logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Part 4

Clara baru saja keluar dari rumahnya. Ia melihat Ditya yang terlihat seperti sedang menunggunya. Ditya masih terfokus pada ponselnya, ia tak tahu jika Clara sedang mengamatinya. Clara tersenyum tipis. Tipis sekali, hingga tak seorang pun akan menyadari bahwa ia sedang tersenyum.
Clara memutuskan untuk menghampiri pria itu. Clara hafal betul dengan segala hal yang dilakukan Ditya. Menjadi sahabat dan tetangga selama kurang lebih tujuh tahun telah membuat mereka cukup saling mengerti. Clara sudah menganggap Ditya sebagai kakaknya. Pasalnya, Ditya sering sekali membantu Clara dan memberikan kasih sayang layaknya dia memberikan sayangnya untuk adik-adiknya.
“Sudah lama?” tanya Clara.
“Belum. Aku baru saja datang. Ayo berangkat.”
“Yuk.”
Ditya menyiapkan helmnya untuk Clara. Kemudian memasangkan helm tersebut pada kepala cantik Clara. Ditya tersenyum, melihat tatapan mata polos Clara ketika menatapnya. Menggemaskan sekali.
Setelah memastikan bahwa kepala Clara aman. Ditya segera menaiki motor sportnya dan menggerakkan kepalanya, gestur menyuruh Clara untu naik.
Clara mengangguk, ia langsung menaiki motor Ditya. Tak lama kemudian, Ditya mulai menyalakan motornya.
Motor Ditya melaju membelah jalanan. Suasana masih terbilang sepi karena ini masih terlalu pagi. Tak ada perbincangan sama sekali. Mereka memilih diam. Mereka menikmati udara yang cukup segar pagi ini.
***
Motor Ditya telah berhenti di depan sebuah cafe. Clara mulai turun dari motor Ditya. Memberikan helm lalu tersenyum lembut.
“Makasih ya, udah mau nganter. Padahal aku bisa berangkat sendiri.”
“ Iya sama-sama. Gak bagus gadis secantik ini berangkat sendiri.”
“Ck. Gombal.”
“Enggak kok. Sudah sana masuk. Aku akan berangkat ke kantor dulu. Semangat ya.” Sembari mengucapkan itu, Ditya mengusak rambut Clara gemas hingga membuat rambut sang empu terlihat berantakan.
“Kak,ih. Aku susah-susah menata rambut tadi, kakak seenaknya berantakin.” Clara memdengus sebal.
“Maaf deh. Aku pergi dulu ya.”
Clara mengangguk, membiarkan Ditya pergi. Clara mulai berjalan menjauhi cafe'. Ia berbohong pada Ditya bahwa ia bekerja full-time di sebuah cafe. Clara tak mau,jika Ditya akan tahu. Ia takut jika Ditya akan meninggalkannya. Ia tak akan memiliki seorang penopang selain adik-adiknya.

***
Bagas manggut-manggut ketika melihat dokumen yang diberikan Devan. Bagas tak menyangka, jika Devan dapat bekerja secepat ini. Ia berasa beruntung memiliki kacung seperti Devan. Yah.. Walaupun anak itu sudah tepar di sofa ruangannya. Setidaknya anak itu bisa diandalkan.
“Clara Nelson. 27 November 1997. Hmm.. Ternyata masih cukup muda. Yatim piatu (?). Ugh.. Anak yang malang. Memiliki dua adik. Orang tuanya memiliki hutang sebanyak sepuluh miliar. Wow, wanita itu masih bisa pongah walaupun punya utang sebanyak ini. Ck, tapi sepuluh miliar bukan seberapa bagiku. Tinggal di sebuah kos kelas menengah. Hahaha.. Tinggal di kos saja sudah bisa menantangku. Sepertinya sudah cukup. Informasi ini dapat ku kantongi sebagai alat untuk menghancurkannya. Oh bagaimana jika adik-adiknya tahu, kalau kakaknya seorang pelacur? Pasti akan menjadi drama yang cukup seru. Clara Nelson, ingat, seseorang yang berani menentangku tak akan merasakan hidup tenang.”
Bagas jadi tak sabar untuk bermain bersama mainan barunya. Ini pasti akan menyenangkan sekali. Sudah lama ia tak main-main.
Bagas mulai mengotak-atik ponselnya. Ia kemudian menghubungi seseorang.
“Saya memesan Clara Nelson malam ini. Datang pukul tujuh. Saya tak menerima penolakan!”
Tuutt...
Bagas langsung mematikan ponselnya sepihak. Ia sedang malas menanggapi kicauan orang lain.
***
Clara malas sekali menemui bosnya. Tadi, temannya menghampirinya mengatakan bahwa ia harus menemui bosnya. Ia hanya malas jika harus mendengarkan celotehan tak berguna dari bosnya. Meskipun begitu, ia tetap menuruti perkataan bosnya. Pekerjaannya adalah taruhannya.
“Permisi.”
Clara memasuki ruangan bosnya pelan. Ia melihat sang bos terlihat terlelap. Kepalanya bertumpu sepenuhnya di atas meja. Suara dengkuran keras juga memenuhi ruangan ini. Clara menghela nafas. Ia harus membangunkan sang bos. Walaupun ia merasa jijik, melihat aliran sungai yang mengalir di pipinya. Clara jadi ingin muntah.
“Bos.”
Clara menggoyang-goyangkan tubuh sang bos. Berusaha membangunkannya. Kesal karena sang bos tak kunjung bangun, Clara menggebrak meja dengan keras.
BRAAKK!!
Sang bos terlonjak kaget. Kepalanya sangat pusing karena terbangun dengan tiba-tiba. Ia linglung. Pandangannya berputar-putar. Jantungnya beedetak begitu cepat. Kaget.
Sang bos menggeram marah mendapati Clara yang berdiri di depannya. Clara memasang wajah datar tak bersalah.
“Clara! Kurang ajar kau! Seharusnya kau tak membangunkanku seperti ini. Sialan! Jika kau bukan pekerja terlarisku. Tak segan saya akan segera mengusirmu!”
Clara merolingkan bola matanya malas. Salah sendiri tidur seperti ular. Tapi kenapa dia yang dimarahi.
“Maaf bos. Saya sudah mencoba membangunkan Anda dengan pelan. Namun, Anda tak kunjung bangun.”
“Hahh... Ada yang ingin saya bicarakan.”
“Apa?”
“Tuan Pratama memesanmu nanti malam. Ingat, jangan berbuat macam-macam. Kau jangan mengulangi kesalahan yang kau lakukan kemarin. Aku seakan sudah tak punya wajah jika bertemu dengannya akibat perbuatanmu yang seenaknya. Datang tepat waktu! Jam tujuh malam ini. Tidak boleh telat satu detikpun!”
“Baik bos.”
..........
Perasaan Clara tidak enak. Ia yakin jika Bagas akan berbuat macam-macam kepadanya. Orang yang berkuasa memang seperti itu. Suka berbuat seenaknya. Namun, ia berusaha untuk tetap profesional. Jika tidak, bukan hanya dirinya saja yang akan kehilangan pekerjaaan. Tapi teman-temannya juga.
Dengan perasaan dongkol, ia meriasi wajahnya sebaik mungkin. Sekali lagi, ia harus bersikap profesional. Ia sudah siap. Clara sudah menyimpan segala emosi dan amarahnya saat akan menemui pria pongah itu.
Sudahlah. Clara hanya bisa berharap. Jika pria pongah itu tidak berbuat macam-macam kepadanya.
Dengan ragu. Clara mulai bangkit. Berniat menemui pria pongah itu. Sesekali ia menggerutu, melayangkan umpatan-umpatan yang diberikan kepada pria pongah.
Ceklekk
Bagas menoleh. Ia tak menyangka jika Clara akan datang lebih awal. Ia menyeringai. Penampilan Clara tak seburuk yang sebelumnya. Bagas mengamati tubuh Clara dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
Clara yang ditatap seperti itu merasa risih. Ia memalingkan wajahnya. Tak ingin menatap wajah pria di depannya yang bikin muak.
“Ada apa?” tanya Clara to the point.
“Tentu saja menyuruhmu untuk melayaniku. Aku sudah memesanmu!”
“Ck. Aku tahu, kalau kau tak hanya menginginkan itu!”
“Oh, kau sudah tahu ternyata. Luar biasa.” Puji Bagas dengan nada meremehkan.
“Brengsek!”
“Mulutmu cantik. Jangan biarkan aku merobek bibirmu dengan bibirku jika kau berani berkata kasar di depanku.”
“Aku tak perduli sialan!”
“Lagi-lagi kau mengumpat sayang. Kau ingin bibirmu ku robek ya?”
“Aku tak sudi.”
Bagas menyeringai.
“Clara Nelson. Yatim piatu. Memiliki dua adik. Orang tua memiliki hutang sepuluh miliar. Pekerjaan jalang. Tinggal di kos kelas kawasan menengah blok melati.”
“Kau?! Darimana kau tahu?”
“Kau tak perlu bertanya dimana aku tahu. Yang jelas aku bisa melakukan apapun yang ku mau.”
“Kurang ajar. Kau melakukan doxing. Aku akan melaporkanmu ke polisi!”
“Melaporkan ke polisi? Kau tak ingat. Aku memiliki kekuasaan. Jika kau melaporkan aku ke polisi, kau yang akan aku jebloska ke rutan kumuh itu.”
Clara menggeram marah. Benar dugaannya bahwa Bagas berbuat macam-macam dengannya.
“Kau benar-benar pria brengsek. Tak punya hati!”
“Iya benar, aku memang pria seperti itu. Umh... Aku jadi berfikir, bagaimana kalau kakak yang dibangga-banggakan oleh adik-adiknya hanyalah seorang jalang.”
Clara membolakan matanya kaget. Ia ingin menangis sekarang. Ia tak pernah membayangkan bagaimana reaksi adik-adiknya saat mengetahui bahwa kakaknya adalah seorang jalang. Ia menggelengkan kepalanya ribut. Ini benar-benar masalah besar. Dengan merendahkan diri, Clara memohon kepada pria di depannya ini.
“Jangan katakan apapun kepada adik-adikku. Aku akan melakukan apapun asal kau tak memberitahu adik-adikku. Aku mohon.”
“Melakukan apapun? Oke. Aku tak akan memberitahu apapun kepada adik-adikmu. Tapi ingat, jika kau melanggar. Jangan harap akan aman!”
Clara hanya menangguk ragu. Ia yakin. Mulai sekarang kehidupannya akan semakin buruk. Kehidupannya yang akan buruk semakin buruk karena bertemu dengan pria pongah di depannya ini.
........
Clara menyusuri jalan dengan langkah gontai. Ia merasa frustasi. Kedatangan Bagas membuat kehidupan Clara dibolak-balikkan tak berperasaan. Clara menduga, mungkin ini adalah ganjaran dari Tuhan karena ia telah melakukan pekerjaan yang penuh dosa. Ia mulai menitikkan air matanya. Meratapi nasib kehidupannya yang tak kunjung membaik.
Seharusnya kehidupannya tak seperti ini. Bahkan, ia belum pernah merasakan kebahagiaan. Saat kecil, ia bukanlah anak yang diharapkan. Ia terlalu tersisihkan. Kedua orang tuanya bahkan seakan tak perduli dengan kehadirannya.
Clara kecil hanya diajarkan untuk terus mengalah kepada kedua adiknya. Ia harus dipaksakan dewasa di masa anak-anaknya. Air matanya semakin deras. Mengenang masa kecil membuat dadanya merasakan begitu sesak. Clara menahan nafas. Berusaha menahan tangis. Namun, ia tak bisa. Ia menangis keras. Tak memerdulikan orang-orang yang menatapnya aneh dan iba.
Clara meluruhkan tubuhnya. Duduk dipinggir trotoar. Ia menulikan pendengar akan bisikan-bisikan orang-orang di sekitarnya. Ia menenggelamkan wajahnya pada lutut yang ditekuk. Ia meluapkan segala kesedihannya seorang diri.
Setelah beberapa lama, Clara bangkit. Ia mengusap matanya kasar. Ia tak boleh lemah. Ia harus bertahan demi adik-adiknya. Mereka pasti sedang menunggunya. Membayangkan adik-adiknya yang selalu menunggunya di depan pintu kosnya membuat Clara tersenyum. Mereka pasti akan khawatir jika ia pulang terlambat.
Srasshhh....
Angin bertiup dengan kencang.
Kilat petir semakin kencang. Menandakan bahwa hujan akan turun. Clara mempercepat langkahnya. Kemudian ia membeli makanan untuk makan malam. Setelah itu, berlari ke arah rumah saat dirasa gerimis sudah turun ke bumi.
..........
Benar dugaannya. Adik-adiknya telah menunggunya di depan pintu. Lebih tepatnya di teras kosnya. Clara tersenyum. Ia tak memperdulikan tubuhnya yang menggigil saat melihat kedua adiknya. Tubuhnya tergurun hujan. Hujan turun saat Clara di tengah perjalanan.
..........

หนังสือแสดงความคิดเห็น (177)

  • avatar
    Ghe Thonbesy

    ceritanya seru

    19d

      1
  • avatar
    ່༺K꙰I꙰T꙰S꙰U꙰N꙰E꙰E꙰༻

    bagus

    23d

      0
  • avatar
    Ryan Garcia

    sangat bgus

    26d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด