logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

6.Anehnya seorang Genta (2)

Bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Para aktivis rebahan yang rindu kasur juga sudah berhambur keluar kelas dan melangkah dengan semangat menuju parkiran. Artha sendiri memilih duduk di bangku depan kelas sembari menikmati sebungkus keripik yang tadi dia beli dari kantin. Hari ini Ifan latihan basket. Katanya cuma sebentar, jadi Artha tunggu saja sampai selesai. Tidak ada tebengan pulang soalnya.
Seorang laki-laki keluar dari kelas sembari membawa tumpukan buku yang hampir menutupi wajahnya. Di belakang laki-laki yang ternyata adalah Genta, Tirtha melangkah membuntuti tanpa ada niatan untuk membantu. Dengan siulan santainya di melangkah, menghiraukan Genta yang nampak kesusahan membawa buku sebanyak itu.
"Belum pulang?" tanya Tirtha pada Artha. Sontak, langkah Genta juga terhenti.
Artha menoleh dengan raut polos, lalu menggeleng. Tirtha melangkah mendekat dan berakhir duduk disebelah Artha. "Kenapa?"
"Lagi nungguin tebengan," jawab Artha. Tak enak rasanya menyebut nama Ifan. Takut Tirtha kepo dan malah bertanya.
Tirtha tersenyum. "Pulang bareng gue mau?" tawarnya.
Artha terdiam. Kemudian gadis itu nyengir. "Enggak, deh. Kamu duluan aja."
"Yakin?" Tirtha bertanya memastikan. Rugi sebenarnya menyia-nyiakan kesempatan yang telah Tirtha berikan.
BRUKK!
"Yah, jatuh," desah Genta. Buku yang tadi terususun apik di atas tangannya jatuh berserakan dilantai.
Artha dan Tirtha kompak menatap Genta yang jongkok memungut bukunya. Kasihan, Artha memilih bangkit dan ikutan jongkok disebelah Genta. Membantu laki-laki itu memungut buku yang lumayan banyak itu.
Tangan Artha terulur mengambil sebuah buku yang letaknya tepat di hadapan Genta. Namun tanpa disangka, laki-laki itu juga mengulurkan tangannya. Alhasil, tangan Genta menyentuh punggung tangan Artha. Keduanya kompak mendongak, menatap wajah satu sama lain. Musik romantis berputar, waktu seakan berjalan lambat dan kamera berputar ke setiap sisi mengambil rekaman keduanya yang masih belum melepas tatapan. Seharusnya ada angin sepoi yang menerbangkan rambut panjang Artha. Namun sayangnya, cuaca siang ini kurang berangin.
Sementara itu, Tirtha menatap keduanya dengan ratapan kejombloannya. Bangkit dari duduknya, menghampiri kedua manusia yang masih betah beromantis ria itu. Tirtha melipat kedua tangannya di depan dada lalu berdeham. "Ekhm!"
Artha dan Genta tersentak dan buru-buru bangkit. Senyum canggung terbit di bibir keduanya. Mereka merasa tak enak dengan Tirtha, lebih tepatnya Artha karena Genta terlihat biasa-biasa saja.
"Makasih," ujar Genta setelah menyambar buku yang ada di genggaman Artha. Dapat dua nikmat Genta hari ini. Yang pertama nomor WA Artha, yang kedua tatapan mata Artha.
Artha mengangguk. Dia tak berani menatap ketua kelasnya itu. "Sama-sama."
"Tirtha, bantuin gue bawa tuh buku," ujar Genta menunjuk setumpuk buku yang tersusun di lantai.
Yang diminta tolong melotot. "Kok gue?"
"Terus, siapa?"
"TIRTHA!" Teriakan seorang pahlawan membuat Tirtha menoleh ke belakang. Serena berlari dengan nafas ngos-ngosan mendekati mereka.
"Serana, ada apa?" tanya Tirtha. Suara laki-laki itu berubah lembut.
Serena nyengir, memamerkan sederet giginya yang rapi. "Anterin pulang ya?"
"Emang nggak dijemput papa?"
Serena menggeleng. "Nggak. Papa ada urusan di kantor."
Tirtha tersenyum. Serena benar-benar pahlawan. Kedatangannya membuat Tirtha terhindar dari suruhan Genta. "Yaudah. Kita pulang sekarang."
Tirtha menatap Genta dan melempar senyuman mengejek. "Gue duluan!"
"Hm," sahut Genta.
Genta tak bisa menghalangi anak itu. Genta tahu, Serana selalu butuh Tirtha. Entah apa sebabnya, anak badung itu menjadikan Serana prioritas. Sikap Tirtha selalu berbeda jika sudah berhadapan dengan Serana. Genta jadi penasaran, matra apa yang sudah disemburkan Serana sehingga Tirtha nampak patuh sekali.
Tirtha berlalu bersama Serana, meninggalkan Genta dan Artha bersama segunung buku yang minta diantar pulang ke tempatnya. Artha menatap Genta yang mulai mengangkat salah satu tumpukan buku dan mulai melangkah pergi tanpa berkata apapun.
Artha terdiam sejenak. Entah dorongan darimana, dia mengangkat satu tumpukan buku yang tersisa kemudian melangkah menyusul Genta. Dia merasa kasihan saja dengan laki-laki itu. Masa iya harus balik lagi cuma untuk mengantarkan satu tumpukan buku lagi.
"Lo ngikutin gue?" Genta bertanya tanpa menoleh.
Artha menggeleng. "Cuma bantuin kamu bawa buku."
"Gue nggak minta."
"Nggak boleh nolak pertolongan orang lain," ujar Artha menirukan ucapan Genta saat dirinya menolak coklat yang diberikan oleh laki-laki itu.
Genta menoleh sebentar sebelum melangkah ke dalam perpustkaan. Sorot matanya selalu dingin, membuat siapa saja tak berani menatapnya terlalu lama. Kecuali Artha. Sorot dingin itu malah membuatnya tertarik.
Keduanya berjalan menyusuri rak. Menyusun kembali buku yang mereka bawa pada tempatnya. Genta bertugas menyusun buku di rak matematika, sedangkan Artha di rak bahasa.
Artha dan Genta sibuk pada kegiatan masing-masing. Fokus pada buku yang harus mereka susun. Artha sesekali membuka buku dan membaca laman yang terbuka. Sementara Genta, sesekali curi-curi pandang dan memotret wajah Artha agar tersimpan di memorinya.
"Selesai," ujar Artha tersenyum menatap pekerjaannya yang rapi. Buku itu tersusun sebagaimana mestinya.
"Pulang sama siapa?"
Artha menoleh. "Temen."
Genta menganggukan kepalanya. Dia kembali menatap Artha. "Makasih."
"Iya. Sama-sama," balas Artha mengusung senyum manisnya. "Aku duluan ya. Takut ditungguin."
"Ya. Hati-hati. Jangan lupa balas chat gue nanti."
Langkah Artha terhenti. Dia menoleh ke belakang, menatap Genta. Kenapa dengan laki-laki itu? Sikapnya, tidak menentu. Artha jadi ngeri. Takut-takut kalau Genta memiliki kepribadian ganda. Artha hanya bisa memberikan anggukan sebelum pergi meninggalkan perpustakaan.
***
Seperti biasa, rutinitas Artha sepulang sekolah adalah menonton televisi. Disebelahnya, Ifan sibuk dengan ponsel, main game. Ya begitulah anak muda, tidak bisa jauh-jauh dari ponsel. Kalau tidak nge-game ya chat do'i.
Sekilas ucapan Aca saat di sekolah tadi melintasi pikiran Artha. Masalah tentang Ifan yang hanya punya satu saudara agak membebani pikirannya. Ada namun tak dianggap itu cukup menyakitkan. Apalagi, kata Aca, semua ucapannya bersumber dari fakta yang diungkap oleh narasumbernya langsung.
"Fan." Artha tak tahan untuk tak bertanya.
Ifan langsung menjauhkan ponselnya. Barang itu tak jauh lebih berarti dari kakaknya. "Iya, ada apa, kak?"
"Hm." Artha jadi ragu. "Anak sekolah kita nggak tau kalau kita saudaraan?"
"Enggak."
"Kenapa?" kerutan langsung muncul di kening Artha.
"Karena nggak gue kasih tau."
"Kenapa nggak dikasih tau?"
Ifan menghela nafas. Menaikkan satu tangannya pada punggung sofa, menyerong posisi duduknya, menatap Artha. "Gue nggak mau lo diburu fans gue, kak."
Hah? Diburu fans?
"Maksud kamu gimana, Fan?" Artha tak paham.
"Gini ya. Siswi SMA Dwi Bakti itu banyak yang suka sama gue. Mereka selalu nyoba buat ngorek segala informasi tentang gue bahkan data diri--"
"Terus hubungannya sama nyembunyiin persaudaraan kita apa?" potong Artha.
Ifan mendengus. "Dengerin dulu elah."
"Gue nggak mau nanti kalau mereka tau gue punya saudara perempuan, mereka malah nyerbu lo dan ngorek segala tentang gue lewat lo. Gue tahu ini alasan yang aneh. Tapi, nggak semua manusia itu baik. Bisa aja mereka ngancem lo kalau lo nggak mau ngasih tau mereka. Atau mungkin, mereka mau temenan sama lo cuma buat dimanfaatin doang. Gue nggak mau liat itu, kak."
"Ya, sebenernya nggak masalah juga sih kalau kamu nyembunyiin aku. Tapi nggak tau kenapa, kepikiran aja," balas Artha. Dia paham niat Ifan baik.
"Maaf." Ifan menundukkan kepalanya, merasa bersalah.
Artha tersenyum tipis, mengusak rambut adiknya. "Nggak papa kali. Niat kamu baik. Makasih."
Ifan masih menundukkan kepalanya. Artha yang melihat itu terkekeh, lalu menarik tubuh Ifan untuk dia peluk. "Nggak usah dipikiran. Kamu udah berusaha buat ngelindungin aku."
"Tapi, nyembunyiin lo dan bilang gue nggak punya saudara perempuan kayaknya bukan sesuatu yang baik. Apa gue jujur aja?"
Artha menggeleng. Dia sudah nyaman dengan posisinya. Melihat raut keheran warga Dwi Bakti saat dirinya bersama Ifan membuat Artha senang. "Jangan. Biar gini aja dulu."
"Kenapa?" Ifan melepaskan pelukannya.
"Nanti aja dikasih taunya. Aku mau mereka penasaran sama kedekatan kita terus kaget pas tau faktanya."
Ifan terkekeh. Tangannya terulur mencubit hidung Artha. "Bisa aja."
Artha tertawa, begitu juga Ifan. Benar-benar bersyukur dirinya memiliki saudara seperti Ifan dan Rigan. Mereka peduli dengan caranya sendiri. Dia juga bersyukur memiliki ayah seperti Ifan. Sudah mau setia dengan alamarhum mamanya.
Suara notifikasi ponsel membuat senyum Artha lenyap. Satu pop-up dari nomor tak dikenal muncul di layar ponselnya.
+6285xxxxxx
[P
P
Sv Genta]
Artha melebarkan bola matanya. Genta betulan mengiriminya pesan.
Me
[Iya]
Paketu Genta
[Lg ngpn?]
Artha mengeryit.
Me
[Lagi nonton tv]
Paketu Genta
[O
Send a picture
(*Foto Genta sedang menatap kamera datar, alias foto karena kepencet)
🚫Menghapus pesan untuk semua orang]
Artha tersenyum tipis. Percuma dihapus, fotonya sudah Artha download dan masuk galeri.
Paketu Genta
[Mf
K pnct]
Me
[Iya, nggak papa
Fotonya udah masuk galeri]
Paketu Genta
[Hps!]
Artha tertawa, membuat Ifan menatap heran kakaknya.
Me
[Nggak mau]
Paketu Genta
[:(]
Me
[Kenapa kamu chat aku?
Kenapa kamu aneh?
Kenapa kamu nggak dingin?
Kenapa kamu seakan friendly?]
Paketu Genta
[Gbt
Jngn gr]
Me
[Oo, oke]
Bukannya baper, tapi ya gimana. Maklum, anak rumahan kalau ada yang friendly langsung geer.
Paketu Genta
[Bsk rzia
Tli sptny gnti sm wrn htm
Kknya jngn pnjg]
Me
[Kartu keluarganya jangan panjang?]
Paketu Genta
[Kuku]
Artha lagi lagi tertawa. Susah juga ya menerjememahkan bahasa Genta.
Me
[Oke
Makasih infonya]
Paketu Genta
[👍]

หนังสือแสดงความคิดเห็น (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    9d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด