logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 6

Hari ini katanya ada murid baru.
Namanya Olivia Western. Ia mendengar kabar tersebut lewat obrolan beberapa teman kelasnya. Mereka bilang, gadis itu ditempatkan di kelas C. Emma sebenarnya tidak terlalu peduli ada murid baru atau tidak, karena ia hanya ingin fokus pada nilainya. Lagi pula, mereka juga berada di kelas yang berbeda.
Emma berdiri dari kursi saat jam istirahat berakhir. Ditatapnya Edmund yang masih melanjutkan suapannya dengan santai, padahal lima menit lagi pelajaran berikutnya akan dimulai. “Kau tidak ke kelas?” Emma bertanya heran.
Edmund menggeleng. Ia berbicara dengan mulut penuh, “Mm, kau duluan saja, setelah ini 'kan jam olahraga, laki-laki tidak akan lama saat berganti baju.”
Ah, benar. Emma mengangguk, kemudian bergegas keluar dari kantin. Ia mendapati teman kelasnya sudah berjalan ke ruang ganti yang berada di samping lapangan. Emma lantas buru-buru mengambil satu set pakaian dan sepatu olahraganya di loker sebelum ikut ke sana. Setelah berganti baju, ia tidak lupa mengikat rambutnya dengan tinggi.
Mereka berkumpul di lapangan outdoor karena cuaca siang ini begitu mendukung, agak mendung. Guru olahraga mereka belum datang, jadi Emma berniat untuk duduk sejenak di kursi pinggir lapangan. Tetapi, langkahnya terhenti melihat kedatangan Dean bersama Alex dan Justin. Karena jadwal yang bertabrakan, kelas mereka bergabung dengan kelas C saat jam olahraga.
Pemuda itu berjalan ke arahnya ketika seorang perempuan tiba-tiba datang menghambur—langsung memeluk lengan Dean yang terkejut. Hanya dua detik, sampai tangan Dean menyentak kasar si gadis untuk menjauh.
“Hanya karena orang tua kita berteman, bukan berarti kau bisa bergelayut menjijikkan seperti monyet di lenganku. Apa kau mengerti?” Kata Dean nyaris berteriak, wajahnya kesal. Ia menatap gadis itu dengan tajam, tetapi hanya dibalas dengan anggukan malas. Dean mengerang, mendorong gadis itu ke samping karena menghalangi jalannya sebelum melangkah cepat ke arah Emma.
Seperti biasa, Dean tidak mempedulikan tatapan penasaran para murid yang tertuju padanya. Namun yang merasa dirugikan di sini adalah Emma, karena ia bisa merasakan lirikan diam-diam mereka.
“Emma,” panggil Dean. Ia berdiri di depan Emma yang mendongak menatapnya, agak enggan sebab orang-orang memperhatikan mereka.
“Apa?”
Wajah Dean yang tadinya kesal, kini melunak. Ia menampilkan senyum manisnya pada Emma yang menatap datar. Kepalanya menunduk sedikit saat ia berujar dengan lembut, “Jangan cemburu, dia bukan siapa-siapa.”
Siapa yang cemburu?
“Aku tidak cemburu,” jawab Emma cepat, mendelik pada Dean yang kontan terkekeh. Kenapa ia harus cemburu? Mungkin Dean mengira ekspresi juteknya beberapa menit lalu karena cemburu, padahal ia hanya merasa risih saat menjadi pusat perhatian. Dan sekarang mereka kembali diperhatikan. Emma tidak suka. “Bisakah kau pindah ke sana? Kau ini terlalu dekat. Orang yang melihat akan berpikir kalau kau ingin menciumku.”
“Oh, jadi kau ingin dicium?”
Iris Emma melebar menyadari perkataannya. Ia menatap Dean yang tertawa kecil dan semakin menunduk. Aroma tubuhnya yang harum seperti apel memenuhi penciuman Emma.
Sebentar ... bukankah ini parfum yang sama seperti yang ia pakai? Sebelumnya parfum Dean tidak seperti ini aromanya.
“Apa kau ganti parfum?” Mata Emma menyipit menatap Dean yang hanya tersenyum tipis sambil mengedikkan kedua bahunya. Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan Emma. Tetapi, ketika ia ingin bertanya lagi, guru olahraga sudah memanggil di sisi lapangan.
Tatkala berbalik, pandangannya tidak sengaja bertemu dengan Olivia. Gadis itu ternyata sedari tadi memperhatikan keduanya. Kening Emma berkerut melihat tatapannya yang sinis, tampak kesal. Apa ia kesal padanya? Tetapi, Emma tidak melakukan apa-apa.
Mungkin bukan, pikirnya. Ia memalingkan muka dan mengabaikan tatapan tersebut. Hanya saja, kenapa ia merasa kalau Olivia masih saja terus menatapnya?
***
Mongoper bola voli sambil berlari di sepanjang pelajaran olahraga, benar-benar menguras tenaga Emma. Fisiknya tidak terlalu kuat saat berolahraga, namun ia tetap harus berusaha semaksimal mungkin agar nilainya tidak turun.
Ia menyandarkan kepalanya ke kursi sembari berusaha menormalkan napasnya yang tersengal. Keringat bercucuran di dahi dan lehernya, bahkan terasa mengalir di punggungnya. Cuaca yang tadinya mendung, kini telah digantikan oleh terang sinar matahari yang menyengat. Seharusnya mereka bisa kembali ke kelas untuk beristirahat, tetapi beberapa temannya yang terlambat masih harus mengoper bola untuk mendapat nilai.
Pandangannya beralih ke sekitar, mengamati setiap orang sampai bunyi derak kursi terdengar di sampingnya. Ia menoleh dan hampir melompat di tempat mendapati Dean yang langsung tersenyum lebar.
"Astaga!" Emma menyentuh dadanya, rasanya jantungnya akan melompat keluar saking terkejutnya dia. Dean selalu saja membuatnya terkejut, apa ia tidak bisa datang baik-baik? Bukannya muncul tiba-tiba tanpa suara seperti hantu?
Emma menarik napas panjang, sementara Dean hanya menatapnya dalam diam. Sekitar 15 detik berlalu, pemuda itu masih tidak mengatakan apapun.
“Apa? Kenapa hanya diam?” Emma bertanya bingung, tidak biasanya Dean diam begini.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin menatapmu.” Dean tersenyum tipis, manis sekali. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Emma, lalu memangku sisi kepalanya hanya untuk menatap gadis itu lebih dekat. “Kau terlihat sangat cantik hari ini,” katanya lembut, tampak sangat tulus.
Apa pemuda ini sedang merayu Emma dengan cara lain? Ia tidak terlihat seperti Dean yang sering menggodanya dengan kalimat tanpa filter. Suaranya tadi juga terdengar begitu lembut, tidak memaksa. Emma berkedip beberapa kali saat menatap Dean yang masih tersenyum manis.
“Kau sedang mabuk, ya? Atau kepalamu habis terbentur sesuatu?” Tidak ada lagi hal lain yang bisa Emma pikirkan mengenai sikap Dean yang berubah.
Pemuda itu menggeleng pelan. “Tidak, aku baik-baik saja.”
Memang benar, kepalanya pasti habis terbentur sesuatu. Kenapa sikap Dean jadi lembut sekali? Sementara Emma berpikir, Dean merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah saputangan berwarna ungu muda.
Ia beringsut mendekat ke arah gadis itu dan mengayunkan tangannya—mengisyaratkan Emma agar ikut mendekat.
“Ada apa?”
“Diam, ada sesuatu di wajahmu.”
“Apa?” Emma menaikkan satu alisnya bingung ketika Dean mengusap sisi wajahnya menggunakan saputangan. Dari dahinya ke pelipis, turun ke rahang sampai lehernya dengan gerakan yang lambat sekali. Tatapan Dean yang hangat terpaku pada matanya dan hal itu entah kenapa membuat jantung Emma berdebar tidak karuan.
“Selesai,” gumam Dean. Ia menarik tangannya dan mendadak menyeringai, tatapan matanya dengan cepat berubah menjadi kerlingan. “Sebenarnya tidak ada apa pun, aku hanya ingin menghapus keringatmu.”
Hah?
Dean menarik tangan Emma dan meletakkan saputangan tersebut di telapaknya. “Cuci dan simpan saputanganku.” Ia kemudian berdiri, lalu sebelum berbalik pergi, ia mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Ternyata ia masih Dean yang sama!
Emma kontan meringis mengingat apa yang ia lakukan sebelumnya—menurut dengan mudah hanya karena sikap lembut-palsu Dean padanya. Ck, benar-benar. Ia membuka saputangan itu dan terdiam melihat sulaman nama Dean di sana.
Emma menyipitkan mata memperhatikan kain lembut itu lebih teliti. Kalau nama Dean tertera di sini dengan indah, bukankah ini saputangan yang spesial? Kenapa Dean menggunakannya untuk menghapus keringat Emma, alih-alih menghapus keringatnya sendiri yang lebih banyak?
Mata Emma menyapu sekeliling lapangan, mencari-cari presensi Dean dan menemukan pemuda itu bersama Alex di bawah salah satu pohon. Ia tengah mengusap wajah dan lehernya menggunakan tisu.
Ya, ampun.
Apa yang Dean lakukan? Ia memiliki saputangan, tetapi lebih memilih memberikannya pada Emma?
Dean ... melakukan itu ... padanya?
Emma menunduk, tanpa sadar tersenyum kecil menatap saputangan milik Dean. Hatinya menghangat mengingat apa yang pemuda itu lakukan.
'Dia itu tergila-gila padamu! Apa kau tidak bisa lihat? Kalau dia hanya mempermainkanmu apa dia akan melakukan itu semua?' Perkataan Sofia waktu itu mendadak melintas.
Apa Dean benar-benar menyukainya?
Emma menatap pemuda itu dari kejauhan, mungkin terlalu lama, sampai-sampai Dean sadar ia sedang diperhatikan. Senyum pemuda itu seketika mengembang saat melihat Emma, membuat gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.
Emma menangkup kedua pipinya, merasa malu. Apa ia ketahuan tengah memperhatikan Dean? Ia pasti akan besar kepala dan kembali menggodanya. Emma 'kan baru ingin memastikan apa yang ia asumsikan.
Ia beranjak dari tempatnya sebelum rasa malunya semakin bertambah. Ia tidak ingin Dean datang menghampirinya, jadi ia berbelok ke kantin untuk membeli minuman dingin sebentar. Rupanya, sebagian kecil teman kelasnya telah berada di sana, termasuk Edmund yang duduk santai bersama segelas jus jeruk.
“Yak, kau bolos kesini ya?” Sahut Emma bercanda. Ia menarik kursi di depan Edmund yang tertawa kecil.
“Aku haus. Lagi pula nilaiku sudah tercatat.”
“Aku tahu, hanya bercanda kok.”
Edmund mengangguk. Mereka tidak lagi mengobrol dan sibuk meminum jus masing-masing. Emma menyesap jus apelnya dengan tenang, tetapi tidak berlangsung lama karena orang yang dihindarinya mendadak datang tanpa diundang—mengambil tempat di samping kursinya. Alex dan Justin menyusul dengan menarik kursi di samping Edmund. Lengkap sudah. Satu meja dengan lima kursi.
Maksud Emma, apa yang mereka lakukan di sini?!
“Dean, kau tidak merasa tersaingi dengan Edmund yang setiap saat bersama Emma?” Ujar Alex, memecah keheningan di antara mereka berlima. Ekspresi wajahnya begitu mengesalkan di mata Emma. Ia melirik Dean dan Justin yang menatap Edmund.
“Bagaimana kalau Edmund merebut Emma darimu? Kau harus melakukan sesuatu,” Lanjut Alex, sengaja menggoda. Rasanya Emma ingin sekali memplester mulutnya dengan lakban.
Apa sih yang ia bicarakan? Edmund 'kan sahabatnya sejak lama.
“Ed, abaikan saja orang gila itu,” katanya pada Edmund yang diam di tempat, pandangannya jatuh ke bawah. Sepertinya kata-katanya tidak berpengaruh sama sekali karena tangan Edmund agak gemetar.
Ck, mereka ini hanya pembawa masalah.
“Dean, katakan pendapatmu.” Kali ini Justin yang berbicara. Emma mendelik padanya, tetapi ia malah semakin memperpanas suasana. “Aku penasaran apa yang akan kau lakukan jika ada yang berani merebut Emma darimu.”
“Well, kalau sampai terjadi, akan kubuat dia menyesal seumur hidupnya karena telah berani merebut Emma dariku.” Nada suara Dean terdengar sangat serius, walaupun sebenarnya ia hanya bercanda. Ia menatap lekat-lekat Edmund yang mulai memucat. “Termasuk jika yang melakukan itu adalah sahabat Emma sendiri. Kau dengar, Edmund Theodore?”
“A-aku tidak pernah berniat untuk merebut Emma darimu. Ka-kami hanya sahabat,” jawab Edmund, suaranya gemetar.
Dean tersenyum lebar. “Bagus.”
'Bagus pantatnya?' Emma menarik napas. Ia ingin sekali menonjok ketiga wajah orang yang tengah tersenyum puas itu. Mereka sengaja menakuti Edmund.
“Dean, kalau kau berani menyakiti Edmund, maka aku yang akan menghajarmu,” kata Emma serius. Sayangnya, si lawan bicara malah tidak menanggapi dengan serius.
Pemuda itu memutar kursi sepenuhnya menghadap Emma dengan tatapan nakal. “Kalau begitu hajar aku.” Dean menyeringai. “Bagaimana kalau kau melakukannya di ranjang kamarku malam nanti?”
Berengs*k.
“Kau ... dasar mesum! Aku serius dengan ucapanku!”
“Aku juga serius. Kau bisa menghajarku semaumu, tapi di ranjangku. Bagaimana?”
Emma berdecak frustrasi, benar-benar gatal ingin menonjok wajah Dean dan dua orang komplotannya yang kini terkekeh.
“Hei, aku hanya bercanda. Aku tahu Edmund sahabatmu. Tenang saja, aku tidak akan menyakitinya, Sayang.” Dean tersenyum kecil memandang Emma yang menggigit-gigit bibir bawahnya menahan amarah. Bahkan marah sekalipun, ia tetap terlihat menggemaskan.
Bisakah Dean mendapat kesempatan menciumnya saat ini?
Pertanyaannya terjawab ketika Emma berdiri dan menarik Edmund untuk ikut berdiri. Ia tidak mengatakan apapun, tetapi memberi Dean pelototon tajam, kemudian berjalan keluar dari kantin, masih dengan raut kesal.
Ah, ia sangat menggemaskan.
Dean terkekeh. Ia mengambil jus apel milik Emma yang belum habis dan menyesapnya. Tidak mendapat kesempatan mencium Emma pun tidak masalah, saat ia bisa minum dari gelas yang sama.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (23)

  • avatar
    Kamu 221Didik

    hebat

    13/07

      0
  • avatar
    Farin Farin

    Verry good story

    20/06

      0
  • avatar
    lindarosa

    Aku suka cerita ini, ringan, tipe anak remaja yang lagi nakal-nakalnya, apalagi ini latarnya western kan jadi seru aja bacanya👍🌹 semangat kaka author😘

    17/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด