logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6. Bukan Playboy

Sehabis menunaikan sholat maghrib Rian bersiap siap untuk pergi ke mini market. Rian bekerja part time disana untuk menambah biaya kuliahnya. Ia bekerja dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Dan Rian dapat pada hari sabtu dan minggu ia libur bekerja.
"Ini bolu pandan dimeja aku makan ya," kata Rian sedikit berteriak ketika melihat sepiring bolu dimeja makan.
"Jangan dihabiskan! kak Ririy tadi membuatkannya untukku tau!" jawab Tiara dari balik kamarnya. "Tenang, aku sisakan kok," kata Rian lalu duduk sebentar di meja makan, setelah itu ia berpamitan pada ibunya untuk bekerja partime di sebuah mini market didekat rumahnya.
Tiara keluar dari kamarnya setelah mengerjakan PR dan menuju meja makan ingin memakan kue bolu buatan Ririy. Namun amarahnya tiba tiba meledak saat tahu kue bolu yang dibuatkan Ririy khusus untuknya itu tinggal sepotong saja.
"Kak Rian!!!" serunya kesal. "Awas saja nanti kalau sudah pulang," tambahnya. Rasanya ingin sekali ia memukul bahu kakaknya keras, namun sayang sekali, Rian sudah berangkat ketempat kerjanya.
"Ada apa sih Tiara? kok ribut ribut sendiri," bu Linda menghampiri Tiara yang sedang kesal itu.
Tiara memayunkan bibirnya, "Kak Rian makan semua boluku, hanya disisakan satu padahal aku belum makan sama sekali," katanya memelas. Bu Linda tertawa kecil.
"Kakakmu ya benar benar. Eh diruang tamu ada bolu ibu yang dibuatin kak Ririy tuh masih banyak, makan saja," kata bu Linda. Tiara tersenyum senang lalu berlari menuju ruang tamu untuk mengambil bolu pandan buatan Ririy. "Ah memang ya bolu buatan kak Ririy yang terbaik!" katanya.
"Tiara, kalau sudah selesai piringnya kembalikan pada kak Ririy ya," kata bu Linda sedikit berteriak. "Iya ma," jawab Tiara lalu melanjutkan makannya.
Tiara memindahkan beberapa potong kue yang tersisa ke piring lain dan bergegas menuju rumah Ririy. Ia sangat suka sekali mengobrol dan bercanda ria dengan Ririy yang mengasyikkan.
"Kak Riy, makasih ya ini bolunya enaaak sekaliii, nomor satu deh," kata Tiara. Ririy tertawa kecil. "Lebay ah," katanya.
"Oh iya kak, kakak lagi sibuk tidak?" tanya Tiara
"Oh tidak kok, cuma ada tugas kuliah saja, ada yang bisa kakak bantu?" Tiara terdiam sejenak, sepertinya ia harus kembali pulang agar tidak mengganggu Ririy mengerjakan tugas kuliahnya.
"Tidak ada kak, tadinya sih aku ingin mengobrol bersama kak Ririy seperti biasa, tapi jangan deh karna kakak ada tugas kuliah." tolak Tiara.
"Eh nggak apa apa, bagaimana kalau kamu temanin kak Ririy mengerjakan tugas yah, kakak akan menggambar sambil mengobrol biar kakak semangat, ok?" mata Tiara berbinar, tentu saja ia senang sekali dengan ajakan Ririy. "Ok kak," seru Tiara bersemangat.
Ririy mulai menggambar tokoh utama di laptop lamanya. Ririy tak memiliki ipad jadi kemungkinan akan memakan waktu yang agak lama dibanding jika ia menggambar di ipad.
"Jadi kamu ingin masuk farma setelah lulus nanti?" tanya Ririy ketika Tiara menyelesaikan ceritanya.
"Iya kak, doakan aku ya," jawab Tiara.
"Kamu hebat sekali ra, kalau aku masuk sana mungkin otakku sudah meledak," kata Ririy sembari mengeblat gambarannya di laptopnya.
"Kakak juga hebat, seni dan menggambar itu bakat yang luar biasa loh, butuh ketelatenan juga, aku saja sudah menyerah jika harus disuruh menggambar gunung yang indah," kata Tiara lalu memakan camilan disampingnya yang sudah dipersilahkan oleh Ririy. Ia duduk diatas ranjang Ririy sembari memperhatikan Ririy yang sedang mengerjakan tugas kuliah di meja belajarnya.
Ririy menoleh kearah Tiara sejenak. "Oh ya? menurutmu begitu?" katanya lalu memperhatikan gambarannya lagi. Saat ini ia harus menggambar lagi.
"Sepertinya gambaran itu sedikit melenceng dari yang tadi?" kata Tiara yang sedari tadi juga memperhatikan Ririy menggambar. Ririy melihat gambarannya dengan seksama. "Iya, kamu benar ra," katanya lalu memperbaiki gambarannya.
Ririy menyelesaikan gambaran barunya. Lalu menyamakan dengan gambaran awalnya. "Aduh sepertinya ini juga masih belum sama ya?" Ririy meminta pendapat dari Tiara.
ngiiiiiing
Tiba tiba Ririy merasa seolah ada lebah yang menyengat otaknya. Kepalanya terasa sakit dan ngilu.
"Kakak?"
Ririy memegangi kepalanya, ingin sekali ia memasukkan tangannya kedalam isi kepala. Seolah lebah itu terasa semakin banyak berputar putar dikepalanya dan menyengat lagi membuat Ririy jatuh terjungkal dari kursinya. Ririy mengeram, ia benar benar keskaitan.
"Kak Ririy!!!" seru Tiara. Penglihatan Ririy kabur dan ia merasa kesulitan untuk bernafas.
"Om! Tante tolong!!!" Tiara berteriak cukup keras. Tangisnya meledak seketika saat melihat Ririy mulai kejang didepannya.
Ibu dan ayah Ririy berlari kekamarnya, segera mereka berusaha menenangkan Ririy. Ayah Ririy mengambil bantal dan dipakaikan untuk Ririy lalu memiringkan tubuh Ririy. Ibu Ririy melonggarkan pakainnya dan membuka rahang mulut Ririy agar tak tersedak salivanya. Sang ibu memegang tangan Ririy dan mengelus kepalanya.
"Ririy tenang, tenang, Allah ada Ririy, ingat Allah ya nak, ada Allah yang selalu bersama kita, kamu kuat nak," kata ibu Ririy berusaha terus berinteraksi dengan putrinya. Air mata menetes membasahi pipnya. Hatinya sangat hancur melihat sang putri kejang didepan matanya berulang kali.
Samar-samar Ririy dapat mendengar ayah dan ibunya mengatakan sesuatu padanya meski ia tak bisa melihat keberadaan mereka saat ini. Namun tiba tiba suara itu menghilang yang ada hanya rasa sakit dan suara keras dentuman dari otaknya ke telinga seolah akan menghancurkan seluruh isi kepalanya. Rasanya sungguh sakit dan takut. Ririy berteriak keras tak sanggup menahankan rasa sakitnya juga ia sudah kehilangan kontrol atas dirinya.
Aku siapa?? aku dimana?? mengapa aku disini sendirian?? mengapa kepalaku rasanya  sangat sakit?? tunggu tunggu, tapi untuk apa aku disini??  siapakah aku?? dimana aku?? sebenarnya aku ini siapa?? dan rasa sakit apa ini?, aku sungguh tak tahan! tolong aku!! tolong!!! siapapun yang mendengarkanku, tolong selamatkan aku!!!
Kejang Ririy semakin parah dan halusinasinya muncul dan ia mulai merasa berada diruangan lain dan berteriak. Bahkan ayah Ririy yang disampingnya meneteskan buliran air matanya ketika melihat Ririy tak kunjung sadar. Hentakan kakinya semakin cepat dan mulai berguling guling. Tiara hanya bisa memandangi Ririy jauh sambil menangis terisak isak. Ia sangat menyayangi Ririy seperti kakak kandungnya sendiri. Ia begitu amat sedih dan tak berdaya melihatnya.
"Ya Rabb tolong anak kami, hanya kepada Engkaulah kami meminta ya Allah," isak tangis terdengar dari ibu Ririy,  ia terus berdoa disela sela usahanya yang ingin menyadarkan sang putri.
"Ririy kamu kuat, kamu kuat, Allah bersamamu," kata sang ibu lagi. Tiba tiba Ririy mendengar lagi suara ibunya, bergema begitu indah ditelinganya. Ririy mulai mengingat siapa dirinya, mengapa dirinya ada. Rasa sakit dikepalanya mereda perlahan lahan.
aku harus kuat, aku pasti kuat, ini akan berkahir, in syaa Allah.
Ririy memejamkan matanya, ia merasa sangat lelah dan ingin tidur sejenak. Ibu dan Ayahnya memejamkan mata rapat rapat lalu diiringi hembusan nafas legah. Mereka merasa bersyukur Ririy bisa istarahat dan tertidur pulas. Ibu Ririy menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan ringan lalu ia menatap kearah Tiara yang sedang meringkuk diambang pintu dengan sisa sisa air mata dan keringatnya yang juga bercucuran. Ibu Ririy tersenyum tipis penuh kasih sayang ketika memandangnya.
"Tiara, kamu pulang dulu gih, kasihan kamu sudah lama menunggu disini, besok kan kamu harus sekolah. Tiara terimakasih banyak ya nak sudah menemani kak Ririy, maaf ya sudah merepotkan kamu," katanya lembut. Tiara menyeka air matanya dan membalas senyuman ibu Ririy. "Apanya yang merepotkan tante?, kalau begitu saya pulang dulu." Tiara berpamitan lalu beranjak pulang.
Lima belas menit berlalu dan akhirnya Ririy membuka matanya. Masih sedikit pusing, tapi itu lebih baik dari pusing yang tadi. Dalam sehari ini Ririy epilepsi Ririy kambuh dua kali.
Senyuman ibu Ririy merekah melihat sang putri membuka matanya. "Nak, kamu tiduran dulu dikasur ya, kamu harus istitahat. Sebentar lagi ibu ambilkan makan malamnya ya," Ririy mengangguk, ibu dan ayah Ririy menuntunnya keranjang agar Ririy bisa beristirahat dengan nyaman
"Ririy, setalah makan ini kita kedokter ya?" kata ibu Ririy pelan,
"Ibu, aku sedang tidak ingin kedokter sekarang,"
"Tapi ini untuk kesehatanmu nak," kaya ibu Ririy lagi.
"Please bu, besok saja, aku masih tidak ingin bertemu dokter," kata Ririy bersikokoh tidak mau pergi ke dokter..
"Ririy..."
"Sudah bu, jangan dipaksa, besok saja kita pergi kedokter ya?" kata Ayah Ririy. Ibu Ririy menghembuskan nafas, akhirnya ia mengalah meskipun dalam hati ia sangat ingin memeriksakan putrinya kedokter hari ini untuk kesehatan putrinya.
°°°°
Usai mandi, Ririy menuju ruang makan untuk sarapan. Disana sudah ada ayah ibu dan marsha yang menunggunya.
"Ayo duduk, makan Riy," kata ibu Ririy
"Iya ayo makan," tambah ayah Ririy. Marsha hanya diam seperti biasa, ia tak mengatakan sepatah katapun. Ririy tak mengerti mengapa Marsha selalu bersikap dingin padanya. Padahal Ririy selalu berusaha untuk membuka obrolan jika didekatnya, namun sang kakak selalu menghindarinya.
"Ririy, kamu kok rapi begitu? bukannya kemarin ibu sudah bilang kalau kamu izin tidak masuk kuliah dulu?" kata sang ibu melarang Ririy masuk kuliah karna baru tadi malam putrinya kambuh lagi.
"Ibu, aku sungguh baik baik saja sekarang. Izinkan aku kuliah ya bu, please... bu Kambuh yang tadi malam itu kambuh yang seperti biasa, ibu tak perlu khawatir aku kambuh lagi." Ririy meyakinkan ibunya.
"Ririy! Patuhi kata ibu!" bu April mulai mengeraskan suaranya.
"Bu, aku ini ada tugas kuliah sangat penting, nilainya akan menjadi pengaruh kelulusan semester,"
Bu April menghela nafas, "Tapi kamu berangkat bersama kakakmu, Marsha,"  kata bu April.
Ririy menahan untuk tidak mengerinyit ketika mendengarnya. Bukannya Ririy tak suka berangkat bersama kakak kandungnya. Berangkat bersama Rian yang sedikit menyebalkan itu menurutnya jauh lebih baik ketimbang ia berangkat bersama Marsha yang tidak suka diajak mengobrol. Mereka akan terus diam selama perjalanan.
"Marsha, kamu antarkan adikmu ke kampus ya," kata bu April. Marsha menoleh sejenak, "baik bu." katanya sedikit berat, ekspresi terpaksa terpaut di wajahnya.
"Makasih ya kak," kata Ririy sambil tersenyum hangat kepada sang kakak ketika sampai di kampusnya.
"Ok." kata Marsha. Ia tersenyum tipis lalu melajukan sepeda motornya.
Ririy berhenti didepan kelasnya, ia mengurungkan untuk masuk kedalam ketika teman kelompoknya sedang membicarakannya.
"Memberikan peran utama pada Ririy itu suatu kesalahan," kata Kelly.
Steven menghembuskan nafas kecil, "Apanya yang salah Kel? Aku yakin Ririy pasti bisa kok,"
"Iya, tapi apa dia sanggup menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat ini?. Yang aku tahu dia itu bukan anak yang rajin Steven, dia cukup lambat untuk hal itu" Kelly bertolak pinggang.
"Terus bagaimana? Kita ganti tugas lagi nih?" tanya Fadhil.
"Tidak bisa! Ini semua sudah terlanjur. Seharusnya kemarin kita tak memilihnya untuk membuat si tokoh utama," kata Kelly, sorot matanya terlihat tak bersahabat.
"Tapi Ririy kan yang membuat alur ceritanya Kell, jadi dia berhak membuat tokoh utamanya dong," kata Agustine membela Ririy.
Ririy berbalik, sedih memang ketika beberapa temannya meragukan kemampuannya. Ia tahu mereka berbicara berdasarkan kenyataan yang Ririy tak bisa menyangkalnya. Kini Ririy berjalan menuju taman sekolah untuk menggambar disana.
"Lagi gambar apa nih?" kata seoarang perempuan cantik mendatanginya, itu adalah Arabel. Arabel duduk disebelah Ririy yang sedang sibuk menggambar.
"Lagi gambar tugas kak," jawab Ririy, ia menoleh kearah Arabel sejenak lalu menatap gambarannya kembali.
"Wah wah wah... kamu berbakat sekali ya, gambaranmu sangat bagus dan mengesankan," puji Arabel degan senyuman indahnya. Ririy menatap sejenak lagi lalu tertawa kecil, menertawai dirinya sendiri. Yang Ririy tahu ia memang bisa menggambar, namun tidak semengesankan seperti yang Arabel katakan.
"Semangat ya Ririy!" Arabel menyemangati Ririy.
"Terimakasih kak." kata Ririy.
Tak lama setelah itu Rian datang ke taman itu. Ririy memutar bola matanya, Entahlah rasanya jengah sekali melihat Rian yang datang dengan senyuman yang menurutnya itu adalah senyuman tebar pesona. Rian tersenyum kearah Arabel sebelum mengucapkan kalimatnya.
"Bagaimana kalau belajar bersamanya sekarang? Karna nanti siang aku ada perlu mendadak, maaf," kata Rian.
"Ok, kalau begitu aku ambil buku catatanku dulu ya,"
"Baik, aku tunggu disini ya," kata Rian sambil tersenyum. Ririy sedikit mengangat bibir atas sebelah kanannya merasa jijik dengan ekspresi Rian.
"Kenapa bibirmu seperti itu?" tanya Rian ketika Arabel sudah beranjak dari taman.
"Yah gimana ya, jijik saja sih melihat kakak yang bertampang playboy," Ririy terus terang.
"Asal ceplos saja! Apanya yang playboy?!" Rian tak terima.
"Buktinya kemarin kakak bilang pada Agustine terimakasih Agustine dengan mimik yang mesra, lalu berpura pura khawatir denganku ketika aku mau pulang, dan tadi kakak memberikan senyuman manis penuh cinta pada kak Arabel, apa itu tidak playboy?!" kata Ririy, ia menekankan kata terkahirnya.
Rian menganga dan memendelikkan kedua matanya disela sela Ririy berbicara tadi, namun tiba-tiba ia melepaskan ekspresinya dengan tawa. Tawa ini adalah tawa yang menggoda dan penuh dengan kenarsisan.
"Kamu cemburu?" kata kata Rian membuat Ririy ingin menjedotkan kepalanya sendiri ketembok.
"Bisa tidak sih, bedakan mana cemburu dan mana jijik? Aku ini sudah sangat jijik loh dengan kepedean kakak yang tingkat tinggi dan keplayboy-an kakak yang sudah kelas papan atas itu!" kata Ririy kesal.
"Enak aja masih bilang aku playboy. Kamu juga harus bisa bedakah dong mana playboy dan mana ramah. Dasar yah memang cewek-cewek, para lelaki itu serba salah dimata mereka. Kalau cool dibilang badboy, kalau ramah dibilang playboy, serah deh." Ririy terkekeh mendengar penjelasan Rian.
"Iya-iya maaf aku yang salah," katanya
"Nah gitu dong mengaku salah,"
"Eh emang aku salah apa?" Rian terbengong lagi dengan pernyataan Ririy.
"Tuh kan, nggak mau mengakui kesalahannya lagi, baru beberapa detik saja sudah lupa," kata Rian menyerah.
"Tapikan aku memang tidak salah apa-apa, aku hanya bilang kalau kakak itu playboy, tapi kalau nggak ya sudah. Kok diperpanjang sih,"
"Loh kan kamu yang memperpanjang sendiri, ya sudah maaf aku yang salah deh," kata Rian mengalah. Ririy tertawa cekikian ia berhasil membuat pria yang menyebalkan itu kesal, yah meskipun hanya sedikit.
"Iya dong, perempuankan selalu benar," canda Ririy. Rian tertawa tanpa suara mendengar pernyataan yang tak adil darinya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (28)

  • avatar
    Yohanes panda Baso

    Gilla bagus sekali cerita nya makasih

    21d

      0
  • avatar
    Rifal Rifal

    keren banget

    25/06

      0
  • avatar
    MeiCahyaning

    bgs

    17/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด