logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6. Hasil Autopsi Hanna

Rain menyetujui izin Maya untuk menemani Cyra, hal itu supaya Cyra tidak terlalu memikirkan sosok seseorang yang kini sudah tiada.
"Baiklah, hanya sampai siang hari saja, Maya, karena banyak yang harus kamu dikerjakan di kantor,” ujar Rain.
Maya tersenyum, kemudian mengajak Cyra bermain lagi.
"Cyra, mau Tante bacain buku cerita?"
"Mau mau, yeeyy. Mauuuu!" seru Cyra bahagia sambil menangkup Ruby.
"Oke, Tante bacain 'Putri Tidur dan Penyihir Jahat', ya?"
Cyra mengangguk dan mendengarkan dengan saksama. Ia berbaring di ranjang kecilnya yang berwarna pink. Maya membacakan buku dongeng dengan intonasi yang tepat, membuat Cyra merasa masuk ke negeri dongeng.
Setelah selesai membacakan cerita, Maya menutup bukunya, dan melihat Cyra sudah tertidur lelap. Maya menutupi tubuhnya dengan selimut, mengusap pipi Cyra, dan mencium pipinya.
Maya melihat jam yang melingkar di tangan kirinya, sudah hampir waktu jam makan siang. Ia bergegas keluar dari kamar Cyra, suasana rumah terlihat hening hanya ada Bi Ina di dapur.
"Bi Ina, saya bantu, ya." Bi Ina terkejut dengan kehadiran Maya.
"Eee, gak usah, Neng Maya. Neng tunggu aja di situ. Nanti bajunya kotor," sahut Bi Ina sambil menunjuk meja makan.
"Gak apa-apa, Bi. Saya senang memasak juga. Saya bantu bersihkan sayurnya ya, Bi," ucap Maya tanpa diminta.
"Bi, makanan kesukaan Pak Rain apa?"
"Ooo, kalau Pak Rain suka semua yang dibuat Bu Hanna, Neng. Emm— maksudnya Almarhum Bu Hanna."
"Ooh ... gitu ya, Bi," jawab Maya dengan menaikkan sudut bibir kanannya.
Bi Ina mengupas dan membuatkan bumbu karena khawatir mengotori baju Maya. Lantas, Maya yang selesai membersihkan sayur dan lauknya, melanjutkan dengan kegiatan memasak.
Maya dan Bi Ina selesai memasak untuk makan siang dan sedang menyiapkannya di meja makan. Bersamaan dengan Rain yang keluar dari ruang kerja sambil menguap lebar-lebar dan mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya.
"Pak, makan siangnya sudah siap," tutur Bi Ina.
Rain bukannya menjawab ucapan Bi Ina, malah melirik ke arah Maya, sambil menyipitkan kedua matanya, "Kamu belum kembali ke kantor, Maya? Cyra mana?"
"Cyra tidur, Pak. Tadi saya liat Bi Ina masak, jadi saya bantu-bantu sebentar.
Rain berjalan mendekati meja makan, Maya mencoba menarik kursi untuk Rain.
"Silakan, Pak." Rain melirik dan bingung dengan sikap Maya.
"Terima kasih!" pungkasnya mencoba menghargai sikap Maya.
Saat Rain mengambil piring, Maya mencoba mengambilkan nasi dan menuangkannya ke piring Rain. Ia hanya diam melirik kelakuan Maya. Kemudian, Maya mencoba mengambilkan lauknya untuk Rain.
"Aku bisa sendiri!" tangkasnya, karena merasa tidak nyaman.
"Ini semua masakan Neng Maya, Pak," tukas Bi Ina tanpa digubris oleh Rain.
"Gimana, Pak, masakan saya? Enak, gak? Atau ada yang kurang?" cecer Maya mempertanyakan hasil masakannya.
"Hmm— lumayan, masih bisa ditelan," katanya dengan anggukan dan tanpa ekspresi.
"Kau makan saja, setelah itu kembali ke kantor. Saya mau istirahat," ujarnya kepada Maya.
***
Pagi itu Rain masih terjaga di tempat tidurnya. Udara dingin menyeruak ke dalam kamarnya. Saat semalaman memikirkan apa yang telah terjadi belakangan ini, sungguh di luar nalarnya.
Ia mendengar ada yang membuka pintu kamarnya. Namun, tubuhnya terlalu kaku untuk menoleh.
"Papa, temenin Cyra main, Pa," ujarnya merajuk sambil masuk ke kamar papanya.
"Oke, sweety." Rain memaksakan dirinya bangkit dari kenyamanan tidurnya demi menemani putrinya bermain. Ia pun menggendongnya seraya menciumi pipi kenyal putrinya.
Terdengar ponselnya berdering saat ia sedang menemani Cyra bermain di teras. Ia pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja televisi dan menggeser bulatan hijau di layarnya.
"Selamat pagi, Pak Rain, hasil autopsi sudah keluar. Apa bisa datang ke rumah sakit ? Ada yang perlu saya informasikan."
"Baik, Dok. Saya akan segera ke sana. Terima kasih informasinya."
Ia membawa Cyra yang sedang bermain di taman rumahnya, lalu merendahkan diri ke posisi jongkok agar bisa menatap Cyra lurus. "Cyra, main sama Bi Ina dulu, ya? Papa mau kerja dulu?" ucapnya sembari mengacak-acak rambutnya.
"I don't have a friend, Papa ...," rajuk putri semata wayangnya.
Ia merasa iba, dan menyesal tidak bisa menemani Cyra. Perasaannya ingin menangis, tetapi ia harus selalu menunjukkan senyum dan kekuatan lebih di hadapan Cyra.
"I'll be home soon, Cyra. Mau Papa bawain sesuatu nanti?"
"Yes, yes." Matanya berbinar. "I want strawberry ice cream!" serunya sambil melompat-lompat girang.
"Oke!" sahutnya kepada Cyra. "Bi Ina, saya minta tolong temani Cyra dulu, ya. Saya ada urusan," paparnya pada asisten rumah tangga yang sudah bekerja cukup lama dengan keluarganya Rain.
"Baik, Pak. Jangan khawatir," jawab Bi Ina seraya memegang tangan Cyra.
"Ayo ... Cyra mandi dulu ya sama Bibi,” tuturnya sambil mengendus baju yang menempel di tubuh mungilnya Cyra.
"Uum ... Cyra udah bau nih. Bau apa, yah?" Bi Ina menggodanya sambil sesekali menggelitiki Cyra. Tawa riang Cyra sudah terdengar lagi. Rain merasa lega bisa meninggalkannya sebentar.
Rain menuju kamarnya, berganti pakaian, dan bergegas ke mobilnya. Pagi itu jalanan sudah cukup lengang, terik matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Sudah jam sembilan, tapi udara dingin masih menyelimutinya.
Untungnya Rain memakai jaket hitam tebal, keluaran brand Christian Dior dan sneakers keluaran brand yang sama.
Ia melajukan kendaraannya dengan kecepatan 60 kilometer perjam. Walaupun pikirannya gelisah, ia sudah merasa bisa menerima keadaan ini.
Mobil Range Rover Velar berwarna putih, memasuki halaman parkir rumah sakit. Seorang pria turun dengan rambutnya yang kali ini tampil tanpa pomade, membuatnya terlihat seperti remaja sukses.
Banyak para pengunjung rumah sakit maupun pasien yang mencuri-curi pandang padanya. Tanpa memedulikan sekitar, ia segera naik lift menuju ke ruang autopsi, dan menemui ahli forensik yang tadi menghubunginya.
"Selamat siang, Pak Rain," ujar Dokter Niko bangkit dari kursinya.
"Siang. Bagaimana, Dok?" ucapnya dengan suara khas seorang pemimpin.
"Begini, saya menemukan beberapa sobek di kepalanya dan ada bekas jeratan tali di tangan dan kakinya."
Rain terbelalak, seraya menutup mulut dengan gumpalan tangannya dan menepuk-nepuk dengan telunjuknya dan satu tangannya berkacak pinggang.
"Korban mengalami benturan kepala sebelum akhirnya terjatuh di lokasi. Anda harus segera mengusut tuntas kasus ini, Pak."
Rain terdiam berpikir sejenak dan yang terlintas di benaknya adalah ... Angkasa. Ia bergegas pamit dari ruang otopsi.
"Dokter, saya permisi. Ada seseorang yang harus saya temui. Terima kasih atas keterangan dan informasinya."
"Sama-sama. Semoga segera tuntas kasusnya, Pak," sahut Dokter Niko sambil berjabat tangan dan menepuk sebelah bahu Rain.
Rain mencoba menghubungi Angkasa, tetapi tak kunjung diangkat. Berkali-kali ia mengulangi panggilan sambil bergegas keluar rumah sakit.
Dugh!
"Awh!" teriak seorang wanita yang baru tertabrak Rain.
"Maafkan saya," sahutnya dan tanpa disadari sambungan telepon yang ia hubungi sudah dijawab.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (249)

  • avatar
    HamidAbdul

    bagus

    23d

      0
  • avatar
    LaillTasbiatul

    slmt pagi novel lah.

    23d

      0
  • avatar
    Zak1Neng

    penasaran ceritanya

    25d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด