logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Jawaban Mas Rama 2

Maksut kamu gimana, Mas gak paham.” Tanya Mas Rama dengan wajah bingung, meminta penjelasan lebih dariku.
“Aku sudah tau semuanya kok Mas.” Jawabku santai.
“Tau apa?”
“Semuanya.” Jawabku singkat, kulihat dia semakin bingung dengan apa yang kukatakan.
“Aku sudah tau awal mula perjodohan kita dan aku sudah tau juga fakta dibalik pernikahan kita.” Jawabku, kedua mataku menelisik setiap ekspresi Mas Rama melihat reaksinya setiap aku melontarkan kata-kata.
“Owh itu, Bapak Ibuk yang cerita? Ya memang kisah itu yang mendasari perjodohan kita.” Jawabnya
“Iya Ibuk sama kamu yang cerita.” Jawabku
“Aku?”
“Iya kamu Mas, kemarin kan kamu yang bilang sendiri kalau pernikahan ini sebenarnya berlandaskan perjanjian antara kamu dan kakekmu Mas.” Jawabku.
Mas Rama terkejut, wajahnya mengeras ia mungkin tidak pernah menyangka kalimat itu keluar dengan santainya dari mulutku.
“Perjanjian apa?” Elaknya
“Perjajian pernikahan kita mas, aku mendengar semua pembicaraanmu dengan kekasihmu itu kemarin, kamu bilang akan menceraikanku kan? Aku mendengar semuanya Mas.” Mas Rama terdiam, kali ini ia benar-benar kehabisan kata-kata.
“Aku selama ini menerima semua yang terjadi pada pernikahan kita. Aku menerima dirimu yang tak pernah mencintaiku dan menerima dirimu yang tidak pernah benar-benar menganggap diri ini sebagai istrimu. Tapi aku tidak bisa menerima Mas, kalau kau memperermainkan diriku seperti ini.”
“Pelan-pelan Nis, kita bisa bicarakan ini pelan-pelan. Kamu kendalikan dulu emosimu.” Dia berusaha menenangkan.
“Tidak Mas, aku sudah tidak bisa tenang lagi. Sekarang jawab aku, kenapa kalian tega menjadikanku obyek keegoisan kalian. Kenapa kalian merenggut masa depan gadis polos dengan perjanjian pernikahan yang sangat kejam itu? Bukankah seharusnya kakek Mas yang sangat baik itu berterima kasih pada keluargaku, tapi kenapa malah menyakiti kami seperti ini. Kalau kalian jujur soal kontrak kalian, Bapak dan Ibuku pasti tidak akan menerima pernikahan ini Mas!” Ujarku penuh emosi, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Bahkan ingin rasanya diri ini memukul dengan brutal pria yang sedang duduk dihadapanku ini.
“Sudah Mas, kalau kamu tak bisa menjawab pertanyaanku. Hanya satu permintaanku saat ini, bicara jujurlah pada Bapak dan Ibuk lalu ceraikan aku.”
Mas Rama masih terdiam, dia tidak mengalihkan pandangannya dariku sejak aku mengeluarkan semua yang mengganjal di hatiku.
“Maaas.” Teriakku, karena tak kunjung mendapat respon darinya.
“Sudah kamu ngomongnya. Asal kamu tau Anisa aku tidak akan pernah menceraikanmu. Dan kalaupun Ibuk dan Bapak mengetahui perjanjian ini, mereka tetap tidak akan memihakmu!” Jawab Mas Rama dengan tegas, wajahnya yang semula lembut kini berubah menjadi sangat menakutkan.
Aku terdiam seperti orang bodoh sekarang, kepalaku tiba-tiba kosong tidak bisa memikirkan apapun. Aku tidak menyangka Mas Rama akan bereaksi seperti ini. Cukup lama aku terdiam, wajah Mas Rama kini sudah kembali teduh.
“Kalau makannya udahan ayok kita pulang, aku ada jadwal meeting.” Ucap Mas Rama menyadarkanku.
“Belum Mas, masih ada yang ingin aku tanyakan lagi.” Jawabku setelah isi kepalaku kembali pulih.
Aku tidak bisa membiarkan percakapan kita hanya berakhir seperti ini. Aku akan memperjuangkan hidupku kali ini, aku tidak mau terus menerus di permainkan Mas Rama.
“Kenapa harus menunggu 2 tahun Mas, dan kenapa kamu bisa seyakin itu Bapak dan Ibuk akan memihak kalian.” Tanyaku
“Ya memang harus seperti itu, sudah aku tidak mau membahas masalah ini lagi. Ayok kita pulang, aku bisa telat meeting nanti.” Ucap Mas Rama sembari berdiri memberiku isyarat untuk segera bangkit juga dari kursi yang aku duduki.
Dengan bodohnya aku menuruti Mas Rama, aku mengikutinya pulang tanpa protes sedikitpun. Entah mengapa aku tidak bisa membantahnya lagi.
‘Kemana emosi berapi-apiku tadi pergi, kenapa aku jadi bodoh seperti ini. Baiklah kali ini aku akan mengalah untuk kesekian kalinya Mas, tapi lihat saja nanti kalau sampai kamu masih menyatikiku. Aku akan bertindak lebih dari ini Mas.’
Kami sampai di rumah, Mas Rama langsung pamit padaku untuk pergi ke kantornya untuk menghadiri rapat. Aku masuk ke dalam rumah, ku lihat Mbok Minah sedang mengepel ruang tamu.
“Mbok.” Sapaku
“Eh Non Anisa sudah pulang.” Sambutnya dengan senyum sumringah.
“iya Mbok.” Jawabku
“Kemarin Non kok pulangnya dadakan sih, sampe Mbok aja gak tau kalau Non Anisa ke Semarang.” Ucap Mbok Minah
“Iya maaf Mbok, aku dadakan kemarin perginya Mbok. Karena aku kelupaan harinya, untung aja temenku ngingetin malemnya. Jadi, subuh-subuh tadi aku langsung putusin pulang biar bisa ngejar acaranya.” Jelasku pada Mbok Minah
“Ini Jesica kemana Mbok, kok gak keliatan.” Tanyaku kemudian setelah ku lihat sekeliling rumah tidak menemukan sosok Jesica.
“Mbak Jesica di kamar Non, kayaknya tadi ngambek sama Den Rama karena buru-buru jemput Non dan tidak mau menemaninya belanja.” Jawab Mbok Minah
“Ya udah Mbok Aku ke kamar dulu ya, mau istirahat sebentar.” Pamitku pada Mbok Minah, ia mengangguk dan melanjutkan lagi pekerjaannya yang sempat terhenti karenaku.
Sesampainya di kamar langsung ku lepas tas dan kaus kakiku lalu ku rebahkan tubuhku di atas ranjang. Ku pejamkan mataku, merilekskan tubuhku yang lumayan lelah.
‘Kira-kira benar atau tidak keputusanku tadi, Selama hampir satu tahun ini Mas Rama tidak pernah terlihat marah sampai segitunya. Terus kenapa dia rela membuat wanita yang dicintainya merajuk hanya untuk menjemputku. Apa ini bagian dari tanggungjawab seperti biasanya, atau sebenarnya aku hanya salah paham sama Mas Rama. Kalau aku salah paham terus kenapa dia selama ini tidak pernah sedikitpun bertindak layaknya suami pada umumnya. Entahlah akan aku pikirkan lagi nanti.’
Tak berapa lama aku tertidur, mungkin tubuh dan batinku sudah sangat lelah saat ini sehingga membuatku terlelap dengan begitu mudah.
Drrtttt.... Drrrtttt.... Drrrrrt
Aku terbangun mendengar getaran dari ponselku yang tepat berada di samping kepala. Kulihat layar ponsel, tertera nama Ibuk sedang menelpon. Kugeser tombol hijau bergambar telepon di bagian bawah layar ponselku.
“Assalamu’alaikum Buk, ada apa?” tanyaku pada ibuk yang berada di seberang telepon.
‘Kamu sudah sampai rumah kan Ndok, Bapak sama Ibuk dari tadi nunggu kabar tapi kamu belum juga telpon. Kami kan khawatir kalau ada apa-apa kok sampai gak ngasih kabar.’ Terdengar suara penuh kekhawatiran ibuk.
“Ya Allah maaf Buk, bukan maksut Nisa gak ngabarin Ibuk. Tadi aku kecapekan, jadi Nisa langsung tidur sampai lupa ngabarin Ibuk. Maafin Nisa ya Buk.”
Aku merasa sangat bersalah pada Ibuk, karena terlalu fokus dengan masalah Mas Rama, sampai melupakan pesan mereka untuk segera menghubungi saat sudah sampai di Jogja. Pasti mereka sangat khawatir menunggu kabar dariku.
“Maaf banget ya Buk.” Lanjutku dengan penyesalan yang teramat dalam.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (228)

  • avatar
    IryouwRickofhy

    good👍

    17d

      0
  • avatar
    SetiawanTendy

    bagus

    18d

      0
  • avatar
    Riss

    Critanya sangat bagus dan menarik, Tapi sayang nya Udh tamat, next in dong kak critanya

    13/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด