di era ini. Juwi mengadopsi kecantikan seorang dewi, keanggunan seorang putri raja dan keangkuhan yang membuat pria manapun penasaran.
Dia adalah jenis perempuan paling diinginkan meski tidak menempati posisi menantu idaman. Selain kecantikan, Juwi punya panas tubuh yang baik berdasar tanggal dan hari lahirnya. Perempuan yang akan mendampingi seorang raja.
“Kenapa yang 7 ditolak, Mah?” tanya Jiwan pada sang istri. Menolak lamaran laki-laki sebanyak tujuh kali, bukankah pamali?
“Usianya jauh di atas Juwi, Pah. Kasihan kalau sama yang terlalu dewasa.”
“Padahal mah nggak papa, Mah. Biar dia tahu rasanya jadi Sugar Baby.” Juan terkikik saat kakaknya mendelik dengan ekspresi ingin mencekik.
“Terus yang 3 ini gimana? Siapa aja?”
Juwi berdebar menunggu kabar yang akan disampaikan ibunya. Siapa 3 orang pelamar rahasia ini? Apakah Juwi mengenal mereka? Pernah bertemu sebelumnya? Di acara keluarga minimal.
“Prihadi dari Mulyosari Group, Davin Anggara anak teman Mamah yang punya rumah sakit Angkara, dan Arkan dari perusahaan tambang Kuala Gasip.”
Ajaibnya, Juwi mengenal mereka semua. Diam-diam dia mengulum senyum, lega karena setidaknya 3 kandidat yang akan jadi calon suaminya sudah pernah dia temui. Mereka berada satu lingkungan dengan Maharaja, sering berinteraksi, berkumpul untuk pesta keluarga atau sekadar arisan perusahaan. Juwi mengenal ketiganya sejak kecil, dan... satu di antara 3 nama itu membuatnya sangat tertarik.
“Dari yang 3 ini, cuma Davin orang Sunda asli ya, Mah?” tanya Jiwan pada sang istri. Sebab 2 yang lain berasal dari suku yang berbeda, mereka hanya kebetulan bertemu di sini.
Prihadi adalah putra dari pengusaha Taipan Jawa bermata sipit dan lebih sering dipanggil Koko daripada Mas Pri. Sementara Arkan adalah putra dari pemilik tambang asal Jambi, hanya Davin orang Sunda di sini.
“Tapi Prihadi Mulyo ini yang paling kaya.” Juan si bocah SMA mengemukakan pendapatnya usai mencari informasi di internet. “Kalau mau ngejual anak sekalian aja, Mah, Pah. Jangan nanggung-nanggung.”
“Ih, ini anak dari tadi berisik aja!”
“Betul sih, Prihadi memang yang asetnya paling banyak.”
“Neng sreg sama yang mana?” Atalia beralih pada putrinya, tidak menanggapi sang suami yang setuju pada dugaan putra mereka.
Juwi tertegun untuk sesaat, memilih masa depannya semudah memilih pakaian dalam lemari. Lucu sekali. Namun dia bisa apa? Sejak kecil Juwi sudah didoktrin dengan berbagai aturan dan ketetapan. Bahwa, beruntung sekali dirinya lahir di tengah Maharaja yang mulia, hidup dengan baik, dihormati, dan tidak semua orang berada di posisinya. Juwi harus menanggung konsekuensi atau membayar yang sudah dilakukan keluarga ini.
Seolah dia adalah anak pungut.
“Aku gimana Mamah sama Papah aja,” ujarnya lemah. Juwi pasrah, 3 orang itu tidak buruk, tapi tidak bisa memilih satu yang terbaik dari mereka juga.
“Nggak mau coba dulu buat penjajakan? Pilih yang paling Neng suka,” bujuk Atalia. “A Davin paling ganteng di antara yang lainnya, kan?” Wanita itu berusaha menggoda putrinya.
“Gantengan Bang Arvin kali, Mah.” Juan menyeletuk. “Iya, kan?”
“Beuh, atuh udah jelas si Pipin mah. Tapi kan Makcik nggak masukin lamaran buat kita, jadi ya... bisa apa?”
Juwi langsung memerah. Itu kemungkinan paling tidak mungkin meski terlihat paling mungkin sebab keluarganya dengan Wijaya sudah sangat dekat beberapa tahun ini. Bahkan mereka memang mengira bahwa keduanya akan menjadi besan, tapi siapa sangka jika ternyata dua orang yang paling pantas dijodohkan itu sama sekali tidak pernah bersinggungan?
Baik Juwi maupun Arvin memutuskan untuk tidak berhubungan. Awalnya karena malu, tapi lama kelamaan menjadi candu. Juwi jengkel pada sikap Arvin yang bisa ramah pada siapa saja selain kepadanya. Mereka bahkan satu sekolah, tapi Arvin sangat mahir berpura-pura tidak mengenalnya.
“Mungkin Makcik mah nggak suka pake jodoh-jodohan kali, ya. Papah juga sreg sama Pipin, anaknya baik, sopan.”
Ya, sopan pada kalian. Juwi membatin. Kenapa tidak mereka saja yang menikah dengan Arvin, kan?
“Jadi... gimana, Neng? Mau sama yang mana? Apa mau dicoba dulu satu-satu?”
“Iya.” Juwi mengangguk patuh. “Aku mau coba sama A Davin dulu.”
“Duh, bangganya si Neng cantik milih yang sekampung dan paling muda.” Atalia tersenyum senang, siap menghubungi orangtua Davin untuk proses penjajakan anak-anak mereka. “A Davin ternyata calon dokter, ya. Wah... Mamah kira dia mau masuk sekolah bisnis buat ngelola rumah sakit, bukan jadi dokternya. Duh, idaman pisan atuh ini mah.”
Juwi tersenyum diam-diam. Jodoh... katanya rahasia, kan?
Namun jodoh juga tetap harus diusahakan. Dan sebab Juwi tahu kemampuannya tidak mumpuni untuk kuliah di kedokteran, maka farmasi adalah jalan keluar. Bukankah seorang dokter dan ahli farmasi akan jadi pasangan yang serasi?
Hanya saja, dia tetap harus menjaga diri. Masih ada dua orang yang menanti jawabannya kini, jangan terburu-buru membuat mereka patah hati.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (8)

  • avatar
    Devita Aulia

    Bagus banget

    01/07

      0
  • avatar
    Adinda Ramadani

    sangt bgs

    13/05

      0
  • avatar
    Nur Afiqoh 10Fauzah

    menyenangkan

    08/03

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด