logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Membuat Kesalahan Horor

Bangku-bangku di kelas Syifa dan Ardo hampir semua terisi. Kelihatan bahwa bangku itu terisi oleh tas anak-anak.
"Woi Ardo, Syifa!" panggil Mario, ketua kelas bertubuh tinggi tegap, mempunyai kulit sawo matang, ketua tim basket juga, dan memiliki wajah yang tampan.
Orang yang disebut seketika menoleh ke arah sumber suara, mendapati Mario Adipati yang sedang ngos-ngosan dan mengatur pernapasannya mengambil oksigen sebanyak mungkin disamping meja Syifa dan Ardo.
"Ada apa?" tanya Syifa
Mario masih kesulitan untuk berbicara, sehingga dia tak menggubrisnya. Setelah beberapa saat keheningan terjadi, Mario segera menjawab, "itu, anu... Ngng... Itu..." ucapnya tertatih-tatih.
"Itu, anu. Apaan sih? Ngomong yang jelas dong!" gerutu Ardo.
"Sorry," ucap Mario membentuk kedua jari tangannya menjadi bentuk V.
"Kalian berdua dipanggil ke kantor sama pak Subroto," lanjutnya.
"Pak Subroto?" ucap Ardo dan Syifa bersamaan.
"Iya, kalian dipanggil ke kantor guru," ucapnya.
Ardo dan Syifa tampak berpikir. Apakah mereka berbuat kesalahan sampai dipanggil seperti ini? Sepertinya tidak. Lalu apa yang membuat guru bertubuh tambun itu memanggil mereka? Apa ada yang ingin beliau tanya atau ceritakan? Mereka tidak dapat berpikir jernih saat ini. Semua tiba-tiba.
Tak mendapat sahutan dari dua manusia di depannya, Mario melambaikan tangannya di depan wajah mereka berdua. Syifa dan Ardo tersentak kaget, kembali ke alam sadarnya.
"Kok kalian jadi linglung gini sih? Buruan kesana, temui." ucap Aldi kembali.
"Eh, sorry." ucap Ardo.
"Makasih pemberitahuan nya, kalau gitu kita berdua pergi dulu." ucap Ardo menarik pergelangan tangan Syifa lembut.
***
Sesampainya di kantor guru, Syifa maupun Ardo melihat Pak Subroto sedang menulis sesuatu di secarik kertas. Pelan namun pasti mereka menghapirinya.
"Permisi pak," ucap Ardo sopan, membuka perbincangan dengan berbasa-basi.
Pak Subroto menoleh, mendapati Syifa dan Ardo dengan raut wajah kebingungan, lalu tersenyum.
"Kalian berdua ternyata. Mari, silahkan duduk." ucapnya dengan lantang.
Mereka berdua segera duduk setelah mendapat instruksi untuk duduk.
Ardo dan Syifa saling melirik, tak mengerti dengan maksud Pak Subroto. Hingga terjadi keheningan selama sepuluh menit.
"Maaf sudah menunggu lama," ucap Pak Subroto meletakkan secarik kertas yang tadi beliau tulis diatas tumpukan kertas-kertas lainnya.
Ardo dan Syifa tersenyum kikuk.
"Oh iya pak gak masalah kok," jawab Syifa.
"Hm pak, saya boleh tanya sesuatu?" ucap Ardo segan-segan.
"Oh silahkan saja, saya tidak melarang. Dengan senang hati," Pak Subroto mempersilahkan Ardo bertanya.
Ardo diam. Bingung memulai pertanyaan dari mana.
"Sebelumnya maaf pak, saya dan Syifa sedari tadi bingung dengan maksud bapak memanggil kita berdua," ucap Ardo.
Pak Subroto mengerti dan menarik kedua sudut bibirnya sehingga timbul sebuah senyuman hangat dari pria paruh baya itu.
"Jadi begini, maksud saya memanggil kalian berdua itu..." ucapan nya terpotong dikarenakan kedatangan seorang guru staf di SMA negeri 8 Jakarta ini.
Pak Subroto beranjak dari kursi nya mendekat pada wanita itu. Setelah beberapa menit, Pak Subroto kembali duduk.
"Maaf jadi nunggu lama," ucapnya.
"Jadi begini, saya dan bapak kepala sekolah mengutus kalian berdua sebagai perwakilan dari SMA kita ini untuk mengikuti olimpiade fisika  tingkat SMA yang akan di adakan bulan depan. Bapak berharap besar sama kalian," ucap Pak Subroto melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda.
Ardo dan Syifa kembali saling melirik. Bingung harus menjawab apa. Di satu sisi keduanya merasa senang mendapat kepercayaan untuk mengikuti olimpiade itu, namun disatu sisinya lagi kedua nya takut. Takut dalam arti, tidak bisa mengharumkan nama SMA mereka. Mereka takut kalah. Tapi apapun itu, setiap pertandingan pasti ada yang menang dan ada yang kalah.
"Bagaimana?" tanya Pak Subroto menghancurkan kebingungan yang ada.
"Ehm.. Gimana ya pak," ucap Ardo dengan nada yang kentara bingung.
"Bapak dan kepala sekolah tidak menerima penolakan. Apapun itu," putus Pak Subroto dengan cepat.
"Jadi kalian berdua harus mau, dan lakukan yang terbaik. Olimpiade akan diadakan bulan depan. Persiapkan mental kalian, jaga kesehatan. Belajar dari sekarang agar menang." ucap Pak Subroto mengakhiri.
Ardo dan Syifa sulit sekali rasanya untuk bernapas saat ini. Sepertinya pasokan oksigen menjauh seketika dari mereka.
"Baik pak, kami akan belajar untuk persiapan bulan depan," ucap Ardo pelan.
"Bagus." jawab Pak Subroto dengan seulas senyum yang lebar.
"Kalau begitu kami permisi pak. Soalnya udah ketinggalan pelajaran, pak." lirik Ardo melihat jam dinding.
"Silahkan."
Ardo dan Syifa pun beranjak dari sana, dengan pikiran yang berkecamuk. Saat ini mereka berjalan dengan langkah-langkah pendek.
Bel masuk pelajaran pertama sudah berbunyi sejak dua puluh menit terkahir. Terlihat koridor yang sepi dan guru-guru sudah tidak terlihat dipermukaan karena sudah memulai pelajaran sesuai mata pelajaran yang mereka bawakan.
***
Ardo serta Syifa memasuki kelas, Pak Bowo yang sedang mengajarkan materi kaget melihat kedatangan mereka berdua. Keadaan kelas yang tadinya hening kini bertambah hening dengan kedatangan Ardo dan Syifa. Tatapan mengerikan Pak Bowo seakan tak lepas dari mereka.
"Darimana kalian?" tanya Pak Bowo, memperhatikan kedua nya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ardo dan Syifa diam. Tak tahu harus menjawab apa. Bukannya mereka tak mau menjelaskan jika tadi nya mereka dipanggil ke kantor guru, jika melibatkan Mario sang ketua kelas yang disuruh Pak Subroto memanggil mereka berdua, tidak mungkin. Lalu, mereka pun di rundung kebingungan. Bingung untuk merangkai kata-kata yang pas. Secara, Pak Bowo itu susah sekali buat percaya sama orang. Padahal orang itu sudah berkata jujur tetapi dengan pendirian nya yang begitu kuat, sulit rasanya untuk berkata agar beliau percaya.
"Kalian punya mulut kan? Kenapa diam saja," tanya nya.
"Maaf pak. Kami berdua tau kalau kami sudah ketinggalan pelajaran. Soalnya habis dari kantor pak. Ada urusan sama Pak Subroto." jawab Ardo dengan tegas.
"Dari kantor? Ada urusan sama Pak Subroto? Emangnya ada urusan apa kalian berdua dengan beliau?" tanya Pak Bowo dengan kerutan di dahinya.
Tiba-tiba setetes keringat terjun bebas dari pelipis Ardo, begitu pun juga dengan Syifa telapak tangannya yang basah karena takut. Benar-benar situasi yang begitu menvekam.
Pak Bowo tidak kejam, tapi tegas. Beliau tidak suka jika muridnya telat masuk kelas barang sedetik pun itu. Dan, jika alasannya mengada-ada beliau tidak segan-segan akan menghukum.
"Iya pak, tadi pagi sebelum bel masuk kita berdua dipanggil..." Ardo menjelaskan semuanya.
Pak Bowo pun mengerti sambil memegang kumisnya yang super-super tebal.
"Yasudah lah kalau begitu. Saya percaya, walaupun masih sedikit ragu. Biarlah. Saya akan tanyakan saja langsung sama beliau akan kebenaran nya. Kalau begitu silahkan kalian berdua duduk." ucap Pak Bowo mempersilahkan.
Ardo, Syifa akhirnya bisa bernapas lega. Kedua nya berjalan beriringan sampai di meja.
***
Ketika bel istirahat pertama bunyi, Pak Bowo mengakhiri materinya dikelas XII Mia 2. Sesudah beranjak dari kelas, anak-anak berkeluaran pergi ke kantin. Termasuk Syifa dan Ardo.
Sesampainya di kantin, hiruk pikuk kantin terlihat begitu sesak dengan anak-anak. Seperti biasanya Ardo, Syifa, Elna, juga Amanda berkumpul di meja kantin.
"Huft. Pelajaran Buk Diana tadi bener-bener HOROR!" ucap Amanda penuh tekanan di kata horor.
"Masih mending," serbu Elna.
"Dikelas gue tadi yang masuk pak kepsek, tau gak. Lebih hororan kelas gue kan?" sambungnya.
"Ahh, gak tau deh. Pusing kepala gue." akhir Amanda.
Keadaan kembali hening, tak ada yang membuka perbincangan. Hanya suara anak-anak lain yang berebutan pesanan makanan terdengar. Keempat nya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Detik berikutnya... Lamunan Amanda buyar, ketika seorang pria bertubuh tegap tinggi menepuk bahunya pelan.
"Ngelamun aja, lo." ucap Pria itu.
"Eh, sorry," jawab Amanda gelagapan.
Pria itu tersenyum, kemudian mengambil posisi duduk tepat disebelah Amanda. Sementara Ardo, Syifa dan Elna heran kenapa pria ini ada disini bersama mereka dan kelihatan begitu dekat dengan Amanda.
"Hai, boleh gabung kan gue?" tanya pria itu berbasa-basi yang kemudian di hadiahi anggukan kecil dari ketiganya.
"Makasih loh," ucapnya lagi yang kini dengan senyuman manis terukir diwajahnya.
Amanda yang mengerti dengan situasi langsung mencairkan nya.
"Eh, Syif, El, kalian tau gak?" tanya Amanda
"Enggak." ucap Syifa dan Elna berbarengan.
Amanda menghembuskan napasnya kasar, kenapa bisa sih dia punya sahabat seperti mereka. Terkadang ini tidak adil. Ya memang tidak ADIL.
"Tau ah, gelap hidup lo pada!" ucap Amanda ketus
"Yee, mkk malah ngatain hidup kita gelap sih? Hidup lo sendiri juga gelap kali." balas Elna tak kalah ketusnya.
"He-eh! Bener tuh. Sadar woi, sadar." sambung Syifa.
Seperti itulah persahabatan. Kadang masalah kecil bisa di perbesarkan sampai akhirnya mereka membuat itu hanya bahan candaan semata. Tertawa bersama, bersedih juga bersama.
"Sembarangan ngomong lo pada," cerca Amanda.
"Lah kok sembarangan? Fakta kali Man," balas Elna tak mau kalah dari Amanda.
"Ah sudahlah lupain." akhir Amanda, yang mendapat gelak tawa dari Syifa, Elna, Ardo, dan pria disebelahnya.
"Apanya sih yang harus dilupain?" tanya pria itu dengan nada menggoda.
"He, gak ada." wajah Amanda sudah semerah tomat sekarang.
"Oke, fine." lanjutnya.
Tiba-tiba pria itu mengulur kan tangannya pada Ardo, lalu dibalas Ardo dan mereka pun berjabat tangan.
"Kenalin nama gue Satya." ucap Satya.
Ya! Pria itu adalah Satya. Calon pacar Ratu Amanda. Gitu sih katanya.
"Gue Leonardo, panggil Ardo saja." balasnya
"Leonardo? Dipanggil Ardo? Hm.. Gue panggil Leon aja gimana?" tanya Satya dengan posisi masih berjabat tangan.
"Haha masa iya gue dipanggil Leon? Kaya singa aja gue! Horor." balasnya, selanjutnya jabatan tangan yang terlepas.
"Loh kenapa emang? Anggap aja itu nama kesayangan gue ke lo," godanya dengan cengiran.
Ardo menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal.
"Terserah lah." ucapnya mengiyakan.
"Haha, lucu lo." ucap Satya.
Satya beralih pada Elna dan melakukan nya seperti Ardo tadi. Begitu pun pada Syifa.
Syifa yang memiliki sikap introvert hanya diam, tak menggubris sikap baik Satya.
"Eh, lo kok diam aja?" tanya Satya yang tidak tahu bagaimana sikap Syifa terhadap orang baru kenal.
"Hm,, gak. Gue..." tak membalas dan mengambil uluran tangan Satya, "nama gue Syifa." balas Syifa dengan gelagapan dan setetes keringat jatuh, terjun bebas dari pelipisnya.
"Ohh, salam kenal kalau gitu buat kalian bertiga."
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (31)

  • avatar
    PratiwiBunga

    bagusss bangett

    22/07

      0
  • avatar
    Muhd Zuhair

    good seronok membaca

    30/06

      0
  • avatar
    EdayantiSelvi

    sangat bagus untuk aplikasi ini bagi saya 👍👍😃

    25/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด