logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

2. Masih di hari pertama

Artha berlari memasuki kelas kemudian duduk dibangkunya dan menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan. Menghiraukan tatapan para penghuni kelas yang menatapnya aneh. Terlebih lagi trio kembang tahu, langsung menatap Artha jijik.
Artha memejamkan mata sembari mengatur nafasnya yang berantakan. Kejadian di toilet tadi kembali terlintas di benaknya. Yang tadi itu betulan Tirtha? Kalau iya, Artha malu sekali. Seumur-umur--bagi anak yang hidupnya di dalam rumah--Artha tidak pernah bertemu dengan laki-laki bahkan sampai salah masuk toilet seperti itu. Apalagi melihat Tirtha yang keluar dari kamar mandi sembari mengancingkan bajunya yang sebagiannya masih memperlihatkan perut laki-laki itu. Mengingat itu, pipi Artha bersemu merah. Ya Allah, mata Artha tidak suci lagi.
Tirtha memasuki kelas dengan santai. Tatapannya jatuh pada Artha yang masih menyembunyikan wajahnya. Laki-laki itu tiba-tiba terkekeh pelan. Mengingat wajah kaget Artha dan teriakan gadis itu saat di toilet tadi.
"Pak Aliq nggak masuk, Gen?" tanya Tirtha pada si ketua kelas yang sibuk menuliskan sesuatu di meja guru.
Genta mendongak, lalu menatap Tirtha. "Izin. Pak Aliq ngasih tugas." ujarnya kembali menunduk dan lanjut menulis.
Tirtha mengangguk-anggukan kepalanya. Dia melangkah mendekati bangkunya lalu duduk disana. Tirtha menoleh, menatap Artha yang masih belum merubah posisinya. Senyum tipis terbit disudut bibir Tirtha. Tangan laki-laki itu terulur, menepuk bahu Artha membuat sang empu terpelonjak kaget.
"Bangun. Ada tugas," ujar laki-laki itu tanpa dosa dan tidak sadar diri sudah mendiskokan jantung Artha. Maklum, gadis itu tidak pernah berkontak fisik dengan manusia manapun selain keluarganya.
Artha menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak menemukan pohon cempaka. Maaf, salah server. Dia lantas menatap ke depan, bertemu tatap dengan Tirtha yang juga sedang menatapnya. "Maaf soal yang tadi," cicitnya malu- malu.
Mendengarnya, Tirtha tertawa. "Emang lo ngapain sampe minta maaf segala?"
"Salah masuk toilet," jawabnya mengerjapkan mata polos.
"Gitu doang kan?"
"Hm, ho'oh."
"Yaudah. Ngapain minta maaf," ujar Tirtha.
Artha menundukkan kepalanya. Tidak mungkin jugakan dia minta maaf karena tidak sengaja melihat perut kotak-kotak Tirtha? Sangat memalukan jika Artha mengatakan itu.
Tirtha kembali terkekeh gemas melihat tingkah anak baru dihadapannya. Spontan tangan laki-laki itu terulur mengacak puncak kepala Artha, membuat jantung si empu berdetak di luar kadar normal. Cepat sekali ey!
"Lo lucu," ujarnya kemudian beranjak pergi begitu saja. Melangkah menuju meja Serana--si juara kelas yang cantik jelita.
Serana yang semula fokus membaca buku menjadi terganggu karena Tirtha menarik kursinya, membuat gadis itu hampir terjungkal.
"Tirtha!" teriak Serana kesal. Sedangkan laki-laki itu hanya menanggapi teriakan Serana dengan tawa renyah.
Artha mengalihkan pandangannya dari dua pasang sejoli itu dan mencoba melupakan ucapan Tirtha barusan. Mungkin saja mulut laki-laki itu ngawur dan mengatakannya lucu. Artha tidak boleh baper. Dia harus ingat, ini baru hari pertama. Masih banyak hari-hari berikutnya yang dia lalui dan perasaan tidak boleh turun tangan.
"ARTHA!"
Yang punya nama tersentak saat Aca memasuki kelas dengan wajah cemberut. Mengambil langkah lebar, Aca menarik kursinya agar dekat dengan Artha lalu duduk disana. "KENAPA LO NINGGALIN ACA?!"
Oh, itu. Artha melupakan gadis itu. "Hehe, maaf. Tadi kebelet ke toilet, makanya nggak bilang."
"TERUS, KENAPA NGGAK BALIK-BALIK?!" teriak Aca. Wajahnya masih tampak kesal.
Maja yang duduk di depan bersama Genta terusik. Dia meraih penghapus papan yang terletak di hadapannya. Kemudian, Maja mengangkat penghapus papan itu,  hendak melemparkannya ke arah Aca. "Bismillah, hedsot!" Tepat, penghapus papan mengenai kepala gadis berambut panjang itu.
"Anj--!" Aca reflek mengumpat, memegang kepalanya yang kena jurus tembak jitu dari Maja. Sontak saja, aksi Maja membuat Aca marah dan memilih menghajar cowok itu dan melupakan Artha.
"MAJALENGKA BURHANTO!" teriak Aca.
"Berisik, Acong! Gue lagi belajar!"
"Tanggung jawab lo!" teriak Aca semakin marah. Kepalanya terasa nyut-nyutan karena ulah anak itu.
Maja menutup bukunya. Dia mendorong kursinya ke belakang lalu bangkit, melangkah menghampiri Aca yang sudah berdiri menantang.
"Tanggung jawab ngapain? Emang semut lo gue buntingin?" seru Maja sembari mengangkat sebelah alisnya.
Aca berdecak kesal. "Lo udah bikin kepala Aca sakit!"
Maja mengangkat kedua alisnya lalu menatap puncak kepala Aca dan sekitarnya. "Mana yang sakit?"
Masih dengan raut wajah kesal, Aca menunjuk pelipisnya. "Ini. Sakit gara-gara tangan nggak berakhlak lo itu. Seenaknya lempar-lempar penghapus papan. Kalau kena mata Aca gimana? Kalau mata Aca buta gara-gara lo gimana? Mau tanggung jawab?" cerocos Aca tanpa jeda membuat Artha tersenyum melihatnya.
"Nyenye. Ini yang sakit?" Maja menunjuk pelipis Aca yang sedikit membiru. Dalam hati Maja manggut-manggut, kuat juga ya tenaga gue.
"Iya! Kan yang kena kepala, nggak mungkin yang sakit pantat!" sahut Aca jengkel.
Cup
Aca melebarkan bola matanya kala Maja mencium pelipisnya yang sakit. Sontak perbuatan gila Maja membuat seluruh penghuni kelas menggelengkan kepala sembari bertepuk tangan takjub. Anak XI-Ips2 memang suka hiperbola.
"Ciee Maja!"
"Ciee Aca!"
"Uhuy!"
"Piuit!"
"Jadian!"
"Jadian!"
"Jadian!"
Maja tersenyum miring menatap Aca yang masih geming. Mungkin sedang syok berat karena baru saja dicium cowok ganteng. Tiba-tiba, Maja bertekuk lutut dihadapan Aca, membuat riuh sorak 'jadian-jadian' semakin menggema di kelas mereka.
"Aca," panggil Maja. Aca menurunkan pandangannya menatap Maja.
"Sudikah dikau menjadi kekasih hatiku?" tanya Maja dengan gaya puitis dan dramatis.
Aca terbelalak untuk yang kedua kalinya. Kesurupan jin negara mana Majalengka ini sampai seperti ini. Meminta Aca jadi pacarnya? Aneh sekali. Tapi ya, pipi Aca bersemu karena keanehan dan kerandoman anak itu.
"Ih, Maja. Aca mau deh," jawab Aca tersenyum malu-malu.
"Tapi bo'ong! Hyaaa!" teriak Maja puas mengerjai Aca. Dia berdiri disebelah Aca, merangkul bahu gadis itu yang kembali dibuat melotot.
"Lambaikan tangan ke kamera brader! Tuh, kameranya disana!" Maja menunjuk pojok kelas yang hanya diisi angin.
"MANJING! SINI LO!" Teriak Aca murka. Sedangkan si pelaku sudah ketawa ngakak. Kemudian, terjadilah aksi kejar-kejaran bak film india yang mengundang gelak tawa seisi kelas, kecuali trio kembang tahu. Mereka hanya mencibir dan mulai bergosip.
Suasana jam kosong ini membuat hati Artha menghangat. Ternyata, warga kelas Ips2 tidak seburuk apa yang dia bayangkan selama ini. Mereka semua terlihat asik. Ya, terlihat asik.
"Tugas. Salin," ujar Genta melemparkan buku tulisnya ke hadapan Artha. Setelahnya, dia berlalu begitu saja.
Artha menatap kepergian Genta dengan wajah bingung. "Apa? Tugas? Salin? Aku disuruh nyalin tugas ini?" monolog Artha.
"Oke deh kalau gitu," ujar Artha mulai bergerak menyalin apa yang ada di buku Genta. Mungkin Genta memberinya contekan, pikir Artha.
***
Dibawah halte SMA Dwi Bakti, Artha duduk memangku tas menunggu Ifan yang tak kunjung keluar. Sebenarnya Artha bisa saja menghampiri laki-laki itu ke kelasnya, tapi Artha terlalu malas. Lebih baik menunggu disini saja. Disebelah Artha, ada Genta yang fokus main ponsel. Mungkin juga dia tidak menyadari keberadaan Artha.
Suara klakson motor membuat keduanya mendongak secara serempak. Tirtha dengan motor Varionya berhenti di depan halte. Menatap Artha dan Genta.
"Mau bareng nggak, Ta?" tanya Tirtha menawarkan tumpangan pada Artha.
Artha hendak menyahut tapi Genta sudah lebih dulu bersuara. "Gue nebeng." ujarnya lalu menaiki motor Tirtha tanpa persetujuan dari yang punya.
Tirtha hendak protes. Namun lagi lagi, Genta bersuara dan menyuruh dengan seenaknya seakan Tirtha tukang ojek. "Jalan," titahnya menepuk bahu Tirtha.
Suara klakson motor yang berasal dari scopy abu-abu membuat mulut Tirtha kembali mengatup. Dia memilih menoleh ke belakang, menatap Artha yang sudah menaiki jok belakang motor scopy dari pengendara misterius itu. Helmnya tidak dia buka, makanya Tirtha sebut misterius.
Tirtha mengeryitkan dahinya ketika pengendara misterius yang sebenarnya adalah Ifan memutar tubuhnya ke belakang, membantu Artha mengaitkan tali helm. Seketika dirinya kepo. Penasaran, siapa yang berada dibalik helm itu.
"Udah?" tanya Ifan pada Artha.
"Udah."
Ifan mengangguk kemudian menarik gas motornya. Melaju melewati Tirtha dan meninggalkan klakson sebanyak dua kali sebagai salam perpisahan. Sedangkan Artha hanya menatap Tirtha tanpa berkata apapun.
"Jalan," titah Genta lagi karena Tirtha tak kunjung menyalakan motornya.
Tirtha mendengus. Niatnya ingin mengajak Artha pulang bersama tapi yang duduk dibelakangnya malah Genta. Dengan wajah masam, Tirtha menyalakan motor, menarik gas kemudian melaju meninggalkan halte.
"Gen," panggil Tirtha.
"Hm."
"Anak baru itu--"
"Jangan ngurisin hidup orang," potong Genta membuat Tirtha tak jadi bicara. Dia memilih diam saja dan sesekali buka suara ketika ada banci rombeng yang mengedipkan mata kearahnya. Sedangkan dibelakang, Genta hanya berharap agar cepat sampai dirumah. Berboncengan dengan Tirtha di bawah teriknya sinar matahari bukanlah ide yang bagus.
***
Artha menghempaskan tubuhnya di sofa seusai sholat zuhur dan ganti baju. Disampingnya ada Ifan yang fokus menonton film kartun di televisi. Siang ini rumah mereka sepi. Irfan masih dikantor dan Rigan masih di kampus. Mungkin sebentar lagi Rigan pulang.
"Uncle Muthu keren bat dah," komentar Ifan sembari terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Kerenan juga Tok Aba," balas Artha. Dia merubah posisinya menjadi rebahan berbantalkan paha Ifan yang sedikit menunjukkan pesonanya karena Ifan mengenakan celana trening pendek.
Laki-laki itu menunduk, menatap wajah kakaknya yang nampak lesu. Dia memasukkan satu keripik lagi ke dalam mulutnya. "Kenapa, Kak? Nggak enak ya sekolahnya?"
Artha menggelengkan kepala. Entah kenapa, Artha mendadak malas. "Sekolahnya enak."
"Emang sekolahnya lo makan?" tanya Ifan kembali fokus pada serial kartun kesayangan.
Artha berdecak. "Bukan itu. Sekolahnya asik, muridnya baik-baik."
Ifan beroh. "Udah dapet temen?"
Artha mengangguk. "Udah. Satu."
Ifan menunduk, menatap wajah Artha. Senyum manis muncul di wajah bocah tampan itu. Tangannya terulur mengusap rambut Artha. "Semangat, Kak. Awalnya emang masih satu. Nanti juga bakal banyak."
"Hm."
"Udah makan siang?" tanya Ifan mengalihkan topik. Bungkus keripik yang isinya sudah ludes Ifan letakkan di atas meja. Kemudian membuka yang baru.
"Belum."
Dahi Ifan berkerut. "Kenapa belum?"
"Nggak ada makanan."
Ifan menghela nafas. Ini susahnya kalau tinggal berempat tanpa pembantu. Mau makan susah karena tidak ada yang memasak. "Mau makan apa? Biar gue beliin."
"Seblak," jawab Artha masih pada posisi nyamannya.
Ifan menggeleng cepat. "Nggak. Makan nasi goreng aja ya, kak?"
"Yaudah, terserah kamu aja. Yang penting bisa dimakan," jawab Artha pasrah. Padahal mau seblak, tapi adiknya ini pasti tidak akan mengizinkan Artha memakan makanan itu.
Ifan tak lagi bersuara. Dia lantas berdiri membuat kepala Artha terhempas ke atas sofa. Gadis itu meringis, menatap Ifan yang sudah melenggang pergi dengan tatapan tajam. Benar-benar ya adiknya itu.
Suara dering ponsel membuat Artha merubah posisinya menjadi duduk. Dia meraih ponselnya dari saku celana. 'Bang Iganteng' tertera disana. Buru-buru Artha menggeser ikon hijau dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Assalamualaikum, dek."
"Waalaikumsalam, bang Iganteng."
Laki-laki diseberang terkekeh. "Udah dirumah?"
"Udah."
"Udah ganti baju?"
"Udah."
"Udah sholat?"
"Udah."
"Udah makan?"
"Belum. Hehe." cengir Artha.
"Kenapa belum?! Tadi pagi kamu juga nggak sarapan. Nggak baik nunda-nunda makan, Artha."
"Dirumah nggak ada makanan. Ifan lagi keluar beli makan."
Terdengar helaan nafas dari seberang. "Maaf ya, abang masih belum bisa pulang. Mungkin agak sorean pulangnya."
"Iya. Nggak papa."
"Pulangnya mau dibawain apa?"
"Terserah aja."
"Yaudah, nanti abang bawain gorengan di depan kampus."
"Hm."
"Telvonnya abang tutup ya? Ini dosennya udah masuk."
"Iya."
"Yaudah. Jangan lupa makan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tling!
Papa Irfan Duda : [Assalamualaikum
Udah pulang kamu, Tha?
Udah sholat?
Udah makan?]
Artha : [Waalaikumsalam, pa
Udah]
Papa Irfan Duda : [Bagus
Mau dibawain apa pas papa pulang?]
Artha : [Bawain Irfan Yunanda aja]
Papa Irfan Duda : [Heh?!]
Artha : [Hehe:v]
Papa Irfan Duda : [Yaudah, papa mau lanjut kerja
Mau meeting sama client
Kamu jangan telat makan
Jangan berantem sama Ifan
Baik-baik dirumah]
Artha : [Siap Pa!]
Lihatkan? Betapa beruntungnya Artha. Dikelilingi tiga pangeran dan dijaga bak menjaga ratu. Artha sangat bersyukur memiliki keluarga seperti mereka. Berada namun sederhana. Ah, dia jadi rindu mama. Apa kabar ya dia disana?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (56)

  • avatar
    Rici Gustina

    btw cerita ini bgss bgtt gk ngebosanin

    8d

      0
  • avatar
    LIEANORYACASSANDRA

    sangat baik

    10d

      0
  • avatar
    ArvensyahRiki

    saat menari

    23/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด