logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Bunuh Diri

Ku rekatkan pelukan pada Tari. Tak ingin Tari semakin tenggelam dalam kesedihannya dan selalu menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan Adel saat ini.
Tidak dapat ku pungkiri memang setengah hatiku menyalahkan Tari atas keadaan Adel yang tidak segera di berikan pertolongan sejak awal karena Tari terus saja menolak ajakan ku untuk segera ke rumah sakit, namun dalam hati juga aku bertanya-tanya alasan yang membuat Tari begitu takut jika aku membawa Adel ke rumah sakit. Seperti ada rahasia besar yang sengaja Tari tutupi dariku.
“Kamu tenang ya, Dek. Sabar, Mas yakin Adel tidak apa-apa.” Ujarku dengan membelai rambut Tari.
Sungguh hatiku sama kalutnya dengan Tari, namun aku sadar aku juga tidak boleh seperti Tari. Harus ada yang menguatkan salah satunya.
“Ini semua gara-gara aku, Mas. Aku bukan wanita yang sempurna. Aku wanita cacat, Mas. Aku tidak becus menjadi istri sekaligus ibu.” Rancau Tari berusaha memukuli kepalanya sendiri.
“Aku ingin mati saja, Mas. Aku sudah membuatmu dan Adel menderita.” Tangisan Tari terdengar pilu.
“Sadar, Dek. Kamu jangan ngomong seperti itu. Adel butuh kamu di sisinya. Kamu jangan ngomong seperti itu.” Kembali ku peluk Tari.
Ku biarkan Tari meluapkan semua perasaannya dalam pelukanku. Ku biarkan Tari menangis semaunya dalam dekapanku. Baru saat Tari sudah mulai tenang aku mengajaknya bicara secara baik-baik.
“Tari, Dek.” Panggilku saat Tari sudah berhasil menguasai dirinya sendiri.
“Ya, Mas.” Sahut Tari dengan kepala yang ia tundukkan. Entah apa yang menjadi pikirannya saat ini.
Sudah hampir satu jam aku menunggu Adel di tangani oleh dokter namun dokter tidak kunjung keluar. Entah apa yang dokter lakukan pada Adel di dalam.
Tiba-tiba ranjang Adel di dorong keluar dari ruang UGD. Dokter dan para perawat langsung membawa Adel ke ruang NICU. Ruang khusus bayi dengan penanganan serius dan banyak alat-alat di dalamnya.
“Anak saya kenapa, Dok.” Tanyaku mengikuti para dokter dan perawat yang sedang mendorong ranjang Adel.
“Nanti saya jelaskan di ruangan. Yang jelas anak Bapak membutuhkan pertolongan dengan segera.”
“Maaf, Pak sebaiknya Bapak tunggu di sini. Biarkan dokter melakukan penanganan terlebih dahulu.” Ujar salah satu perawat dengan menutup ruang NICU.
Langkahku terhenti tepat di depan ruang NICU. Rasa miris menyelimuti kalbu, tidak menyangka bahwa anak semata wayangku akan masuk ke ruangan seperti ini. Aku harap tidak ada hal yang serius yang menimpa Adel.
Kembali aku teringat dengan Tari. Tak ku temui Tari di sini, mataku memutar ke segala arah nyatanya Tari tidak ada di sekitar ruang NICU. Aku pikir Tari akan sama sepertiku, mengikuti Adel yang tengah di bawa oleh para perawat dan dokter.
Gegas aku mencari Tari ke depan ruang UGD, tempat aku meninggalkan Tari karena mengikuti Adel. Nihil, tak ku temukan Tari di tempat dia baru saja duduk. Dimana dia saat ini? Kekhawatiran merasuk dalam kalbu, aku takut Tari melakukan hal di lluar dugaan karena kondisinya yang sedang kacau.
“Di atas seperti ada seorang yang ingin bunuh diri, ayo kita lihat!” Ujar salah satu pria kepada temannya saat melintas di depanku.
“Ayo kita lihat. Sepertinya dia sedang banyak masalah hingga ingin mengakhiri hidupnya.” Jawab teman pria tersebut.
“Permisi, Mas. Siapa yang kalian maksud ingin bunuh diri?” Tanyaku menyela percakapan dua orang tersebut.
“Entahlah, Mas tapi dari bawah terlihat seorang perempuan yang tengah berdiri menengadahkan tangannya di lantai paling atas gedung rumah sakit ini. Mungkin perempuan itu ingin bunuh diri.”
Pikiranku langsung tertuju pada Tari. Mungkinkah itu Tari istriku, jika memang Tari lalu mengapa pemikirannya sampai sependek itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya.
Gegas ku naiki lift untuk sampai pada lantai tertinggi dan menaiki tangga yang berhubungan langsung dengan atap rumah sakit ini.
Benar saja, di sana sudah banyak di kerumuni orang-orang yang tengah membujuk si wanita agar tidak terjun. Ku amati dengan seksama wanita yang tengah di bujuk tersebut. Mataku membulat saat mengetahui wanita tersebut adalah Tari istriku.
Penampilan Tari yang acak-acakan. Lebih acak-acakan dari terakhir aku meninggalkannya di depan ruang UGD. Ada banyak jejak air mata di pipinya dan matanya terlihat sembab dan kosong.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku. Mengapa ia begitu rapat menyimpan semuanya sendiri tanpa aku ketahui masalahnya sedikitpun.
Aku kira selama ini Tari baik-baik saja dan aku kira selama ini Tari sangat bahagia dengan kehidupannya bersamaku. Namun melihatnya malam ini aku menyadari satu hal. Banyak luka yang Tari sembunyikan dariku. Aku tahu betul sifat Tari, bila hanya karena Adel masuk rumah sakit ia tidak akan mungkin senekat ini dan aku tahu dari sorot mata Tari bahwa Tari menyimpan semua luka dan kesakitannya sendirian.
“Tari!” Teriakku memanggil Tari.
Tari melihatku dengan sorot mata penuh luka. Ada kesedihan besar yang tersorot dari matanya yang selama ini tak pernah ia tampakkan di depanku.
“Jangan pergi. Aku membutuhkanmu.” Ucapku berusaha mendekat ke arahnya.
“Tidak, Mas biarkan aku mati dan setelah ini aku tidak akan menyusahkanmu lagi.” Tuturnya yang membuatku tercengang.
Dari mana Tari mendapatkan kata-katanya. Sungguh ini bukan Tari. Tari istriku selalu berkata lembut dan santun padaku. Tidak seperti ini.
“Kamu tidak menyusahkanku, percayalah! Aku sangat membutuhkanmu, Tari.” Gegas aku menarik tubuh Tari yang tengah berdiri di pinggir pagar pembatas.
Tari ambruk di atasku, kesadarannya menghilang. Segera aku membawa Tari ke bawah untuk mendapatkan pertolongan.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian ini namun tidak aku jawab. Aku sendiri saja masih bingung dengan keadaan ini. Semuanya berjalan begitu cepat dan terasa seperti mimpi buruk bagiku.
“Sayang, kenapa kamu bisa seperti ini. Apa yang terjadi sebenarnya?” Rancauku saat menggendong Tari di dalam lift.
Ku letakkan Tari dalam brankar rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan oleh dokter. Infus di pasang di tangan Tari.
“Maaf, Pak sepertinya istri Bapak belum makan dari tadi, di tambah dengan banyaknya beban pikiran sehingga menyebabkan istri Bapak pingsan. Nanti setelah sadar mohon untuk di suruh makan ya, Pak.” Ujar Dokter setelah memeriksa keadaan Tari.
“Baik, Dok terimakasih!” Ucapku sebelum dokter pergi meninggalkanku dan Tari di ruangan ini.
“Bagaimana mungkin dokter berkata Tari belum makan padahal di rumah Tari mengatakan sudah makan sebelum ku. Apa Tari berbohong mengenai itu?” Gumamku dengan pikiran yang semakin semrawut dengan kejadian malam ini.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (674)

  • avatar
    Arahma

    ceritanya bagus

    4d

      0
  • avatar
    Sella Andriani

    keren sih ini suka

    8d

      0
  • avatar
    Ari

    cara penulisan ada yg kurang/salah seperti kotak tapi di tulis otak

    14d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด