logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

7. Prediksi Kasus Pembunuhan

"Maafkan saya," sahutnya. Tanpa disadari sambungan telepon yang ia hubungi sudah dijawab.
"Kalo jalan pake ma—" ucapannya terhenti.
"Kamu!" lanjutnya. Ia terkejut dengan seseorang yang baru saja menabraknya."
"Sedang apa kau di sini?" tanya Rain pada gadis yang berdiri di hadapannya.
"Bukan urusanmu!"
"Ya, sudah. Ikut aku!" paksa Rain sambil menarik tangannya.
"Eehhh, aku mau dibawa ke mana!" protesnya sambil berusaha melepaskan genggaman Rain.
"Antar aku ke Angkasa!" pekik Rain tanpa menoleh pada si gadis.
"Jauh banget! Aku gak bisa terbang, hey!"
Rain sontak menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya yang proporsional, menatap gadis yang lengannya masih dalam genggamannya itu. Ia mengangkat satu jari telunjuknya, mendekati gadis itu dan ... menoyor dahi si gadis dengan telunjuknya tadi.
"Bukan itu, Bodoh," semburnya.
Gadis itu terbahak-bahak. "Lepas dulu tanganku! Aku mau mengunjungi temanku di situ," ucapnya, sambil menunjuk kamar tepat di belakang Rain.
Rain menoleh ke belakang, "Baiklah. Aku tunggu di sini," sahut Rain, seraya menatap layar ponselnya.
"Aah sial. Angkasa tadi menjawab teleponnya. Tapi, gara-gara adiknya itu jadi terlewat."
Rain mengetik pesan singkat yang ditujukan untuk Angkasa. "Aku akan datang ke kantormu.”
Lima belas menit kemudian, gadis yang ditunggunya menyeruak keluar dari kamar pasien kelas VIP bersama kedua temannya. "Aku udah selesai," katanya.
Rosi dan Emil menyenggol-nyenggol bahu Sea.
"Sea, siapa? Ganteng banget, Se. Kenalin, dong!” bisik Rosi. Sementara, Emil sudah melirik-lirik dengan senyum genitnya.
"Gak usah kenalan-kenalan. Dia cuma kuli. Nanti kalian segan, lagi."
"Gak apa-apa, kok, Se. Aku lihat wajahnya aja udah kenyang," bisik Emil.
Rain memulas senyum pada kedua gadis teman dari Sea. "Saya Rain," ujarnya dengan suara yang membuat para gadis terkesima.
"Hai, aku Han Ji Eun. Aaa ... !” teriak Emil dengan mata berbinar-binar sambil mengepalkan kedua telapak tangan di depan mulutnya.
Rosi terbahak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sea, sedangkan Sea mengernyitkan dahinya dengan keanehan Emil sahabatnya itu. "Apa, siih! Gak jelas kalian."
"Mohon maaf jangan berisik, ya, takut mengganggu pasien," tegas seorang perawat di balik mejanya.
Mereka sontak diam sambil mencuri pandang terhadap Rain.
"Udah sana-sana!" Kedua tangan Sea mendorong temannya supaya lekas pergi.
"Ck ... Dasar Bocah ABG!" decak Rain pada Sea.
"Kamu lama sekali. Kaki saya pegal karena lama berdiri di sini," pungkasnya.
"Cuma lima belas menit aja, sih. Itu banyak bangku kosong!" tunjuk Sea ke deretan beberapa kursi kosong.
"Ayo cepat! Saya tidak ada waktu lagi," paksanya kembali sambil menarik lengan Sea.
Sea memandangi kagum Rain dari belakang, melihat penampilannya saat ini yang jauh berbeda dari sebelumnya. “Dia tampak menarik dari belakang. Kalau dari depan, jangan ditanya lagi.”
Sea melongo saat Rain membunyikan alarm mobilnya. Ia masuk bersamaan dengan Rain ke mobil yang berbeda dari sebelumnya. Dirinya semakin terperangah saat berada di dalam mobil: interiornya sangat modern dan mewah.
"Ckckck ... pinjam mobil siapa lagi ini? Hebat banget, ya, masih ada orang yang pinjamkan mobilnya ke orang seperti ini," tuturnya sambil melihat seisi interior mobil.
"Tolong jangan berisik!" tukas Rain.
Sea langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia sesekali melirik pada pria di sampingnya tersebut. Penampilannya sedikit berbeda dari yang pertama ia temui.
Kali ini pria itu tampak terawat dan rapi. Dengan balutan jaket dan celana jeans, tubuh pria itu terlihat lebih berisi dan tegap.
"Jangan perhatikan saya, nanti kamu naksir!" celetuk Rain yang lantas membuat Sea terkesiap.
"Eng-enggak. Siapa juga memperhatikan. Itu ada selai strawberry di atas bibirmu," Sea lantas terbahak.
Rain yang malu mendengar ucapan Sea, lantas menyeka kotoran sisa sarapan tadi. "Ini pasti ulah Cyra," gumamnya.
"Cyra, siapa Cyra?" tanya Sea yang samar mendengar nama itu.
"Tak usah banyak tanya!" pekiknya.
Suasana menjadi hening, tak ada percakapan antara mereka lagi. Sampai tiba di kantor kejaksaan pusat.
Rain melihat Angkasa sedang berbincang dengan rekan sejawatnya. Ia dan gadis yang tadi bersamanya menghampiri bersamaan dengan Angkasa yang terlihat seperti akan pergi ke suatu tempat.
"Selamat siang, Pak." Rain melontarkan salam lebih dulu.
"Oh, Pak Rain?" sahutnya sambil berjabat tangan dengan Rain. "Kamu lagi apa di sini?" tanyanya terheran-heran melihat adiknya bersama Rain .
"Aku ta—."
"Saya tadi bertemu dengannya di rumah sakit saat tak bisa menghubungi Anda. Jadi, saya mengajaknya kemari," sela Rain memotong ucapan Sea.
"Oh, telepon Anda yang tadi? Mohon maaf tadi saya ada sidang lanjutan. Ngomong-ngomong ada apa Anda ke sini?" tanya Angkasa.
"Ada yang harus saya beritahukan. Apa kau ada waktu?"
"Kebetulan sekali, saya mau pergi ke lokasi bersama tim, ada yang mau saya tanyakan juga padamu," jelasnya.
"Baiklah kalau begitu kita bertemu di lokasi."
***
"Ini laporan hasil autopsi Hanna," ujar Rain sembari menyerahkan secarik kertas yang dikeluarkan dari map.
"Kalau begitu, itu bukan kasus pembunuhan biasa. Bisa jadi sudah direncanakan dan ada tanda-tanda kekerasan juga," terangnya pada Rain.
"Aku semakin tak mengerti," sahut Rain.
"Kau tenang saja, serahkan pada kami. Kami akan mengusut siapa pelaku sebenarnya," ucap Angkasa mencoba menenangkan Rain yang sedang kebingungan.
"Oh ya, apa ada ruangan lain selain gedung hotel ini?"
Rain mencoba mengingatnya, "Ya ada, ruangan bawah tanah tempat mengontrol CCTV sementara, yang nantinya akan digunakan sebagai gudang bawah tanah," terangnya pada Jaksa senior itu.
Angkasa bergegas ke ruangan itu, yang ditunjukkan oleh Rain.
"Di mana kuncinya?" tanya Angkasa.
Rain menghubungi seseorang yang bekerja untuknya. "Apa!" sentak Rain yang mengejutkan Angkasa dan adiknya. "Bagaimana bisa!" Rain memutus sambungan teleponnya.
"Ada yang mencuri kunci ruang bawah tanah!" ketusnya pada orang-orang yang sudah penasaran menunggu jawaban Rain.
Angkasa memanggil timnya untuk mendobrak pintu ruang bawah tanah.
Braaak!
Pintu terbuka dengan keras menghantam dinding. Tim Angkasa mengamati setiap sudut ruangan.
Mereka menemukan bekas tali yang diduga menjadi alat untuk mengikat Hanna, lakban hitam, dan beberapa bercak darah di dinding.
Pupil mata Rain membesar. Emosinya berkecambah mengetahui barang bukti yang diduga digunakan oleh si pelaku. Sorot matanya menyiratkan kerinduan yang terbalut kemarahan. Ia mencoba tegar dan menahannya selama mungkin.
Dengan berdiri dan tertunduk, ia menyelami apa yang telah terjadi dan seketika ia merasakan ada telapak tangan yang menepuk-nepuknya dari belakang, membuatnya sedikit merasa tenang hingga bulir bening akhirnya menyeruak di bawah matanya.
Tangannya menghantam pintu cukup keras. Kepalanya tertunduk dan tangan satunya mencengkeram rambut. Isak tangisnya menyeruak tanpa suara ketika telapak tangan yang tadi ia rasakan menepuknya kembali.
Tim dari kejaksaan mengemas barang bukti ke dalam plastik klip, dengan sarung tangan.
"Kami akan membawa ini dan menyelidikinya," ucap Angkasa.
Rain mengangguk. "Baik ... Silakan. Terima kasih, Pak Angkasa," jawabnya dengan suara parau seraya menyeka air mata di pipinya.
"Pak Rain, saya duluan," terangnya sembari menepuk bahu belakang Rain.
Hanya tertinggal Sea yang menunggu Rain, menghabiskan waktu di lokasi. Awan kelabu menyelimuti Rain bersama sendu dan pilu yang masih menggebu. Ia terduduk di kursi panjang tempat para pegawainya beristirahat sebelum lokasi itu ditutup sementara.
Sosok telapak tangan yang tadi menenangkannya menyentuhnya lagi. Menepuknya perlahan bagai detak jam yang bergerak setiap detiknya.
Rain menoleh pada tangan yang masih menepuknya itu, dan mengalihkan pandangan pada si pemilik telapak tangan. Ia bangkit dari duduknya dan memeluk si pemilik telapak tangan.
"Tu-tunggu sebentar. Aku—butuh—tempat—bersandar," ucapnya dengan tersedu sedan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (249)

  • avatar
    HamidAbdul

    bagus

    23d

      0
  • avatar
    LaillTasbiatul

    slmt pagi novel lah.

    23d

      0
  • avatar
    Zak1Neng

    penasaran ceritanya

    25d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด