logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Memendam Amarah

Setelah mengikuti sang istri dari belakang dengan Tasia yang menggelayut manja di lengannya, membuat Gio berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak mencampakkan tangan wanita ini. Ingin rasanya, ia merengkuh tubuh mungil yang terkesan sangat kuat di depannya ini. Perut gendut yang membulat lucu itu, ingin rasanya ia kecupi sedemikian rupa.
“Kamu lihat sikap dingin istrimu itu? Seharusnya, ia bersyukur masih kamu pelihara di sini. Enaknya, sudah tidak perlu bekerja. Lihat kelakuannya itu, dengan perut buncit begitu saja masih bisa-bisanya tebar pesona di kafe. Kamu tidak tahu bukan, siapa saja yang ditemui di sana,” ucap Tasia dengan gerutuan yang terasa memprovokasi Gio.
“Aku sedang tidak ingin bertengkar saat ini Tasia. Tidak dengan adanya kalian berdua di sini,” balas Gio seraya berkacak pinggang.
Keduanya kini sedang berada di kamar tamu yang akan ditempati oleh Tasia.
“Kenapa kamu takut membuatnya marah dan kemudian terjadi sesuatu dengan kandungannya?” tanya Tasia dengan dagu terangkat dan kedua tangannya mengalungi leher Gio, menggelayut manja.
Gio melerai jalinan tangan Tasia pada lehernya dan memberikan jarak dengan wanita itu.
“Jangan kejam, Tasia. Aku tidak suka hal itu.” Wajah Gio mengeras dan menunjukkan rasa tidak sukanya dengan sikap wanita cantik di depannya ini.
“Ingat, kamu harus menceraikan dia secepatnya setelah melahirkan. Jangan sampai hartamu jatuh di tangan perempuan miskin itu. Pemberian orang tuamu sudah cukup untuknya.” Tasia memperingatkan Gio seraya menusukkan jari telunjuknya yang terawat sempurna menusuk-nusuk dada bidang Gio Zaron.
“Kamu tidak perlu mengingatkan aku dengan apa yang harus aku lakukan. Kamu tidak makan malam, bukan? Aku tinggal dulu kalau begitu.”
Tasia tidak menjawab ucapan Gio. Wanita itu memilih untuk melucuti pakaiannya dan dengan tubuh polos, ia melenggang anggun menuju kamar mandi.
Gio berkacak pinggang, saat tidak mendapati sang istri di dapur dan kamar tidur. Ia harus memutar otak karena telah diabaikan oleh istrinya tadi. Dengan melenggang santai, wanita itu meninggalkan dirinya dan menuju dapur menyusun bahan makanan seolah ia dan Tasia adalah sosok tak kasat mata. Gio tanpa membersihkan diri terlebih dulu lantas menuju ruang laundry, yakin sang istri masih berada di sana saat ini.
“Linda, kamu tidak masak?”
Belinda yang hendak meluruskan kakinya pada sofa empuk yang sengaja ia taruh di ruangan itu, segera bangkit dan keluar dari sana. Ia tidak ingin Gio dan Tasia melihat pakaian milik sang jabang bayi.
Belinda tertegun di ambang pintu saat melihat sang suami belum membersihkan diri dan tampak sendirian. Belinda berpikir jika Gio hanya akan mengambil sesuatu dan kembali pergi dan menginap di apartemen atau di tempat Tasia seperti informasi yang sering didapatkan selama ini.
“Aku pikir kamu akan pergi dengan Mbak Tasia.”
“Tidak. Aku ingin makan malam di rumah.”
“Apa aku harus memasak banyak malam ini?” tanya Belinda seraya mengayunkan langkah menuju dapur.
“Tidak. Hanya untuk kita berdua saja.”
Belinda menelan salivanya kasar seraya mengambil bahan makanan dari kulkas. “Kekasihmu, tidak ikut makan malam?” tanyanya ragu-ragu dan was-was. Karena dirinya memunggungi Gio, Belinda tidak melihat rahang Gio yang mengeras dan kedua tangannya yang terkepal pada kedua sisi tubuhnya.
“Dia tidak terbiasa makan nasi malam hari. Aku akan mandi. Masaklah sesuai dengan yang kamu mau.”
“Tentu,” jawab Belinda tanpa berpaling dan memilih menyibukkan diri dengan mencuci kangkung.
Belinda yang asyik mencuci perabotan memasaknya, sama sekali tidak menyadari jika Gio sudah datang dengan memakai kaos singlet dan celana pendek, dia tertegun saat berbalik hendak mengelap tangannya yang basah.
Gio sedang mengambil dua gelas kosong yang terletak tak jauh dari Belinda berada dan dengan santainya pria itu mengisinya dengan air putih yang sudah disiapkan Belinda dalam teko kaca di meja.
“Ayo makan,” ajak Gio yang malam ini bahkan memundurkan kursi untuk Belinda.
Mereka makan di meja dapur, alih-alih pindah ke meja makan. Belinda memang belum sempat memindahkan masakannya ke ruang makan.
“Tumben pakai pakaian biasa? Apa kalian akan tidur di sini?” tanya Belinda lamat-lamat, jujur hatinya juga sakit mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutnya sendiri.
Sudah lama sekali Gio tidak membawa Tasia untuk tinggal bersama dengan mereka. Apalagi saat ini dirinya sedang hamil besar. Sungguh, mereka berdua memang jenis manusia yang hati nurani dan empatinya sudah mati. Gio menghentikan gerakannya menyendok nasi dan meletakkan piringnya dengan sedikit keras hingga menimbulkan bunyi kaca yang beradu.
“Apa aku tidak boleh tidur di rumahku sendiri?” tanya Gio dingin seraya menatap Belinda dengan intens.
“Silakan. Toh, ini rumahmu. Aku kan hanya menumpang. Tumben saja, rasanya sudah lama sekali kamu tidak tinggal di rumah,” jawab Belinda seraya menunduk memperhatikan mangkuk mangkuk berisi sayur kangkung.
“Aku tidak ingin bertengkar malam ini Linda. Aku sangat capek dan butuh istirahat yang cukup. Lagi pula kamu tidak pernah bertanya di mana aku tinggal jika tidak di rumah,” jawab Gio dengan kembali melakukan kegiatannya.
Belinda mengangguk. “Memang. Tetapi, kalau-kalau kamu lupa. Mas dulu yang berpesan, jika tidak perlu mempertanyakan di mana dirimu berada, bukan? Sudah benar bukan apa yang aku lakukan dengan tidak mencampuri urusanmu?”
Dirinya juga tidak ingin bersitegang terlalu lama dengan Gio. Apalagi ada telinga lain satu atap dengan mereka saat ini. Hanya, sekali saja ia ingin tidak selalu disalahkan. Sungguh, Belinda ingin sebentar saja merasakan kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan ini.
Belinda terpaku saat dari sudut matanya melihat Tasia dengan gaun tidur berenda yang menggoda sepanjang setengah paha, berjalan dengan anggun menuju dapur dan mengambil botol air dari dalam kulkas. Belinda mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk, lalu bangkit dan memundurkan kursinya.
“Mau ke mana?” tanya Gio tanpa mengalihkan perhatian dari piring di hadapannya. Netranya melirik pada Tasia yang kini bersandar pada meja pantry dapur.
“Aku rasa kamu sudah ada yang menemani. Aku akan makan di tempat lain saja,” jawab Belinda sedikit ragu dan was-was.
Instingnya mengatakan saat ini suaminya sedang memendam amarah. Hanya saja, ia bingung. Ditujukan kepada siapakah amarah suaminya tersebut. Padahal kekasih sang suami ada bersama dengan mereka. Sebagai wanita yang tahu diri dan paham betul penyebab awal pernikahan mereka, ia memutuskan lebih baik mengalah. Dirinya yang sebetulnya, telah menjadi wanita kedua dalam hubungan Gio dan Tasia.
“Duduk Linda. Dan aku tidak akan mengulangi perintah untuk yang kedua kalinya,” jawab Gio dingin dan kali ini mata pria itu menyorot tajam ke arahnya, “jangan berlaku tidak sopan terhadap tamu dengan pergi begitu saja. Sudah cukup sikap acuhmu, ingat kamu nyonya rumah sudah sepantasnya kamu duduk dan makan di sini.”
Mendengar kata nyonya rumah terdengar sangat menggelikan, terlebih saat ini ia merasa seperti makhluk tak kasat mata di rumah ini, dan khususnya di hidup Gio.
Belinda melirik Tasia yang tampaknya kesal dengan ucapan Gio yang kemudian berlalu dari dapur dengan langkah lebar. Tak lama, kemudian terdengar pintu yang ditutup kasar. Belinda tersenyum di dalam hati dan kembali duduk di tempatnya semula.
tbc

หนังสือแสดงความคิดเห็น (44)

  • avatar
    KullbetWahyu

    baguss bgett

    20d

      0
  • avatar
    Raihan Tsaqif

    good

    16/08

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    05/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด