logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

8. Pertemuan Sea dan Orang Tua Rain

"Tu-tunggu sebentar, aku ... butuh tempat-bersandar," ucapnya dengan terbata-bata diiringi isak tangis.
Sea yang tadi enggan menerima pelukan dari om-om itu, akhirnya menyerah dan membiarkan ia melepas semua pilu di pelukannya.
Sepuluh menit sudah, Rain menjauhkan Sea dari pelukannya. "Maaf," ucapnya singkat.
Sea yang tercengang atas sikap Rain itu masih berdiri kaku dengan sorot mata terheran-heran, ia merasakan duka mendalam yang dialami pria berumur hampir kepala tiga yang mendekapnya tadi.
Rain melangkah keluar lokasi proyek. Sea mengekorinya di belakang sembari mengelap blouse-nya yang basah karena air mata Rain.
Pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya diikuti si gadis yang juga menghentikan langkah di belakangnya. Rain menunjuk dahi si gadis dan mendorongnya pelan.
"Kamu jangan mikir macam-macam tentang saya tadi!" tukasnya.
"Jadi orang, kok, gak punya rasa terima kasih! Lihat ini bajuku basah, ck!" cibir gadis tujuh belas tahun itu.
"Untung tampan," desisnya dalam hati.
Rain melanjutkan langkahnya pulang. Tak ada percakapan sama sekali selama di dalam mobil. Suasana menjadi kaku sementara si gadis menatap pria di sebelahnya dengan rasa iba.
Selama tiga puluh menit perjalanan, sampai di suatu tempat yang tidak ia kenali. Rumah modern dan aksen dinding batu alam dengan halaman yang cukup luas. Banyak tanaman dan bunga yang berwarna-warni indah dipandang.
"Di mana ini?" tanya si gadis.
Tanpa menjawab, Rain mengeluarkan dompet panjangnya dan mengeluarkan lima lembar uang berwarna merah, lalu disimpannya di atas tas Sea yang berada di pangkuannya.
"Ini untuk menggantikan bajumu yang basah beserta ongkos pulang," terangnya.
"Tapi, kan, rumahku lebih dekat dari lokasi proyek. Kenapa aku dibawa lebih jauh ke sini?!" keluhnya pada Rain.
"Gak ada yang menyuruhmu masuk mobil saya tadi!"
Sea menggerutu kesal atas perlakuan Rain yang kembali membuatnya ingin memakan batu.
"Kamu tunggu apa lagi!" ketus Rain yang sudah keluar dari mobilnya.
"Kakaak ...," teriakan seorang anak kecil, yang ia rasa pernah mendengarnya suaranya. Gadis kecil itu berlari cepat mengampirinya.
"Eeh, kamu Cyra, kan? Apa kabar, Cantiik?" sapanya sambil memegang kedua pipi Cyra.
"Kamu kenal dia, Sayang?" tanya ayah dari Cyra.
Cyra mengangguk dan tersenyum lebar. "She is a sister at the zoo, Papa," ujarnya dengan riang.
Raut wajah Rain terheran-heran, terutama melihat sorot mata Sea yang begitu senang bertemu gadis itu, "What do you mean, Cyra? tanya Rain tak mengerti.
"Aku menolong dia waktu tersesat di kebun binatang, Om."
"Tunggu tunggu! Jadi yang menemukan Cyra waktu itu bukan Maya, tapi kamu?" Rain mencoba memperjelas apa yang terjadi, karena dia tidak tahu pasti bagaimana kejadiannya.
"Maya siapa? Ooh, mamanya Cyra?"
"No! Maya is my secretary."
Sea mencoba mengingat sesuatu sepertinya ada yang salah dengan keyakinannya.
"Tunggu sebentar! Jadi, yang waktu aku nyerahin Cyra ... itu Maya asisten Om dan mamanya Cyra itu Hanna ... yang kasusnya lagi ditangani saat ini. Terus Om ....? Oh My God!"
"Jadi, Cyra ini anak Om?"
Rain mengangguk sambil menuntun Cyra masuk, tetapi Cyra menahan tangan ayahnya untuk mengucapkan sesuatu.
"Papa, Cyra mau main sama Kakaak," ujar Cyra merajuk.
Rain menghela napas sebentar, lalu melirik Sea dengan ekor matanya seraya berpikir sejenak, "Ya udah ... tapi Cyra jadi anak baik, ya, kalo kakaknya galak, gigit aja," tuturnya.
Cyra terkikik, tidak dengan Sea yang melirik sinis pada om-om ganteng itu. Lalu Cyra melepas genggaman ayahnya agar bisa menarik lengan Sea. Kemudian mereka masuk ke dalam rumah bersamaan dengan posisi Rain di belakang mereka (Sea & Cyra).
Cyra menuntun Sea langsung ke kamarnya. Sementara Rain memperhatikan cara Sea bermain dengan putrinya. Sesekali mereka tertawa bersama, berbaring sambil bercerita sambil menggelitiki satu sama lain.
Rain sekilas teringat mendiang istrinya yang dahulu selalu ada untuk Cyra, tak pernah memarahi dan selalu membuatnya tertawa.
Setelah itu ayah satu anak itu melangkah masuk ke ruang kerjanya untuk menyibukkan diri agar tak terlalu larut dalam duka. Sudah cukup saatnya ia merelakan kepergiannya, agar ia yang di sana bahagia di sisi-Nya.
Tiba-tiba, terdengar suara orang masuk di depan rumahnya, Rain penasaran dan segera menghampiri.
"Ma ... Pa ...," sapa Rain setelah melihat kedatangan orang tuanya. Tampak kaca-kaca di pelupuk matanya seperti merasa lega karena akhirnya bisa mengangkat beban di pundaknya.
Lily dan William segera memeluk putra kesayangannya itu.
"Maaf, Nak, kami baru datang. Ada urusan yang gak bisa papamu tinggalin. Kamu yang kuat, ya," ujar Lily yang baru saja tiba dari Amerika.
Rain menumpahkan tangisannya di pelukan Lily. Sementara William menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkan putranya itu.
"Oma ... Opa ...?" teriak Cyra yang keluar dari kamarnya, lantas segera berlari menghampiri keberadaan Lily dan Willy, dengan cepat ia ditangkap oleh kakeknya.
"Halloo, Cucu Kesayangan Opa! Kamu lagi ngapain di kamar, hmm?" tanya Willy.
"Cyra lagi main sama kakak, Opa. Opa mau kenalan gak?"
Lily dan Willy terkesiap mendengar ucapan Cyra. Ia mencoba menerka sesuatu yang ada dalam pikiran dan bayangannya.
"Rain, Cyra baik-baik aja? Dia gak halusinasi 'kan karena ditinggal mamanya?" ujar Lily yang masih kebingungan.
Rain terbahak mendengar praduga mamanya itu. Seketika seorang gadis yang rambut panjangnya semrawut setelah berbaring dan bermain bersama Cyra, keluar dari kamar Cyra.
Willy mencoba mengerjapkan mata berkali-kali di samping itu Lily terbelalak tak berkedip. "Rain! Itu siapa, Rain?"
"Hallo assalamu'alaikum. Saya Sea," sapa Sea tanpa diminta.
"Wa-'alai-kumus-salam," jawab Willy tergagap.
Rain memandangi kedua orang tuanya yang masih tidak percaya akan sosok yang tadi disebutkan Cyra.
"Rain, dia nyata?" tanya papanya.
"Pa? Papa lihat seseorang?" Rain melambaikan tangan untuk memastikan. "Papa bicara dengan siapa tadi?" Rain berpura-pura tak melihat gadis yang berdiri tak jauh darinya.
Willy menunjuk Sea dari kejauhan, sedangkan Rain membantu menunjuk dahi Sea dari dekat yang menjadi kebiasaannya. "Ini, Pa?"
"Aww."
Sea menangkis tangan om di sampingnya. "Apa sih, aku masih manusia, tau!" Rain terbahak dengan guyonannya. Sementara Sea, Cyra dan kedua orang tuanya diam terheran.
Seketika Rain diam, sambil mengusap-usap tengkuknya karena tak ada yang tertawa dengan candaannya tadi. Saat itu juga mereka semua terbahak kecuali Rain.
Pada akhirnya mereka bercengkerama dan makan bersama. Cyra-lah yang paling antusias bercerita tentang bagaimana awal pertemuannya dengan Sea.
***
[Pak Rain, bisa datang ke kantorku?] Rain mendapat pesan singkat dari Angkasa tepat setelah meeting-nya selesai.
Lalu, ia masuk ke ruang kerja diikuti Maya di belakangnya.
"Pak Rain, mau saya siapkan makan siang di restoran mana?" tanya sekretarisnya itu.
"Tidak usah, saya sudah ada janji. Kamu duluan saja," sahutnya Rain.
"Baiklah, saya dan Hendra akan mengantar Anda," tutur Maya.
"Tidak perlu, saya akan memakai mobil pribadi saya. Oh ya, Maya, nanti setelah jam makan siang, ada pertemuan kecil dengan Golden Corps, kalau saya belum selesai dengan urusan di luar, tolong gantikan saya, ya." Rain memerintah Maya.
"Dan ini file-nya," lanjut Rain sambil memberikan map tebal.
"Baik, Pak."
***
Rain memasuki gedung besar bertingkat yang dipenuhi individu eks sekolah hukum. Mereka berlalu lalang dengan kesibukannya mengurusi masalah kliennya masing-masing.
"Selamat siang." Suara yang tidak asing bagi Rain.
"Oh, Pak Angkasa, maaf menunggu lama."
"Tidak , Pak, mari ke kantor saya."
"Saya sudah mendapatkan hasil dari bercak darah yang kita temui di gudang bawah tanah dan hasil DNA di dinding memang milik Almarhumah istri Anda, akan tetapi ... bercak merah di lantai, itu hanya bekas red wine dengan campuran racun arsenik."

หนังสือแสดงความคิดเห็น (249)

  • avatar
    HamidAbdul

    bagus

    23d

      0
  • avatar
    LaillTasbiatul

    slmt pagi novel lah.

    23d

      0
  • avatar
    Zak1Neng

    penasaran ceritanya

    25d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด