logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

7. In The Night..

Susana rumah Artha memang sepi di siang hari, tapi kalau malam, ramenya ngalahin pasar malam. Apalagi kalau papanya pulang lebih cepat dan mereka menyempatkan untuk makan malam bersama. Ramai sudah rumah mewah Irfan.
"Tadi, papa digodain mbak Pudina," ujar Irfan buka suara sembari bergidik membayangkan bencong lampu merah yang suka nanyi sama monyong-monyongin bibir.
Mendengar nama Pudina, Rigan sontak tertawa. Apalagi didepannya ditambah pakai kata mbak. "Pudina? Papa tau darimana namanya Pudina?"
"Tadi, dia ngajak kenalan soalnya," jawab Irfan.
"Namanya Udin, di genderin jadi Pudina. Sangat tidak kreatif," celetuk Ifan.
"Kamu kenal?"
"Kenal. Dia sering godain Ifan waktu berhenti di lampu merah." Artha menyahut. Dia betulan kenal dengan bencong itu. Bahkan mereka sempat berbagi cerita sembari menunggu lampu berubah hijau.
Ifan bergidik ngeri membayangkan Pudina yang memakai wig berwarna pirang, rok mini pendek warna merah, baju adiknya yang ukuran S dan wajah yang dipoles mirip ondel-ondel. Jika dibandingkan dengan ondel-ondel, Pudina masih menang seram. Mungkin posisi anabelle juga digeser bencong itu.
"Ish, nggak usah gibahin benconglah. Dosa," ujarnya membuat Artha tertawa. Adiknya itu memang agak trauma dengan bencong karena selalu digoda dan disentuh-sentuh. Salah sendiri kenapa ganteng. Sejenis juga naksir jadinya kan.
Irfan dengan tawa samarnya lanjut makan. Sedangkan Rigan hanya geleng-geleng kepala. Makan malam berlanjut hikmat dan tentunya nikmat diselingi dengan canda tawa serta cerita dari Ifan. Anak itu menceritakan betapa tersiksanya dia dengan wajah tampannya sebab banyak sekali kaum hawa mengidolakannya. Anak itu sempat memegang kepala sok pusing, membuat Rigan dan Artha memutar bola mata jengah mendengarnya.
Keluarga Yunanda usai dengan makan malam. Kini, mereka berkumpul di ruang tengah, hendak nobar film horor terbaru. Rigan sudah menyiapkan proyektor. Tidak asik kalau nobarnya di laptop. Sementara Irfan pergi mandi karena sepulang dari kantor langsung makan. Dan Artha, gadis itu rebahan diatas sofa memperhatikan Rigan yang sibuk dengan proyektor.
"Beli cemilan gih," suruh Rigan pada Artha yang hanya leha-leha. Sedangkan adiknya yang satu lagi entah nyempil dimana. Tidak kelihatan lagi sejak selesai makan malam.
Artha memiringkan posisinya, menatap Rigan. "Abang nyuruh aku?"
Rigan menoleh. "Bukan. Si Ifan aja. Ini udah malam."
"Aku ikut!"
Rigan mengehela nafas. "Kamu di rumah aja. Biar Ifan pergi sendiri."
Artha merubah posisi menjadi duduk, menatap Rigan memelas. "Ayolah. Cuma sekali doang."
"Yaudah. Hati-hati perginya," ujar Rigan akhirnya mengalah. Melarang itu adalah sebuah bentuk kesia-siaan. Artha selalu saja mampu mengubah kata 'tidak' menjadi 'iya.'
Gadis itu tersenyum lebar. Dia beranjak turun dari sofa, berjalan menghampiri Rigan yang masih sibuk dengan proyektor. Dengan gerakan cepat, Artha mencium pipi Rigan, membuat si empu berhenti bergerak. Laki-laki berlesung pipi itu menoleh, mendapati senyum lebar dari sang adik. Akhirnya, Rigan ikut mengembangkan senyumnya. Senyuman tulus khusus untuk Artha yang sudah berlari meninggalkan ruang tengah. Adik perempuan satu-satunya.
***
Motor scopy abu-abu itu berhenti di depan super market terdekat. Kedua penunggang kuda besi itu lantas turun dengan perasaan bahagia. Bahkan Artha lupa melepas helmnya karena saking semangatnya berbelanja. Niatnya ikut ke super market untuk membeli minuman kopi yang ada gambar idol korea dan kopi yang bintang iklannya Lukas. Makanya, Artha semangat sekali.
Ifan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kakaknya. Melihat senyum itu tak pernah pudar adalah suatu kebanggaan bagi Ifan. Artha adalah satu-satu bidadari sekaligus ratu yang harus dia jaga. Tidak akan Ifan biarkan siapapun melenyapkan senyum itu dari wajah Artha. Gadis berhodie yang sedang sibuk memilih minuman di lemari pendingin itu sangat berarti bagi Ifan, dan tentunya bagi keluarga.
"Aku ke rak ciki dulu, ya," ujar Artha.
Ifan tak menjawab. Dia bergerak mendekat, mengulurkan tangannya untuk melepaskan helm yamaha yang masih melindungi kepala sang kakak. Setelahnya dia mengangguk, mengiyakan ucapan Artha yang tadi.
"Gue tunggu dikasir."
Artha mengangguk, berlalu pergi menuju rak berisi aneka micin berbagai varian rasa. Dia tersenyum senang saat makanan kesukaannya ada disana. Citato. Tanpa banyak pikir, dia meraih tiga buah citato berukuran besar. Tak lupa, Artha juga mengambil popcorn sebagai teman makan saat nonton nanti.
Usai dengan permicinan, Artha beralih menuju rak yang berisi makanan akhir bulan anak kos. Ya, apa lagi kalau bukan selera beribu rasa dengan bentuk yang sama. Indomie.
Artha pencinta indomie garis keras. Bahkan, dia sampai rela memburu seluruh varian rasa indomie. Dan sekarang, salah satu varian rasa langka yang mejadi pelengkap perjuangannya selama ini ada didepan mata. Indomie rasa rendang.
Tangan gadis itu terulur untuk meraih indomie rendang itu. Namun, ada tangan lain yang secara bersamaan juga ingin mengambil karbohidrat berbentuk keriting itu. Tangan mereka bersentuhan, membuat Artha mau tak mau menoleh.
"Genta?"
Jelas Artha kaget. Tangan itu adalah tangan Genta. Ketua kelasnya yang aneh—kalau menurutnya. Laki-laki berhodie hitam yang tudungnya menutupi kepala itu juga sama terkejutnya. Tidak menyangka akan bertemu dengan anggota baru kelasnya.
Keduanya menarik tangan masing-masing. Seketika rasa canggung menghampiri Artha. Sedangkan Genta nampak biasa saja.
Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hodie. Dia menoleh, menatap Artha yang menundukkan kepala. "Ambil."
"Kamu aja. Aku bisa ambil yang lain," ujar Artha masih dengan kepala menunduk. Tangannya terulur mengambil mie apa saja. Setelahnya, dia berlalu pergi tanpa berkata apapun lagi.
Genta spontan meraih pergelangan tangan Artha, membuat langkah gadis itu terhenti dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
"Gue tau lo mau mie ini," ujarnya meletakkan indomie rasa rendang yang tersisa satu diatas telapak tangan Artha.
"Tapi kamu juga mau ini, kan? Jadi ambil, buat kamu." Artha menyerahkan mie itu pada Genta.
"Iya, tapi laki-laki sejati itu harus ngalah sama perempuan. Jadi, ambil dan bayar," ujarnya dan berlalu pergi.
Kening Artha berkerut. Laki-laki yang menjabat sebagai ketua kelasnya itu sangat aneh. Kadang humble, kadang dingin dan kadang tidak jelas. Sulit ditebak.
Tapi ya, jujur, sikap aneh laki-laki itu kerap membuat Artha deg-degan. Terlebih lagi saat Genta meraih pergelangan tangannya tadi. Drama korea sekali. Begitu sekiranya yang Artha bayangkan.
Artha beranjak dari rak makanan instan, melangkah menuju rak yang berisi alat-alat mandi seperti sabun, shampo dan alat lainnya. Dan disini, Artha kembali bertemu dengan Genta. Laki-laki itu nampak mencari sesuatu.
"Kamu lagi," ujar Artha membuat Genta terlonjak kaget.
Artha tertawa pelan karena raut wajah Genta yang nampak lucu. Buru- buru laki-laki itu menormalkan raut wajahnya. "Lo ngapain disini?"
"Mau ambil sabun mandi sama shampo," jawab Artha mengambil barang yang baru saja dia sebutkan.
Genta tak menanggapi. Dia lanjut menelusuri isi rak, mencari barang pesanan ibunya. Artha menatap Genta. Dia mengerjap. "Cari apa?"
"Pembersih kamar mandi," jawabnya tanpa menoleh.
Artha beroh. Dia meraih barang yang dicari Genta. Kebetulan letaknya tak jauh dari tempat Artha berdiri. "Nih, sabun pembersih kamar mandi." Artha memberikan barang itu pada Genta.
"Makasih."
"Iya." Artha tersenyum manis. "Nyari apa lagi?"
Genta mengembangkan kertas kecil berisi barang pesanan kanjeng mama. "Baking soda, tepung ketan, terigu sama pewarna makanan."
"Oh, itu. Kita ke sana," ujar Artha memimpin jalan. Jadilah, Artha membantu Genta mencari barang-barang yang baru saja laki-laki itu sebutkan.
Mereka berjalan menyusuri rak, mencari tepung ketan yang entah bersembunyi dimana. Senyum tipis terbit di bibir Genta kala Artha menemukan barang yang mereka cari. Artha memang biasa saja. Wajahnya yang serius saat membaca tanggal expire pada kemasan baking soda menarik Genta untuk menatapnya lebih dalam.
Usai memenuhi pesanan mama Genta, keduanya melangkah menuju lemari pendingin. Katanya Genta mentraktir Artha minuman sebagai ucapan terima kasih.
"Yah, nggak ada," lesuh Artha kala minuman yang dia idamkan tidak ada di lemari pendingin itu. Tadi di lemari pendingin pertama di depan mini market minuman yang dia cari juga tidak ada.
"Lo mau minuman apa emangnya?" tanya Genta. Terdengar datar, namun sudah tak terlalu dingin. Ini semua berkat perbincangan singkat mereka saat tur mencari tepung ketan dan kawan-kawannya tadi.
"Lupa namanya apa. Tapi dibotolnya ada gambar artis korea." Artha menjawab sembari meraih minuman lain.
Genta terkekeh pelan. "Udah?"
"Emang boleh ambil yang lain?" tanya Artha berbinar. Ya, beginilah Artha. Tidak menyia-nyiakan tratiran.
Genta mengangguk. "Ambil apa aja, terserah. Biar gue yang bayar."
"Ehm, nggak usah deh. Aku udah jajan banyak soalnya," tolak Artha akhirnya.
"Yaudah. Gue traktir di kantin sekolah besok."
"Oke."
Genta tersenyum tipis. Keduanya berlalu menuju kasir. Membayar seluruh barang yang ada dalam pelukan kedua manusia itu. Di samping meja kasir, Ifan yang sempat Artha lupakan nampak menunggu dengan sabar ditemani sebotol coca cola dan mbak kasir yang beruntungnya mau diajak ngobrol.
"Nah, itu kakak saya mbak," ujar Ifan menunjuk Artha yang baru sampai bersama Genta.
Artha yang merasa disebut namanya menatap Ifan. "Apa?"
"Ngapain? Kok lama?"
"Ini, ada urusan tadi," kilahnya meletakkan barang-barangnya diatas meja kasir.
Mbak kasir mulai menghitung barang belanjaan Artha. Setelah membayar, sepasang adik kakak itu berlalu pamit. Artha pamit pada Genta, Ifan pamit pada mbak kasir. Berterima kasih karena telah mau menjadi teman ngobrol selama menunggu Artha selesai berpetualang.
"Aku duluan, Gen," pamit Artha.
Genta mengangguk. "Makasih."
Artha tersenyum manis. "Makasih kembali."
Ifan juga ikutan pamit pada Genta. Setelahnya, Artha dan Ifan berlalu pergi. Tangan Ifan merangkul bahu Artha dan tangan satu lagi menenteng kantong belanjaan. Sedangkan yamaha sudah terpasang apik di kepala Ifan.
Di parkiran, Artha dan Ifan berpapasan dengan Meli yang baru saja keluar dari mobilnya. Gadis itu nampak terkejut dengan kedekatan Artha dan Ifan. Rangkulan di bahu itu membuat Meli terbakar api tungku. Maksudnya api cemburu. Apalagi disaat Ifan memasangkan helm yamaha ke kepala Artha. Hangus sudah hatinya karena sudah dilahap habis oleh kecemburuan. Tanpa sadar, tangannya terkepal. Tanpa berfikir terlebih dahulu, Meli mengatakan bahwa Artha adalah musuhnya dan patut di lenyapkan.
Ifan hanya untuk Meli.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    10d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด