logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

5. Anehnya seorang Genta

"Bang," panggil Ifan setengah berbisik, mendekatkan wajahnya ke telinga Rigan.
"Hm," sahut Rigan tanpa menoleh. Sarapannya lebih nikmat dari pada wajah Ifan.
Anak itu menatap sekeliling sebelum bersuara. Pagi ini hanya ada dirinya dan Rigan di meja makan karena ayahnya masih di kamar dan Artha masih di kamar juga. Setelah merasa aman, barulah Ifan mengeluarkan suara emasnya yang memang sebaiknya harus di pendam saja. Sebab, Rigan tersedak setelah mendengar penuturan bocah itu.
Setelah meneguk air putih, Rigan menatap Ifan dengan dahi berkerut. "Perisai Garuda?"
Ifan mengangguk mantap. "Iya. Kemaren gue liat cowok, temennya kak Artha makai jaket lambang itu."
Perisai Garuda adalah genk motor dan penguasa jalanan yang telah menghabisi nyawa ibunya. Ceritanya panjang, tapi Rigan akan menceritakannya secara singkat.
Genk dengan lambang garuda dibalik perisai itu merenggut nyawa ibunya. Disaat itu, dirinya dan Ifan sedang berjalan melewati jalan raya, kebetulan mau menjemput Artha di sekolahnya. Waktu itu Artha masih SMP dan Ifan masih SD. Disaat hendak menyebrang, ada sekumpulan orang yang adu otot, memenuhi jalanan tersebut. Ifan terjebak di dalam kerumunan remaja yang tawuran. Lantas sang mama bergerak cepat menerobos kerumunan dan menarik Ifan keluar dari sana. Namun naas, kepala mamanya di pukul oleh seseorang menggunakan tongkat baseball. Dipukul sekali saja tak masalah, tapi ini berkali-kali. Mamanya ambruk dengan kepala penuh darah. Rigan bisa saja memaafkan mereka jika mereka tidak kabur dan meninggalkan dirinya dan mama yang terkapar tak berdaya. Mama sempat dilarikan kerumah sakit namun tidak dapat diselamatkan karena luka hantaman yang terlalu parah.
Tanpa sadar, tangan Rigan menggenggam sendok terlalu kuat. Kilasan balik kejadian waktu itu membuatnya dilingkupi rasa dendam dan amarah. Rigan tidak akan pernah memaafkan orang bertopeng yang telah memukul mamanya. Jika nanti dia dipertemukan dengan orang itu, Rigan akan membuat hidupnya terasa sia-sia. Laki-laki bertopeng dengan tinggi yang waktu itu hanya sebatas dadanya saja. Terlihat seperti anak SMP.
"Bang," panggil Ifan memukul pelan lengan Rigan membuat laki-laki yang hanyut dalam pikirannya itu tersentak.
"Kenapa?" tanya Ifan heran dengan perubahan air muka Rigan.
"Cari tau siapa temen cowok Artha yang itu. Abang takut kalau tuh cowok bukan anak baik-baik. Awasin Artha," ujar Rigan.
Ifan mengangguk mantap. Tanpa dimintapun, Ifan akan setia menjadi tameng terdepan bagi Artha. Melindungi kakaknya dari segala marabahaya yang merajalela. "Pasti!"
"Jangan lupa, cari tau siapa cowok yang katanya temen Artha." Rigan kembali mengingatkan. 
"Iya, bang."
***
Artha berjalan menyusuri koridor bersama Aca. Keduanya baru saja dari toilet dan sekarang hendak ke kantin.
"Eh, Tha. Rifan itu siapa lo sih? Kok deket banget. Akrab." Aca menyuarakan rasa penasarannya yang tidak dapat ditahan. Takutnya kalau terus dipendam malah jadi mimpi buruk.
Artha menghentikan langkahnya lalu menatap Aca yang juga ikut berhenti melangkah. Apakah murid disini tidak ada yang tau kalau Rifan memiliki seorang kakak? Artha tahu, adiknya yang ganteng itu masuk kategori cowok ganteng di SMA Dwi Bakti. Jelas, sudah ganteng, jago basket lagi.
Tapi ya, masa para fans Rifan tidak tahu siapa saja saudara dari idola mereka?
"Kenapa berhenti?" tanya Aca menatap Artha heran.
"Kamu nggak tau Ifan itu siapa?"
Aca menggeleng. "Dia cowok ganteng. Aca cuma tau itu."
Artha sontak saja tertawa mendengar penuturan Aca. "Kamu tau nggak Rifan itu anak siapa?"
"Tau. Anak Om Irfan. Dia juga punya abang, namanya Rigan. Orangnya juga ganteng," jawab Aca sembari membayangkan wajah Rigan.
"Cuma itu doang?" tanya Artha seakan tak puas dengan jawaban Aca. Rasanya ada yang kurang.
Aca nampak berfikir sejenak. "Iya. Dia cuma punya saudara kalau nggak salah. Sama satu lagi, mamanya udah nggak ada. Jadi dia cuma tinggal bertiga sama abang dan papanya."
"Dapet informasi darimana?"
"Dari reporter Dwi Bakti. Katanya dapet langsung dari narasumber."
"Dari Ifan maksud kamu?" tanya Artha sedikit kaget. Sejak kapan Ifan mau membagikan tentang keluarganya? Setahu Artha, adiknya itu jarang bercerita tentang keluarga. Ada sih, tapi hanya pada teman dekat. Dan, Ifan tidak pernah melewatkan satu tokohpun dalam ceritanya.
"Ho'oh."
Artha terdiam. Agak sakit hati sih sebenarnya. Ini mungkin berita kecil yang tak perlu di baperin. Tapi, tentang saudara Ifan yang hanya seorang, membuat hati Artha sedikit tercubit. Dia tak masalah kalau Ifan tidak mengumbar tentang kakaknya ini. Tapi setidaknya, jangan hilangkan dirinya di dalam titel keluarga. Kalau mau menyamarkan Artha, seharusnya berita itu mengatakan 'Ifan punya satu saudara perempuan yang tidak diketahui siapa namanya' kan enak.
"Lo kenapa? Muram banget tuh muka. Laper?" tanya Aca.
Artha menggelengkan kepalanya.  "Kamu mau ke kantin kan?"
"Iya. Aca mau ke kantin."
"Yaudah sana. Aku mau ketemu ketua osis dulu. Ada perlu. Nanti aku nyusul." Artha membual agar Aca mau pergi duluan. Sok-sokan ada perlu dengan ketua osis. Jangankan ada perlu, nama ketua osisnya saja Artha tidak tahu. Artha, Artha, bualanmu terlalu tinggi.
"Oh, yaudah. Tapi benerin nyusul ya? Nanti kayak waktu itu lagi," cerca Aca.
Artha terkekeh. "Iya."
Aca tak banyak bicara lagi. Setelah melambaikan tangan dan melempar senyum, gadis itu perlu pergi. Meninggalkan Artha yang tersenyum sayu menatap kepergian Aca. Sekarang tujuan Artha adalah perpustakaan. Dia ingin menyendiri sejenak disana. Melupakan kata-kata Aca yang sebenarnya menjadi beban pikiran bagi Artha. Begitulah, sesuatu negatif yang orang-orang katakan padanya terkadang memilih tinggal di otak Artha. Membuatnya pening dan pusing sendiri.
***
Artha terjatuh karena kakinya di jegal Meli si ketua trio kembang tahu yang berdiri di balik rak berisi buku kimia. Ketiga perempuan yang nyatanya adalah teman sekelas Artha berdiri menatap dirinya remeh. Bahkan Meli sempat berdecih tak suka. Disini, Artha mulai bertanya, apa salah dirinya?
"Eh, cewek ganjen! Lo budek apa gimana? Gue udah pernah bilang sama lo jangan pernah deketin Ifan tapi masih aja ganjen. Pakai berangkat sekolah bareng lagi," cerca Meli menatap Artha sinis.
Artha bangkit, menepuk-nepuk roknya yang sebenarnya tak ada debu. Dia terkekeh pelan, lagi-lagi topiknya Ifan.
"Lo harus inget, Artha! Rifansyah itu pacar gue! Nggak boleh ada satupun cewek yang deketin dia! Apalagi elo!" tunjuknya tepat di depan wajah Artha.
"Sekarang, gue masih baik sama lo. Tapi kalau nanti lo masih deket-deket Rifan, kita buat perhitungan. Gue muak liat orang yang nggak bisa dikasih tau," ujarnya lagi.
Artha hanya diam, menyimak omelan gadis itu. Dia suruh Artha jauh-jauh dari Rifan? Mana bisa, mereka saja saudara. Sepertinya ini akan menjadi menarik jika Artha tetap menyembunyikan identitasnya. Dia ingin Meli berkoar-koar dan berakhir malu sendiri karena ucapan bodohnya. Dasar manusia, suka sekali berbicara tanpa tau kebenarannya. Nanti juga kalau salah yang malu dia.
Meli menatap Artha tajam. "Lo denger nggak?!" hardiknya.
Artha mengangkat kedua alisnya, lalu mengerjap polos. "Denger apa?"
"Jangan coba macam-macam Artha," desisnya kemudian berlalu pergi.
Nuri mendorong kening Artha sebagai salam perpisahan, membuat gadis itu oleng. "Anak baru nggak usah belagu." ujarnya kemudian menyusul Meli dan Bela yang sudah berlalu. 
***
Artha tidak jadi merenung di perpustakaan, sekarang dia sudah duduk di kelas. Bahkan, Artha melupakan Aca yang menunggunya di kantin. Biarlah, Artha tidak peduli.
Genta yang duduk di meja guru menatap Artha dengan kerutan di dahi. Anak baru itu nampak tak bersemangat dan selalu begitu. Dia melempar pulpen yang sedari tadi dia pegang ke arah Artha, namun yang kena malah Tirtha yang baru saja berlari ke dalam.
Tirtha mengaduh, mengusap keningnya yang kena hantam pulpen. Dia mengambil pulpen itu lalu mematahkannya karena kesal. Tidak peduli jika pulpennya pulpen mahal.
"Ganti rugi," ujar Genta yang masih duduk ditempatnya.
Tirtha mengangkat sebelah alisnya. "Ngapain? Yang salah kan elo. Gabut banget sampai lempar-lempar pulpen. Ntar kena kepala gimana?"
Genta menatap Tirtha datar lalu memilih menatap objek lain. Genta dan Tirtha bukan teman akrab tapi selalu bertingkah seolah mereka sudah kenal lama. Padahal nyatanya, Genta baru bisa bicara seperti ini pada Tirtha bulan lalu karena anak itu berbuat ulah dan Genta sebagai ketua kelas yang menyelesaikan.
Tirtha itu anak badung, tukang biang onar, malas, anggota genk dan selalu menguasai segala tingkah yang membuat guru suka urut-urut pangkal hidung. Jangankan guru, Genta saja juga dibuat begitu.
Mendengar ocehan Tirtha, Artha yang sedang berusaha memejamkan mata memilih bangun dan menatap Tirtha. Laki-laki itu sudah duduk ditempatnya sembari mengipasi wajahnya dengan buku.
Merasa diperhatikan, Tirtha menoleh dan bertemu tatap dengan Artha. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Lo nggak ke kantin?"
Artha menggeleng.
"Mau gue jajanin nggak? Gue yang ke kantin, lo tunggu disini aja," tawar Tirtha mengusung senyum.
Artha kembali menggeleng.
Tirtha meletakkan bukunya. Dia lantas bangkit. "Oke. Gue ke kantin dulu. Lo jangan kemana-mana."
Artha mengeryit tak mengerti dengan laki-laki itu. Perasaan dirinya menggelengkan kepala bukan mengangguk.
Artha mengedarkan pandangannya lalu bertemu tatap dengan Genta. Artha tidak tahu kalau laki-laki itu juga ada disini. Artha pikir kelas ini kosong.
"Aku ke toilet bentar." Entah kenapa Artha malah pamit pada Genta.
"Hm."
Artha bangkit. Dia tersenyum kikuk, malu sendiri karena ucapannya barusan.
"Ais," ringis Artha ketika kakinya tak sangaja menendang sudut kaki meja Tirtha. Ngilu.
Genta tersentak kaget namun tak beranjak dari tempatnya. Buru-buru, Genta menormalkan raut wajahnya. "Hati-hati. Harga mejanya mahal."
"Hem, iya."
Genta meraih sesuatu dari saku celananya. Sebatang coklat cadbury yang dia dapat dari kakak kelasnya yang caper. Dengan tidak punya hati, Genta melempar coklat itu ke arah Artha, mengenai kepala gadis itu.
"Katanya coklat bisa ngilangin rasa sakit," ujarnya.
Artha hanya bisa menatap Genta heran. Tingkah ketua kelasnya itu terlalu aneh.
"Seharunya lo bilang makasih," ujarnya lagi.
"Aku kan nggak minta," balas Artha.
"Rezeki nggak boleh ditolak."
"Terus, aku harus apa?"
"Ambil coklat itu."
"Nggak mau. Lagi nggak bisa makan coklat. Nanti sakit gigi." Artha tidak bohong. Giginya sensitif dengan makanan manis seperti coklat.
"Yaudah."
Artha semakin tak paham. "Yaudah apa?"
"Bagi gue nomor WA lo."
Hah?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    10d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด