logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

4. Sahabat Sejati

Rian memejamkan mata rapat rapat, keringat mengucur dari dahinya setelah berusaha menemani sang dokter sekaligus dosen di universitas mereka menenagkan Ririy bersama Agustine diruangan kesehatan.
Rian menarik nafas panjang dan ia keluarkan dengan berat. Rasanya sangat hancur sekali melihat sahabat masa kecilnya kambuh seperti itu
.
Agustine memegang satu tangan Ririy dan ia dekatkan pada letak paru parunya. Pacuan irama jantung Agustine yang berdegup kencang tadi kini meredah. Ririy tertidur pulas atau bisa dikatakan pingsan namun masih merasakan sesuatu disekelilingnya sedikit.
Agustine menyeka air matanya yang menetes membasahi pipinya setelah ia menyingkap rambut Ririy yang sedikit menutupi wajah manisnya, jilbabnya sudah terlepas karna kambuhnya tadi.
"Ririy kamu jangan takut, kamu baik baik saja, kamu aman. Kami semua disini bersamamu." Agustine terisak kembali mengatakannya. Ia merasakan sesuatu berat yang dipikul Ririy, ia mungkin tak tahu seberapa sakit dan menderita epilepsi yang dirasakan oleh Ririy, namun Agustine tahu itu pasti sangat menyakitkan sekali.
"Anak-anak, kalian jaga Ririy sampai dia sadar kembali, saya harus segera pergi karna ada urusan mendesak. Kalau ada apa-apa bisa hubungi saya lagi," kata sang dosen tersenyum tipis dengan matanya yang menatap nanar pada Ririy yang berbaring.

"Baik dok, terimakasih," kata Rian
,
"Terimakasih banyak dok," sambung Agustine.
Suasana hening setelah sang dokter pergi meninggalkan ruangan.
Rian tertunduk lesu,
"Bagaimana ceritanya sampai dia kambuh lagi?" Rian tahu, ini bukanlah epilepsi yang barusaja kambuh dari sekian lama. Sekitar dua 4minggu yang lalupun Ririy kambuh akibat demam dan memaksa dirinya belajar karna ada tugas kuliah menumpuk di kampusnya. Rian ingin tahu apa penyebabnya sampai Ririy kambuh seperti ini.
"Tadi Ririy memaksa dirinya meminum kopi hitam, Steven yang membelikan kita semua kopinya. Aku sudah memberinya isyarat mata untuk tidak meminumnya tapi tak dihiraukan." Agustine menjawab dengan suara yang parau.
"Hmm bisa bisanya, padahal dia juga tidak suka kopi," Rian menarik nafas jengah, rasanya ingin sekali ia menceramahi gadis bandel yang tengah berbaring setelah dia sadar nanti dan mengomelinya habis habisan seperti yang ia lakukan biasanya bak seorang kakak yang mengkhawatirkan adiknya.
"Agustine apa menurutmu Ririy menyukai Steven? Aku lihat dia sering memperhatikannya, jangan khawatir aku tidak akan membocorkannya pada siapapun," kata Rian memastikan dugaannya benar.
Agustine yang mendengar pertanyaan Rian sedikit tertegun, apakah ini sebuah pertanyaan yang jawabannya akan membuat Rian cemburu, atau senang jika Rian mendapatkan jawaban darinya?. Agustine merasakan sedikit perih dihatinya jika jawabannya nanti membuat Rian cemburu.
"Aku belum bisa memastikan. Tapi setiap kali Steven melewati kita, tiba-tiba Ririy seolah kehilangan kontrol, itu saja yang aku tahu." Agustine percaya pada Rian bahwa ia tak akan pernah memberitahu pada siapapun soal ini.
"Oh begitu," Rian mengangguk angguk, Rian terlihat biasa saja dengan jawaban Agustine. Tak ada raut wajah yang terlihat cemburu. Itu membuat Agustine menghembuskan nafas legah. Masih ada peluang untuk bisa mendapatkan hatinya, yah meskipun kadang ia merasa sangat mustahil. Karna Seniornya yang satu ini adalah sosok pria yang cukup digilai oleh para mahasiswi disana.
Bagaimana mungkin Rian bisa cemburu kalau Ririy memiliki idaman?, Yang dikatakan Ririy benar, hubungan mereka hanya sebatas kakak beradik yang sangat dekat karna mereka bersahabat dan bertetangga sejak kecil.
"Agustine, sepertinya dia akan bangun," kata Rian ketika melihat kelopak mata Ririy yang berkedut. Agustine tersenyum sambil menunggu mata Ririy benar-benar terbuka.
"Maaf," suara lirih Ririy terdengar ketika matanya separuh terbuka. Rian tersenyum tipis, begitupula dengan Agustine. Mereka legah dan senang melihat Ririy sudah bangun.
"Maaf selalu merepotkan," katanya lagi, suara Ririy sangat berat karna begitu malu. Ia tahu pasti beberapa bagian tubuhnya tersingkap tadi. Ririy memjamkan matanya lagi. Ia tak ingin membayangkan bagaimana dan apa yang ia lakukan ketika kambuh, rasanya sangat menyakitkan jika membayangkannya.
"Tidak merepotkan, kamu adalah bagian dari diriku Ririy, kamu sahabatku. Jika kamu melakukan sesuatu yang menyakitimu maka aku juga tersakiti!" kata kata Agustine begitu kuat dibalik tone suaranya yang ia atur lembut karna tidak mungkin ia mengeraskan suara kepada orang yang baru saja sadar dari pingsannya.
"Maafkan aku,"
Agustine merasa sangat iba bercampur marah. Ia ingin memberi sedikit pelajaran pada Ririy agar tidak seenaknya melakukan hal hal yang membahayakan dirinya sendiri.
"Aku ke kelas dulu, kamu istirahat dulu disini dengan kak Rian, nanti kita bicara lagi sepulang kuliah" Agustine berdiri dan berjalan ke ambang pintu.
"Agustine, terimakasih," kata Rian sebelum Agustine benar benar meninggalkan ruangan.
Agustine berhenti dan tersenyum kerahanya.
"Tidak masalah," kata Agustine langsung beranjak.
Sebuah kalimat yang singkat dan padat mengalir begitu lembut ke hatinya. Ia tak tahu mengapa kalimat 'terimkasih' dan sebutan namanya di awal kata itu bisa membuatnya berdebar sampai beberapa saat ketika ia kembali duduk di bangkunya.
Rian meletakkan satu telapak tanganya di dahinya sejenak lalu melepasnya lagi.
"Jadi kamu menyukai Steven sampai sampai meminum kopi yang dibelikan olehnya?" kata Rian tanpa basa basi. Ririy menelan salivanya.
"Aku hanya ingin menghargainya karna membelikan kita kopi kak, bukan menyukainya," bantah Ririy, suara Ririy tak begitu meyakinkan.
"Kalau aku yang belikan? Kamu juga mau minum itu untuk menghargai ku?" Ririy mendengus nafas kesal.
"Mungkin saja, kalau kak Rian memang tak tahu aku punya penyakit epilepsi, tapi sebisa mungkin aku jelaskan pada kakak kalau aku tak bisa minum kopi!" Mata Rian sedikit terbelalak bukan terkejut tapi agak marah atas jawaban Ririy.
"Nah, kamu kan juga bisa menjelaskan padanya kalau kamu tidak bisa minum kopi Ririy. Aku tahu kamu menyukainya, aku pernah melihatmu berkali kali memperhatikannya," kata Rian blak-blakan. Ia tak pernah sesantai ini jika Rian berbicara pada siapapun.
Ririy terlihat sedang berfikir, "oh jadi kak Rian memperhatikanku? Cieee yang men stalking aku," kata Ririy narsis. Rian mengangkat bibirnya sebelah sambil membuang nafas.
"Baiklah kalau kamu berharapnya begitu."
"Ih Amit-amit,"
"Kali ini aku akan bilang pada ibumu kalau kamu kambuh, supaya kamu lebih berhati hati lagi," kata Rian.
Ririy menganga mendengarnya,
"Kak Rian please jangan ceritakan pada ibu dan Ayah, kalau mereka tahu aku pasti tidak diizinkan melamar kerja di Jakarta, oke deh aku akan lebih berhati-hati dan menjaga diriku," pinta Ririy. Orang tua Ririy sangat mengkhwatirkannya jika ia bekerja diluar kota dan jauh dari mereka jika penyakit epilepsi Ririy masih sering kambuh.
Rian menghembuskan nafas pasrah, "kalau kamu masih sering kambuh begini dan memaksa bekerja di Jakarta, aku juga akan terpaksa ikut. Karna aku tak bisa meninggalkanmu jauh begitu saja," kata Rian. Ririy mengerjapkan mata tiga kali. Hatinya berdesir, ia begitu terkesima dengan apa yang diucapakannya. Tapi jika Ririy berada diposisi Rian ia juga akan melakukan hal yang sama. Untuk sahabat masa kecilnya yang seperti suadara sendiri.
"Sudah baikan? Mau kuantar ke kelas?."
"Ok," kata Ririy lalu berjalan dan diikuti oleh Rian dibelakangnya.
"Kamu nggak apa apa Riy?" tanya Kelly melihat Ririy yang sudah sampai diruangan mereka.
"Tadi pusing berat, tapi sekarang sudah mendingan," jawab Ririy lalu duduk ditempatnya tadi.
Mata Steven sedikit berkerut ketika melihat Ririy. Ia terlihat sedang mengkhawatirkan teman kelompoknya itu. Steven tak mengatakan sepatah katapun, ia hanya memperhatikan gerak gerik Ririy.
"Kita jadi kumpul dirumah kamu?" tanya Kelly kemudian.
"jadi dong, ibuku sangat senang jika kita belajar kelompok dirumahku," jawab Ririy lalu mengemasi barang-barangnya untuk pulang. Pelajaran kuliahnya sudah selesai untuk hari ini.
"Ok guys jangan lupa nanti sore kita kerumah Ririy ya?" Kelly mengingatkan teman-temannya.
"Oke," jawab mereka semua.
"Kamu habis dari mana? Tadi aku mencarimu kemana-mana untuk belajar seperti kataku tadi pagi," kata Arabel ketika melihat sosok Rian yang menghampirinya.
"Sorry, tadi Ririy tidak enak badan, jadi aku temanin dia. Mau belajar di lain waktu?" tanya Rian.
"Sepertinya Ririy sangat berarti bagimu ya?" tanya Arabel sambil tersenyum tipis. Arabel merasa ada kesedihan didalam hatinya.
"Bukan seperti itu, tapi ini karna kita sudah seperti saudara. Dia juga pernah rela bolos sekolah satu hari untuk menemaniku dirumah sakit dulu ketika aku sakit tipes." kata Rian. Hati Arabel terasa berdenyut sakit ketika mendengar cerita Rian. Ia bingung ada apa dengan hatinya.
"Waah enaknya punya sahabat yang seperti saudara, kamu pasti juga sangat penting bagi hidup Ririy," kata Arabel lagi.
"Sebenarnya kita hanya seperti kakak beradik," kata Rian dengan nada datar.
"Oh begitu," entah mengapa kata-kata Rian barusan membuat Arabel senang.
"Aku duluan ya," kata Rian, lalu beranjak menuju parkir.
"Ok," kata Arabel sambil tersenyum manis.
"Kamu yakin sudah baikan?" tanya Rian ketika melihat sahabatnya itu tengah mengeluarkan sepedanya di tempat parkiran.
"Iya, sudah tenang saja aku benar benar sudah baikan kok," Ririy menaiki motornya. Dahi Rian sedikit berkerut.
"Pulang bersamaku dan sepedamu aku pegang di sebelah bagaimana?". tawar Rian. Ririy menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah baik baik saja kak, tak perlu khawatir," katanya lalu memasang ekspresi mengejek. Rian tersenyum sinis melihatnya.
"Aku bukan khawatir akan keadaan mu, aku khawatir karna seorang bocil sepertimu mengendarai motor," gengsi Rian.
Tiin...
Suara klakson mobil terdengar. Itu adalah suara mobil putih milik Arabel yang menghampiri mereka. Arabel menurunkan kaca mobilnya.
"Hey Riy, ayo pulang bersamaku saja, besok aku jemput lagi. Sepeda motormu biar nanti aku dan Rian ambil kesini lagi, ya?, Aku takut kamu nanti kenapa napa," mata Arabel terlihat khawatir. Ririy menggigit bibir bawahnya, 'kenapa kak Arabel baik sekali sih,"'
"Aku baik baik saja kak, aku bisa pulang sendiri terimakasih," tolak Ririy menyudahi kalimatnya dengan senyuman manis.
-jangan lupa beri semangat saya dengan komentar dan votenya ya teman-teman ☺️-

หนังสือแสดงความคิดเห็น (28)

  • avatar
    Yohanes panda Baso

    Gilla bagus sekali cerita nya makasih

    21d

      0
  • avatar
    Rifal Rifal

    keren banget

    25/06

      0
  • avatar
    MeiCahyaning

    bgs

    17/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด