logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 KETUA KLUB JURNALISTIK

“Kenapa sih dia, kenapa sikapnya tadi sangat membuatku malu. Apa yang akan dikatakan oleh teman teman nantinya jika melihatku secara kebetulan berpas-pasan dengan Andre lagi. Ahhh.. Pasti akan muncul bisikan bisikan 'gadis yang terkenal multitalent dan ambisius berhasil ditaklukkan oleh buaya sekolah”, pikir Syakila. Ia masih menggerutu akibat kejadian tadi.
Oh no.. TIDAK! Membayangkan highlight berita yang ada membuat Syakila berpikir kemana mana. Pati mereka akan berpikir bahwa Syakila dan Andre sudah berpacaran. Syakila bahkan serasa tidak ingin bertemu dengannya selamanya!
Syakila kesal. Belum pernah ia sekesal ini. Siapa lagi kalau bukan karena Andre. Pria itu tidak pernah putus asa untuk mengejar Syakila. Meski ia sudah terang-terangan mengucapkan bahwa dirinya memang sedang tidak ingin diganggu. Dan apa tadi... mengapa ia harus membawa nama Amman dalam perkara itu. Urusan hati biarlah dia saja yang tahu, tidak ada hubungannya dengan Amman.
Syakila sangat tidak suka dengan kata katanya tadi. Apa coba.. Laki laki sok alim, miskin dan apalah itu. Kata-kata yang menurutnya tidak pantas diucapkan untuk orang yang benar benar ingin memperjuangkan dirinya. Andre sudah gugur sebelum perang. Ia tidak pantas mendapatkan suasana hati Syakila ketika baik.
Gadis itu menggerutu sendiri sampai ia tidak sadar bahwa sedari tadi ada laki-laki yang terpaku berkat sikapnya. Iyah. Dia sekarang berada di ruang jurnalistik – salah satu ekstrakulikuler favorit siswa yang beberapa tahun ini sudah ia tekuni. Bahkan sejak ia pertama kali memasuki Madrasah Aliyah.
Jurnalistik menurut Syakila adalah keharusan. Ia mencintai dunia itu. Bukan karena ibunya yang sudah menjadi jurnalis dan melatih dirinya sedari dini, namun Syakila memang berusaha lebih keras agar dapat menjadi jurnalis yang mengedarkan berita dan menyebar suasana menyenangkan – meski ia tahu jika berita tidak akan selamanya manis.
Laki-laki itu sedang duduk di pojok kursi. Kakinya berselonjor ke depan dengan kaki kiri ditekuk. Baju putih abu abu dan dasinya entah mengapa sangat cocok di tubuhnya. Bisa dibilang memancarkan kesan atletis.
Mungkinkah ia sering berolahraga atau ngegym setiap hari? Atau mungkin ia mengikuti ekstra olahraga untuk menciptakan tubuh sesempurna itu? Aihh... Syakila tidak peduli. Saat ini ia malu. Menutup wajahnya dengan kedua tangan saat menyadari bahwa sedari tadi tingkah lakunya diperhatikan oleh laki-laki itu.
“Heyy! Kenapa ditutup seperti itu?” ucap si laki-laki. Ia tersenyum tipis dan segera berdiri dari posisinya sekarang. Semburat matahari membuat wajahnya juga silau oleh cahaya. Namun sama sekali tidak menutupi wajahnya yang memang tampan. Siapakah yang pagi - pagi begini menurunkan pangeran dari langit?
“Jangan mendekat! Aku akan sangat malu jika kamu semakin mendekat!”. Ucap Syakila. Ia berpikir, betapa gilanya dia karena meruntuhkan dunianya sendiri di mata orang yang terhormat dan dihormati oleh Club Jurnalistik.
“Hahah.. Santai saja. Aku tidak akan menggunjingmu atau membicarakanmu di belakang karena kelalaianmu tadi.” Ucap pria itu. Ia bahkan berkali – kali menertawai Syakila dengan senyumnya. Dia tahu itu.
Gadis itu lantas menurunkan kedua telapak tangan yang tadinya diletakkan tepat di depan wajah dengan pelan. Laki-laki itu ternyata juga memegang tangannya, meminta untuk menurunkan. Syakila segera menangkisnya secepat mungkin. Ia refleks terpikirkan oleh Amman. Biar bagaimanapun hatinya tidak boleh goyah oleh siapa pun! Meski Amman jauh disana dan tidak memberinya kepastian tentang perasannya, itulah komitmen Syakila. Amman sudah menjadi bagian dari dirinya.
Laki-laki itu terbatuk. Mungkin disengaja agar suasana tidak terlalu canggung. Syakila maklum.
“Maaf, aku tidak tahu kalau ada orang disini.” Ucap Syakila. Sekali lagi. Ia menunduk malu.
“Yaa.. tidak apa apa. Dengan begini aku lebih tahu bagaimana kamu yang sebenarnya.” Balas laki-laki yang berusia diatas Syakila satu tahun itu. Ia merupakan siswa yang memilih belum lulus hanya untuk mengabdi di Club Jurnalistik sekolah. Laki laki itu merupakan ketua Club yang juga banyak disanjung oleh para siswa karena karya –karyanya yang mendapat pujian di berbagai media dan wali siswa.
“Emang kamu kira aku yang biasanya Syakila palsu kah? Bukan Syakila yang sesungguhnya, begitu?” jawab Syakila. Ia tidak terima dengan kata kata Leo – nama dari pria itu. Gadis itu meski agak kesal namun tetap menunjukkan kesan ramah. Ia masih sangat sadar jika saat ini sedang berbicara dengan budaya dan karakter masing - masing yang tentu mempengaruhi logatnya. Syakila sudah lama berada di Jawa Timur sedang Leo dulunya siswa pindahan dari Bangka Belitung.
“Ya, Syakila yang kulihat beberapa waktu lalu selalu terlihat dingin. Muram. Sedih. Lesu. Yaa.. Intinya istilah istilah yang tak pernah pantas disematkan kepada kamu, harus terpaksa ku ucapkan kali ini!” balas Leo. Sepertinya pria itu sudah lama mempelajari Syakila. Ia bahkan mengetahui tempat sekolah Syakila dari SD hingga sekarang. Dan perihal itu.... Bagaimana Leo bisa tahu bahwa sudah sebulan lamanya dia bersikap seperti itu? Bisa diakui, Leo adalah pengamat yang ulung! Matanya sangat jeli ketika sudah ingin mengetahui sesuatu.
Syakila diam. Dia tidak bisa menjawab. Meski setiap hari dirinya bertemu dengan Leo di Club Jurnalistik. Namun sekarang baru pertama kali ia berbicara secara pribadi kepadanya. Setiap bertemu Syakila, Leo hanya membahas tentang project.
“Kamu masih saja memikirkan dia kan?” ucap Leo membut Syakila terkejut.
Syakila yang awalnya berjalan mondar- mandir berhenti bergerak dan terdiam di depan bilik untuk ruang siaran. Di depannya terdapat cermin setinggi seratus centimeter.
“Sepertinya kau sudah lama mengamatiku!” balas Syakila. Ia berusaha menerka tentang Leo. Sejujurnya gadis ini tidak suka jika ada orang yang diam - diam mengamati bahkan mencari tahu tentang dirinya. Apa tadi yang diucapkan oleh Leo. Ia hampir benar semua ketika menebak siapa sebenarnya Syakila.
“Bukan mengamati, atau menjadi pengikutmu. Aku yang tidak sengaja Sya! ” ucap si pemuda. Ia masih bersikeras untuk mengalihkan perhatian nya kepada Syakila. Padahal sudah jelas – jelas bahwa memang Leo menyimpan sesuatu untuk adik kelasnya itu.
Bagi Leo, Syakila adalah mutiara. Ia bisa dibilang primadona yang di damba-dambakan untuk di dapatkan. Butuh waktu berapa tahun ia melakukan hal itu semua, termasuk berusaha bangun pagi-pagi hanya untuk pergi ke ruang Club Jurnalistik. Leo sangat paham bahwa Syakila akan pergi ke ruang itu setiap pagi. Entah refleksi diri atau memang ada yang ingin ia ambil karena tertinggal dihari sebelumnya. Tetapi sepertinya tidak. Leo tahu bahwa jurnalistik sangat penting bagi Syakila. Ia mencintainya.
Leo selalu melihatnya mendobrak pintu dengan kasar. Lalu memaki maki ringan si pintu yang tidak bersalah setiap ada masalah di rumah. Terutama tentang ibunya yang melarang Syakila berhubungan dengan jurnalistik. Gadis itu kemudian masuk dan selalu meninggalkan secarik kertas berisi semangat barunya di hari itu. Syakila menempelkannya di mading ruang jurnalistik, berharap bahwa memang ada perbaikan untuk Clubnya sendiri. Bukan untuk Club yang dianggap remeh oleh ibunya itu karena jarang menyumbang prestasi belakangan ini. Namun kertas itu ditujukan untuk dirinya sendiri, agar bisa bertahan menghadapi apapun yang meragukan keinginan dan mimpinya.
Oh ya masalah tadi. Ketika Leo mengatakan bahwa mempelajari Syakila adalah ketidaksengajaan. Itu benar! Awalnya Leo tidak pernah ingin tahu tentang gadis itu. Ia selalu berusaha menahan setiap ingin menanyakan hal-hal pribadi. Dan itu terbukti nyata. Leo mampu menahannya selama dua tahun terakhir ini sejak Syakila bergabung. Namun untuk saat ini, sepertinya sudah tidak bisa lagi. Ketidaksengajaan yang membuat Leo mencari tahu tentang Syakila berujung pada kesengajaan. Pria itu kecanduan dan semakin ingin tahu tentang Syakila.
“Lalu apa, jika tidak mengikuti?” balas Syakila membuyarkan lamunan Leo. Ia tidak ingin kehilangan moment dimana Leo terlihat kebingungan karena sulit mendapatkan jawab. Gadis itu tersenyum sarkas.
Leo terdiam. Ia tahu gadis itu berusaha menyudutkannya. Namun sayang, Leo berhasil membaca pikiran Syakila terlebih dahulu. Pengalamannya sebagai ketua satu tahun, plus diamanahi lagi untuk tahun ini membuat dirinya mahir mempelajari anggota timnya sendiri, termasuk Syakila Amira.
“Tenang saja. Jangan berpikir aneh-aneh karena kamu masih anak kecil”.
Leo selalu berhasil membaca situasi yang tepat untuk berbicara dan bercanda. Ia menyenggol badan Syakila karena menyangka bahwa ia terlalu terbawa suasana keseriusannya. Gadis itu memang terkadang membingungkan. Terkadang suka komedi, terkadang juga suka tragedi.
Gadis itu berhasil diam tanpa berbicara lagi. Ia tidak menyangka jika Leo akan menjawab dengan kata – kata itu.
**
Hai para author dan readers. Kalau suka boleh dong minta subscribe, and reviewnya ya kakak-kakak. Plus hadiahnya juga boleh yah kaa. Thank you so much :) Semoga selalu diberi kesehatan ya
Finding me I Instagram: @kismun.th
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (231)

  • avatar
    OnAkunff

    halo semua

    7d

      0
  • avatar
    IMAMSYAFI'I

    ya bagus

    21d

      0
  • avatar
    Hendra Modesad

    baguss

    29d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด