logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Mencari Fakta

Dia terlihat sangat santai, sangat berbeda dengan kondisinya sore tadi yang sangat lemah. Mungkin Mas Rama sudah berhasil menenangkannya, mengingat bagaimana intensnya kedekatan mereka tadi.
“Oh iya, nama Mbak siapa, tadi belum sempet tau soalnya saya.” Tanyaku
“Jesica, panggil Jesica aja gak usah pake embel-embel Mbak.” Jawabnya
“Iya.” Jawabku singkat sembari melempar senyumanku.
“Silahkan makan Nis.” Ucapnya kemudian, ia menyodorkan nasi yang semula berada di hadapannya. Entah mengapa percakapan kami ini terdengar aneh bagiku, kenapa rasanya aku di sini seperti orang yang baru datang ke rumah ini atau tamu di rumah ini sedangkan ia terlihat seperti tuan rumahnya.
Saat aku hendak mengambil nasi terdengar langkah Mas Rama menuruni tangga, kudongakkan kepala ke atas, ia menoleh ke arah kami dan melemparkan senyum yang ternyata ia tujukan untuk gadisnya.
Aku memalingkan wajah kembali memfokuskan diri pada nasi di hadapanku, kuambil satu centong nasi dan beberapa lauk, kusuapkan satu sendok penuh nasi kemulut tanpa memperhatikan mas Rama yang saat ini sudah duduk tepat di hadapanku. Aku ingin cepat-cepat menghabisan makanan ini dan kembali ke kamar, karena sebenarnya hati ini belum terlalu siap untuk diajak tegar menghadapi suami dan gadis itu.
Setelah menghabiskan makanan di piring, aku pamit pada mereka dan kembali ke kamar. Rencanaku besok pagi-pagi sekali mau pulang ke rumah ibuk untuk mencari tau fakta perjodohan anta aku dan Mas Rama versi kedua orang tuaku. Kira-kira mereka mengetahui soal perjanjian perceraian itu atau tidak dan aku penasaran awal mula cerita perjodohanku ini dengannya yang selama ini tidak pernah kutanyakan alasannya.
***
Setelah sholat subuh aku bersiap-siap agar bisa langsung berangkat ke terminal untuk mengejar bus pagi pukul 07.00. Besok pagi aku sudah harus kembali ke sini, jadi terpaksa harus berangkat pagi-pagi sekali supaya bisa lebih lama bersama bapak dan ibuk. Setelah semua siap aku keluar dari kamar dan menuju lantai atas untuk berpamitan dengan mas Rama.
Tok, tok, tok.
“Mas.” Panggilku sembari mengetuk pintu.
Terdengar derap langkah kaki mas Rama yang mulai mendekat, dibukanya pintu kamarnya dan terlihatlah wajah Mas Rama yang terlihat basah begitu pula rambut depannya, mungkin dia habis berwudhu.
“Ada apa Nis.” Tanyanya
“Mau kemana kamu subuh-subuh kok sudah rapi?” Lanjutnya
“Itu Mas, kemarin sebenarnya dikabari temenku. Dia nikahan hari ini Mas, jadi aku mau ke Semarang sekarang biar keburu ikut resepsi.” Jawabku berbohong
“Lho kok kamu gak bilang dari kemarin-kemarin, biasanya kan kalau mau pulang kamu bilang jauh-jauh hari, ini kok dadakan.” Tanyanya
“Maaf mas aku kelupaan kemarin, ini aku pulang sendiri aja gak usah dianter kaya biasanya.” Jawabku, biasanya memang setiap pulang ke Semarang Mas Rama selalu mengantarku, di bilang itu tanggung jawabnya.
“Nanti kalau Bapak Ibukmu nanya gimana, kamu itu tanggung jawabku kamu gak lupa kan?” Seperti Biasa Mas Rama selalu bersikap baik dan menunjukan tanggung jawabnya.
“Soal Bapak Ibuk nanti tak alesan aja Mas.” Jawabku
“Terus pulang kapan kamu?”
“Besok aku pulang Mas, aku pamit dulu ya Mas.” Jawabku sembari bersalaman dan mencium telapak tangannya.
“Tunggu aku sholat aja tak antar sampe terminal, ini masih gelap mau naik apa kamu.” Ujarnya saat aku hendak membalikan badanku.
“Gak usah Mas, aku sudah mesen taksi online tadi, paling sebentar lagi sampai taksinya Mas.” Tolakku
“Ya udah sana Mas sholat aja, aku tak ke depan nunggu di depan.” Lanjutku, aku berjalan meninggalkan Mas Rama yang masih di depan pintu kamarnya.
****
Setelah 3 jam perjalanan di bus akhirnya aku sampai di Semarang, aku berjalan ke arah ojek online yang sudah ku pesan. Sekitar setengah jam naik ojek aku sampai di depan rumah orang tuaku.
“Assalamu’alaikum, Buk, Pak.” Panggilku saat memasuki rumah tradisional yang sangat sederhana milik kedua orang tuaku yang pintunya memang biasa di biarkan terbuka bila ada penghuninya di rumah.
“ Lho Nisa.” Ibuk keluar dari dapur terkejut melihatku kemudian tersenyum lebar menyambutku.
“Pak, Pak! Nisa pulang.” Lanjutnya memanggil Bapak.
“Nisa Pulang?” Teriak Bapak dari kebun belakang rumah, terdengar ia bergegas berlari masuk dari pintu dapur untuk menemuiku.
Aku lalu duduk di kursi sederhana yang ada di ruang tamu rumahku ini, diikuti bapak dan ibuk.
“Lho suamimu gak ikut Ndok? “
Deg, aku sudah memperkirakan Bapak atau Ibuk akan bertanya seperti ini, karena aku biasanya selalu pulang bersama Mas Rama sedangkan sekarang hanya sendirian.
“Mas Rama sibuk Pak, jadi aku ijin pulang sendiri soalnya aku sudah kangen sama Bapak sama Ibuk juga.” Jawabku, kebetulan memang aku sudah lama tidak pulang. Terakhir kali pulang sudah sekitar 3 bulanan lebih.
“Owalah ya sudah kalau sibuk yang penting kamu sudah ijin sama suamimu sebelum kesini Ndok.” Jawab Bapak
“Iya Pak.”
Aku mengobrol dengan Bapak dan Ibuk di ruang tamu lumayan lama. Ibuk lalu mengajakku ke dapur memasak makan siang untuk kita nanti, sedangkan Bapak kembali ke Belakang mengurusi ternaknya. Tidak seperti di rumah Mas Rama yang hanya tinggal makan saja, disini memang aku terbiasa memasak untuk Bapak dan Ibuk. Sembari menyiapkan bahan yang akan kita masak aku berencana bertanya pada Ibuk soal masalah perjodohanku.
“Buk, dulu itu awalnya bagaimana kok aku bisa di jodohin sama Mas Rama?” Tanyaku pada Ibuk yang sedang sibuk mengupas bawang merah.
“Lha nanya awal mula perjodohan kok baru sekarang Ndok, kenapa gak tanya pas dulu kamu pertama tau dijodohkan?” Tanya Ibuk balik.
Memang dulu aku tidak pernah menanyakan alasan aku dijodohkan, setelah Bapak dan Ibuk memintaku untuk menikah, dengan patuh aku mengiyakan permintaan mereka walaupun dengan berat hati karena tidak ingin mengecewakan mereka.
“Tiba-tiba pengen nanya aja aku Buk.” Jawabku sekenanya.
“Dulu pas kamu masih kecil Bapak pernah membantu kakeknya Rama yang kecelakaan parah, Bapak membawanya ke rumah sakit dan mendonorkan darahnya, setelah sadar kakeknya Rama sangat amat berterima kasih pada Bapak dan berniat memberi Bapak uang tanda terima kasih tapi Bapak menolak.” Jeda ibuk mengambil nafas.
“Kakeknya Rama memaksa tapi Bapak tetep kekeh tidak mau, kemudian kakeknya Rama meminta diajak ke rumah Bapak dan di sini dia melihat kamu, setelah melihat kamu kakeknya Rama berjanji pada Bapak bahwa dia akan menikahkan cucu satu-satunya dengan kamu supaya masa depan kamu terjamin. Jadi karena itulah akhirnya kamu harus menikah dengan Rama karena Bapak tidak bisa menolak lagi niat baik kakeknya Rama.”
“Berarti initinya perjodohan ini untuk menjamin kebahagiaan dan masa depanku Buk?” Tanyaku memancing.
“Iya, terbukti kan kamu terlihat bahagia sekarang juga masa depanmu terjami. Anggap saja ini berkah dari Allah Ndok, kalau bukan karena Pak Bahar juga kamu tidak akan bisa kuliah Ndok. Bapak dan Ibuk gak akan sanggup membiayai kuliahmu.”
Setelah mendengar semua penjelasan Ibuk, aku bisa menyimpulkan kalau mereka tidak tau tentang perjanjian Mas Rama dan Kakeknya. Jadi sebenarnya apa niat kakeknya Mas Rama membuat perjajian itu dengan Mas Rama. Bukankah kalau beliau benar mau berterima kasih pada Bapak harusnya ia tidak membuat perjanjian itu. Kenapa ia tidak memikirkan diriku yang akan disakiti oleh cucunya sendiri.
Kalau saja beliau masih hidup aku pasti akan menemuinya dan menanyakan ini semua, atas hak apa ia mempermainkan hidupku.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (228)

  • avatar
    IryouwRickofhy

    good👍

    17d

      0
  • avatar
    SetiawanTendy

    bagus

    18d

      0
  • avatar
    Riss

    Critanya sangat bagus dan menarik, Tapi sayang nya Udh tamat, next in dong kak critanya

    13/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด