logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Sampai di Pertigaan Jalan

Bersekutu Dengan Iblis
Part 6
***
Setelah sekitar tiga jam menempuh perjalanan, sepeda motor yang kami berempat kendarai mulai memasuki jalan desa. Suasana di sekitarnya tidak terlalu ramai seperti ketika kami melintas di jalan perkotaan tadi. Laju kendaraan yang lalu lalang pun tidak sebanyak saat kami berada di jalan raya. Hanya ada beberapa buah sepeda motor yang kebetulan berpapasan dengan kami. Dan hanya ada dua buah mobil pengangkut barang yang kami jumpai di jalan desa ini. Selebihnya hanya sepeda dan becak yang melintas di ruas jalan yang tidak terlalu lebar tersebut. Menjadikan jalanan tidak bising oleh suara deru kendaraan yang berseliweran.
Di sisi sebelah kiri dan kanan jalan masih banyak pepohonan yang tumbuh dengan subur. Aku melihat banyak pohon pisang dan mangga yang tumbuh di sepanjang jalan yang kami lalui. Membuat udara terasa sejuk dan suasana menjadi adem. Semua pepohonan itu entah memang sengaja ditanam di sana atau tidak oleh seseorang. Tapi yang pasti, aku melihat pepohonan itu sedang berbuah lebat, membuat siapa saja yang melihatnya ingin memetik buahnya yang sangat menggoda.
Sebelumnya, beberapa kali Pak Ratno menghentikan sepeda motor miliknya untuk menanyakan alamat rumah Abah Karta kepada orang yang kami jumpai di jalan. Dan sebagian besar dari mereka memandang kami dengan tatapan aneh seraya menautkan kedua alis, seperti yang merasa heran, ketika Pak Ratno menanyakan alamat itu. Entah kenapa. Aku hanya membatin dalam hati tentang hal itu, tanpa menanyakan keherananku tersebut pada Pak Ratno. Padahal sebenarnya aku juga merasa penasaran.
Pinggangku rasanya seperti mau patah, dan bokong terasa amat panas. Sebab selama hampir tiga jam aku duduk di atas jok sepeda motor. Dan belum pernah sekali pun berhenti untuk beristirahat. Atau sekadar meluruskan punggung yang sudah tidak karuan rasanya. Berulang kali aku mencoba merubah posisi duduk, berusaha mencari posisi yang pas, bagaimana caranya agar terasa enak dan nyaman duduk di atas jok sepeda motor selama dalam perjalanan. Mungkin Pak Ratno agak terganggu dengan tingkahku itu, sebab sedikit banyak gerakanku merubah posisi duduk, pasti membuat badan sepeda motor bergerak agak kuat bahkan sampai menimbulkan guncangan. Beruntung Pak Ratno adalah seorang pengemudi yang handal. Dengan sigap dia segera meluruskan kembali posisi stang yang oleng secara tiba-tiba karena gerakan yang aku lakukan.
Sebenarnya aku merasa agak tidak enak hati pada teman Om Dedi itu, tapi mau bagaimana lagi. Pinggangku betul-betul rasanya sakit sekali dan bokongku seperti terbakar. Pada awalnya aku masih bisa untuk menahan hal tersebut, duduk di posisi seperti saat akan berangkat dari rumah Tante Ningsih tadi karena merasa sungkan pada Om Ratno. Tapi lama kelamaan aku sudah tidak sanggup lagi untuk menahan hal itu. Daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diriku, ya aku pikir lebih baik mengabaikan sungkan dan rasa tidak enak hati tersebut.
Dan yang membuat aku merasa aneh serta heran, aku melihat Nova tampaknya tidak merasakan seperti apa yang aku rasakan. Dia terlihat duduk dengan tenang di jok belakang sepeda motor Pak Yanto. Sejak berangkat dari rumah Tante Ningsih tadi, tak sekali pun aku melihat Nova merubah posisi duduknya, seperti yang aku lakukan. Bahkan dia tampak amat menikmati perjalanan kami. Sesekali pandangannya melihat ke sebelah kiri, lalu bergantian ke sebelah kanan, dengan posisi tangan seperti orang yang sedang berkacak pinggang. Aku bisa melihat semua yang Nova lakukan dengan sangat jelas, karena sepeda motor yang kami (aku dan Pak Ratno) kendarai berjalan di belakang sepeda motor yang dikendarai oleh Pak Yanto dan Nova. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
[Aneh banget sih. Kenapa Nova dari tadi kelihatan tenang banget dan nggak sekali pun dia merubah posisi duduknya kayak aku. Nova bahkan tampak biasa saja dan malah kayak yang menikmati perjalanan ini. Apa dia nggak ngerasain sakit pinggang kayak aku ya? Apa bokongnya nggak kerasa panas kayak kebakar ya? Kok bisa sih? Atau mungkin sebetulnya dia juga pegel dan kepanasan kayak yang aku rasakan sekarang, tapi dia berusaha untuk tahan]
Bermacam pertanyaan soal Nova yang terlihat amat tenang selama dalam perjalanan, dan hal tersebut menurutku adalah hal yang aneh dan membuat heran, singgah di kepala. Nanti coba aku tanyakan ke dia kalau kami berhenti untuk istirahat, aku membatin.
"Pak, apa masih jauh tempatnya? Dari tadi kok kita nggak sampai juga? Padahal perasaan saya, kita udah jauh dan lama banget di jalan," tanyaku pada Pak Ratno, ketika menjelang waktu zuhur. Sebab aku merasa, kami sudah menempuh jarak yang sangat jauh dan amat melelahkan, tapi belum sampai juga di tempat yang kami tuju.
"Masih lumayan jauh, Neng. Mungkin kurang lebih dua jam lagi kita baru sampai sana," jawab Pak Ratno.
Sejenak aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dadaku rasanya agak sesak, seperti ada beban berat yang menghimpitnya. Aku tidak tahu lagi seperti apa perasaanku saat ini. Dan tak tahu harus bicara apa. Dua jam bukanlah waktu yang sebentar. Berpuluh kilometer jarak bisa ditempuh dengan rentang waktu sepanjang itu. Padahal perjalanan yang kami lalui sudah jauh sekali menurutku, tapi ternyata kami masih akan menempuh jarak lebih jauh lagi.
"Kalau gitu, nanti waktu dengar suara azan zuhur, tolong berhenti sebentar di masjid ya, Pak. Saya mau salat zuhur dulu," titahku pada lelaki teman Om Dedi itu. Sebab awalnya aku pikir, rumah Abah Karta sudah dekat, jadi aku bisa numpang salat zuhur di rumahnya, tak perlu berhenti sejenak di tengah jalan. Tapi ternyata kata Pak Ratno masih lumayan jauh.
Pak Ratno tidak menjawab. Dia hanya menganggukan kepala, tanda kalau dia mendengar dan mengiyakan ucapanku.
Tak lama berselang, terdengar suara azan berkumandang dari toa masjid yang ada di tengah perjalanan. Tanda sudah tiba waktu untuk melaksanakan salat zuhur. Pak Ratno pun segera menepikan sepeda motornya dan masuk ke halaman sebuah masjid yang kami temui di jalan. Sebelumnya dia membunyikan klakson, sebagai isyarat agar Pak Yanto dan Nova yang berada di depan kami mengetahui, kalau aku dan Pak Ratno sedang berhenti di sebuah masjid.
Aku segera turun dari jok belakang sepeda motor milik Pak Ratno dan bergegas mengambil air wudu. Lalu ikut salat zuhur berjama'ah yang sudah dimulai. Sedangkan kedua lelaki teman Om Dedi dan Nova duduk menunggu di teras masjid.
"Va, mending kita batalin aja pergi ke rumah Abah Karta-nya ya. Kita putar balik lagi aja ke rumah Tante Ningsih," kataku sambil berusaha membujuk Nova, setelah selesai salat. Sebab entah kenapa, perasaanku makin tidak enak. Rasa khawatir yang awalnya hanya sepintas lalu, sekarang kian terasa. Aku merasa akan ada sesuatu yang terjadi, jika kami tetap melanjutkan perjalanan pergi ke rumah Abah Karta.
Nova tak mengatakan apa pun. Gadis itu hanya memandangku sekilas, lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Pak Yanto yang sudah duduk menunggu di atas sepeda motor miliknya. Aku menarik napas panjang, setengah putus asa. Dengan terpaksa aku pun segera bangkit dari duduk dan berjalan mengikuti Nova.
Sepeda motor yang dikendarai oleh Nova dan Pak Yanto perlahan meninggalkan halaman masjid. Dan sepeda motor yang dikendarai oleh kami (aku dan Pak Ratno) pun segera menyusul mereka.
Entah sudah berapa buah desa saja yang kami lewati. Namun kami belum juga sampai di rumah Abah Karta. Betul-betul sebuah perjalanan yang teramat jauh dan melelahkan. Sepanjang hidupku, rasanya baru pertama kali ini aku melakukan perjalanan sampai sejauh ini, bahkan belum tahu pasti, akan berapa lama lagi jarak yang harus kami tempuh untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Benar-benar suatu perjalanan yang teramat aneh dan mengherankan.
Beberapa kali juga Pak Ratno menghentikan sepeda motornya, untuk bertanya pada seseorang yang kami jumpai di jalan, alamat rumah Abah Karta yang tertulis di secarik kertas pemberian Iyul, dan selalu dijawab masih jauh oleh mereka. Dan aku hanya bisa menyesal dan merutuki diri sendiri, kenapa tempo hari aku mau saja diajak Nova untuk mengantar dia pergi ke rumah Abah Karta, tanpa berpikir lebih dulu dan menanyakan dengan detail alamat rumah yang akan kami datangi. Kalau saja waktu kemarin aku tidak bersedia diajak Nova, tentu saat ini aku tak akan merasa kelelahan seperti sekarang. Tapi apa mau dikata, bukankah semua penyesalan itu datangnya belakangan? Nasi sudah menjadi bubur, dan semuanya sudah terjadi. Tidak ada gunanya lagi aku menyesali diri. Toh sekarang aku sudah berada sampai di tempat ini. Hitung-hitung aku sedang melakukan sebuah petualang, aku membatin sembari berusaha menghibur diri.
Sekitar pukul tiga sore, kami berempat sampai di sebuah pertigaan jalan desa. Pak Ratno dan Pak Yanto menghentikan sepeda motor mereka masing-masing. Sepertinya mereka berdua merasa ragu, harus menempuh arah jalan yang sebelah mana. Tampak mereka saling berpandangan sebentar.
"Kita lanjut ke jalan yang sebelah mana ya, Pak Yanto?" tanya Pak Ratno sembari memandang Pak Yanto.
Pak Yanto menggeleng. "Mana aku tahu, Pak. Kita berdua kan belum pernah datang ke tempat ini," jawab Pak Yanto.
Sejenak kedua orang teman Om Dedi itu saling bersitatap. Mereka kemudian mengalihkan pandangan mengitari sekitar tempat kami berhenti. Terlihat dari kejauhan beberapa orang lelaki yang sedang duduk di sebuah gardu pos kamling yang ada di salah satu pertigaan jalan tersebut.
"Coba kita tanya ke mereka yang sedang duduk di gardu pos kamling itu saja, Pak Ratno," usul Pak Yanto setelah beberapa saat dia memperhatikan gardu yang ada di salah satu jalan pertigaan.
Pak Ratno pun mengangguk tanda setuju.
"Ayolah, daripada nanti kita nyasar malah bikin perkara, bisa repot urusannya," ucap Pak Ratno.
Tanpa membuang waktu, maka Pak Ratno dan Pak Yanto pun mengarahkan sepeda motor mereka menghampiri para lelaki yang sedang duduk di gardu pos kamling tersebut. Jumlah mereka ada enam orang. Sepertinya keenam orang lelaki itu memang sedang bersantai sambil duduk bersila dan bermain catur, karena aku lihat ada segelas air kopi di depan mereka masing-masing. Serta dua buah piring berisi gorengan (tempe, tahu bunting, combo, cireng dan bakwan), yang isinya masih penuh. Juga ada sebuah papan catur yang sedang dimainkan.
"Selamat siang Bapak-Bapak. Assalamualaikum. Maaf mengganggu waktunya sebentar. Punteun abdi bade naroskeun alamat bumi jalmi (maaf saya mau tanya alamat rumah seseorang)," sapa Pak Ratno dengan logat Bahasa Sunda yang kental.
"Waalaikum salam," jawab keenam orang lelaki itu hampir bersamaan. Mereka sontak memandang ke arah kami berempat.
"Naroskeun alamat bumina saha (tanya alamat rumah siapa), Kang?" tanya lelaki yang duduk paling pinggir.
"Alamat rumah Abah Karta, Pak. Apa di antara Bapak-Bapak ada yang tahu, ke arah jalan yang sebelah mana kami harus pergi?" tanya Pak Ratno sembari memberikan secarik kertas bertuliskan alamat Abah Karta kepada salah seorang lelaki itu, setelah dia turun dari sepeda motornya.
Bapak yang diberi kertas oleh Om Ratno lalu membaca alamat tersebut sambil mengerutkan dahi. Dia lantas memberikan secarik kertas tersebut kepada orang yang duduk di sebelahnya. Hingga semua orang lelaki yang ada di gardu pos kamling itu membaca alamat rumah Abah Karta.
"Kalau mau ke rumah Abah Karta lewat jalan sini, Kang," kata lelaki pertama yang diberi alamat itu oleh Pak Ratno, seraya menunjuk sebuah jalan tanah, salah satu jalan pertigaan yang ada di depan kami. Yang belakangan aku tahu kalau dia bernama Pak Gunawan.
"Apa di antara Bapak-Bapak ada yang bisa mengantar kedua Eneng ini ke rumah Abah Karta? Soalnya saya dan teman saya nggak bisa mengantar sampai ke sana. Saya masih ada urusan yang harus dikerjakan hari ini. Saya minta tolong pisan, Pak," tanya Pak Ratno.
Pak Gunawan dan kelima orang temannya yang sedang duduk di gardu pos kamling itu saling berpandangan. Mereka kemudian saling bertanya satu sama lain, siapa kira-kira di antara mereka berenam yang mau dan bisa mengantar aku dan Nova pergi ke rumah Abah Karta.
"Ini si Muhidin sama si Kiswoto yang bisa nganterkan Eneng berdua ke sana, Kang," kata Pak Gunawan, sesaat setelah dia dan kelima orang temannya selesai berunding.
"Neng, saya sama Pak Yanto cuma bisa nganter sampai di sini. Punteun pisan nya, Neng. Nyuhunkeun dihampura (maaf sekali ya, Mbak. Mohon dimaklumi) Nanti Eneng berdua akan diantar ke rumah Abah Karta oleh Pak Muhidin dan Pak Kiswoto," kata Pak Ratno sembari memandang ke arahku dan Nova secara bergantian, begitu dia selesai berbincang dengan Pak Gunawan beserta kelima orang temannya.
"Oh … iya, Pak. Nggak apa-apa. Terima kasih banyak Pak Ratno dan Pak Yanto sudah mau mengantar kami berdua sampai sini," kata Nova.
Nova kemudian memberikan ongkos ojek pada Pak Ratno dan Pak Yanto, seperti yang sudah disepakati sebelum kami berangkat dari rumah Tante Ningsih tadi. Mereka berdua pun segera pamit lantas pergi meninggalkan aku dan Nova. Setelah itu aku membonceng sepeda motor milik Pak Muhidin sedangkan Nova dibonceng oleh Pak Kiswoto. Setelah semuanya siap, sepeda motor yang membawaku dan Nova pun perlahan meninggalkan gardu pos kamling, menuju ke rumah Abah Karta.
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (218)

  • avatar
    Fino Chipeng

    lopee

    16h

      0
  • avatar
    CHANNELBETAWI

    sangat bagus

    6d

      0
  • avatar
    Adenata123Arganta yuda

    halo

    16d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด