logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Part 1

Bagas berjalan dengan tergesa menuju ruangannya. Wajahnya begitu datar. Suram sekali. Hanya terdengar suara ketukan sepatu mahal dari Bagas. Hening sekali. Membuat suasana semakin mencekam.
Bagas memelototkan matanya ketika melihat sang karyawan memerhatikannnya. Sang karyawan hanya bergidik ngeri. Berusaha memalingkan wajah atau menundukkan kepalanya sebisa mungkin agar terhindar dari tatapan tajam dari sang atasan.
Ditya, salah satu karyawan Bagas memilih tak perduli. Ia masih memfokuskan pekerjaannya. Pria ini terlihat begitu cuek. Ia sudah terbiasa melihat mood sang atasan yang terlihat naik turun. Kekanakan sekali.
Pria dengan senyuman secerah matahari ini kembali memfokuskan ke layar komputernya. Ia harus bekerja keras. Ia harus naik jabatan tahun ini. Ditya malu pada dirinya sendiri karena menjadi lulusan terbaik bidang akuntasi dengan IPK 4.0 tak membuat Ditya memiliki jabatan yang menurutnya layak. Ia hanya jadi karyawan biasa yang mengurus keuangan. Kadang, ia juga menggantikan tugas sekretaris apabila sang sekretaris ada halangan. Padahal, setiap pekerjaan yang dikerjakannya selalu mendapatkan pujian dari karyawan lain bahkan sang atasan.
Mungkin, Ditya harus bekerja keras. Ia akan membuktikan bahwa ia bisa melakukan yang terbaik dan segera mendapatkan jabatan yang bagus. Ia ingin melihat kedua orang tuanya tak lagi mengomel karena merasa sang anak mendapatkan posisi yang menurutnya tidak adil sama sekali. Juga, Clara. Clara adalah sahabat Ditya. Mereka bersahabat sejak mereka sama-sama merantau di ibu kota. Letak kos mereka bersebelahan. Ia melihat sosok Clara adalah gadis pekerja keras. Gadis polos itu, rela melakukan segalanya demi adik-adiknya.
Ditya jadi merindukan gadis itu. Melihat bayangannya saja membuat ia jadi kembali semangat. Seakan gadis itu memberikan energi pada pria itu.
***
Bagas memasuki apartemennya dengan lesu. Ia benar-benar tak bisa mengerjakan pekerjaaannya berang sedikitpun. Lebih baik ia meliburkan diri. Saling menghangatkan dengan ranjang empuknya sepertinya pilihan yang bagus.
Bagas akan menjernihkan fikirannya saat ini. Ia tak mau, jika dokumen-dokumen itu akan semakin menumpuk jika ia terbengkalai terlalu lama. Huft, Bagas menghela nafas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang empuk yang seakan menantinya. Baru saja ia mulai memejamkan mata, suara bel pintunya di tekan dengan tak sabarnya.
Bagas menggeram kesal. Ia kesal, istirahatnya terganggu. Seharusnya ia segera meraih mimpinya. Tapi, karena bel sialan itu, terpaksa ia harus bangun dari ranjang empuknya.
***
Bagas dengan malas membuka pintunya. Wajahnya yang masam semakin masam melihat wanita yang ada di hadapannya. Wanita di depannya tersenyum, lebar sekali. Senyuman lebar itu malah membuat Bagas mual sendiri.
Wanita itu, Jasmine. Tunangan Bagas. Pertunangan mereka terjadi karena perjodohan antar keluarga. Orang tua Bagas begitu menyukai Jasmin. Tingkah laku Jasmine yang lemah lembut dan anggun membuat mereka jatuh cinta sepenuhnya. Selain itu, Jasmine memiliki wajah cantik dan memiliki tubuh yang ramping. Idaman sekali.
Jasmine merentangkan tangannya. Gestur ingin dipeluk. Namun, Bagas tetap memasang wajah datar, tak berminat sama sekali. Melihat itu, Jasmine memberenggut kesal. Ia memeluk Bagas sepihak.
“Kenapa datang?” tanya Bagas datar
“ Aku datang karena merindukanmu, sayang.”
“Ck, katakan saja. Kau hanya merindukan uang ku saja,bukan? Bukankah aku sudah memberikan sepuluh juta tadi pagi? Dan sekarang? Kau memintanya lagi? Ayolah, aku bukan orang yang wajib memberikanmu uang.”
“Ck. Kenapa sekarang kau pelit sekali? Memberikan aku uang tak akan membuatmu miskin! Jangan berlagak tidak punya uang sama sekali! Ingat, aku tunanganmu!”
“Tunangan? Aku tak perduli sama sekali. Aku bertunangan denganmu hanya sebuah keterpaksaan! Aku tak menyukaimu sama sekali!”
“Tak menyukaiku sama sekali katamu? Kau tak ingat, bahwa hampir setiap minggu kita melakukannya?”
“Kita melakukannya bukan karena menyukaimu. Tapi karena aku butuh. Aku pria dewasa, jadi lebih wajar saja aku membutuhkannya. Lagipula kau sama saja dengan wanita-wanita yang aku sewa setiap malam.”
“Kurang ajar. Mulutmu tak bisa disaring sama sekali ya? Aku adukan pada orang tuamu ya?!”
“Cih, dasar pengadu. Adukan saja sana, aku tak peduli. Aku masih bisa hidup tanpa mereka.”
Jasmine mendengus sebal. Ia tak menyangka jika Bagas semakin mengesalkan. Dengan tergesa, Jasmine meninggalkan Bagas dengan terus menggerutu.
Bagas menghela nafas, kesialannya benar-benar menumpuk hari ini. Semua berawal dari wanita itu. Hah... Lebih baik Bagas kembali merebahkan diri ke ranjang empuknya.
***
Clara hanya bisa terdiam mendengar ucapan bosnya. Berbagai umpatan dan makian telah masuk ke rungunya.
“ Kau itu memalukan Clara! Tak seharusnya kau memberlakukan Pak Pratama seperti itu! Kau tak tau? Pak Pratama adalah salah satu donatur terbesar di klub ini. Hancurlah reputasiku hanya karna kau,Clara!”
Clara terus menundukkan kepalanya. Dalam hati, terus menggerutu. Telinganya terasa panas dan pengap mendengar celotehan sang bos yang tak kunjung berhenti. Ia juga terus mengumpati pria bernama Bagas itu. Karena lelah, Clara memutuskan untuk membuka suara. “Maaf.”
“Maaf katamu? Kata maafmu tak akan membalikkan keadaan, Clara! Kau kira dengan meminta mafaf, masalah telah selesai?”
Clara berusaha meredam emosinya. Ia tak mau emosinya menguap dan berakhir ia dipecat karena emosi terhadap bosnya. Clara memilih menerima dengan senang hati omelan dari bosnya. Daripada ia dipecat kemudian kehilangan pundi-pundi uangnya.
“Mengerti?” Akhirnya, sang bos berhenti mengomel. Mungkin mulutnya sudah terlalu kelu untuk mengeluarkan kata-kata lagi. Sedangkan Clara hanya mengangguk lesu. “Saya mengerti dan meminta maaf. Saya berusaha tak akan mengulanginya lagi.”
“Bagus. Kalau kau sampai mengulanginya lagi. Kau akan tahu akibatnya.”
“Iya, saya mengerti.”
Dengan lesu Clara meninggalkan ruangan sang bos. Ia mendudukan pantatnya pada sebuah rentetan kursi di depan ruangan sang bos. Untung saja, sang bos tidak memecatnya. Kalau itu benar-benar terjadi, ia tak tahu, harus kemana lagi ia harus mencari pekerjaan entah kemana. Dan berakhir adik-adiknya tidak bisa melanjutkan pendidikan, yang paling parah, mereka berakhir di jalanan dan kelaparan karena ia tak mampu membayar kos.
PLAAKKK
Clara terkejut hingga tubuhnya terangkat otomatis. Ia menengokkan kepalanya, bersiap memarahi orang yang telah mengagetkannya. Saat melihat orang yang itu, ia jadi menghela nafas. Ternyata itu Andien, sahabatnya. Melihat senyuman lebar tanpa merasa bersalah itu, Clara hanya bisa berusaha meningkatkan kesabarannya.
“Kau kenapa?” tanya Andien khawatir. Pasalnya sang sahabat terlihat murung, memeikirkan sesuatu.
“Tak apa. Hanya masalah kecil.”
“ Ucapan bisa saja bohong. Tapi, sorot matamu tak bisa disembunyikan,Clara. Kenapa? Kau dimarahi bos ya? Tadi aku mendengar teriakan-teriakan bos dari luar. Kau dimarahi kan? Ada apa dengan pria tua itu? Tak biasanya dia memarahimu.”
“Entahlah haha. Aku hanya membuat orang bernama Bagas merasa kesal.”
“Bagas? Maksudmu Pak Bagas Pratama? Wah... Kau membuat masalah besar Clara. Kau tak tahu ya, Pak Bagas itu, donatur terbesar di klub ini. Bisa dibilang, sebagian gaji kita berasal dari beliau. Duh, kalau dia berhenti menjadi donatur sini, bisa jadi kita hanya menerima separuh gaji saja.” Andien berceloteh.
Clara hanya terdiam mendengar perkataan Andien. Ternyata, sebesar itukah dampak dari si Bagas-Bagas itu. Tapi, ia tak terlihat layaknya orang kaya. Si Bagas hanya tampak pria biasa yang kelebihan hormon dimana sang istri tak melayaninya.
“Oii... Clara! Kenapa melamun lagi.”
“Diamlah Andien. Bukannya memberi solusi malah membuat aku semakin merasa bersalah. Kau tak tau gimana takutnya aku jika aku dipecat. Aku membayangkan gimana nasib adik-adikku nanti.”
“Sudahlah. Tak perlu difikirkan. Lagipula itu tidak terjadi,kan? Jangan terlalu banyak berfikir yang tidak-tidak. Jika kau banyak berfikir aku malas sekali menatapmu. Wajahmu sangat kusut melebihi pakaian yang tak disetrika selama lima tahun.”
“Jika kau malas menatapku, kau bisa memalingkan wajah cantikmu itu. Lagipula aku tak menyuruhmu untuk terus menatapku tuh.”
“Begini Clara. Jika wajahmu kusut begini bagaimana kau bisa menyenangkan hati client? Kau bisa saja kehilangan tip mu karena mereka malas dengan pesanan mereka yang berwajah kusut. Lihat, dengan wajah ceria seperti ini, aku bisa mendapatkan banyak tip hari ini. Yah, walaupun tak sebanyak dirimu si... Aku kan hanya pekerja biasa.”
“Iya-iya Andien yang selalu ceria. Jadi bisakah kau memberikan solusi daripada harus berceloteh terus menerus?”
“ Ahh, solusi ya? Umh... Kau tinggal minta maaf saja pada Pak Bagas. Dan masalah selesai.”
“Apa katamu? Minta maaf. Tak sudi. Lagipula dia yang salah, mengapa aku yang harud meminta maaf?”
“Hey, meminta maaf bukan harus yang bersalah. Aku yakin kalian sama-sama bersalah kan?”
“Tidak juga. Sudah jelas, dia yang bersalah. Aku tak mau memin maaf. Adakah saran lain?”
“Sepertinya itu satu-satunya cara. Duh, kenapa kau yang berbuat aku yang harus memikirkannya? Sudahlah, aku pergi dulu, aku ingin menemui pundi-pundi uangku. Bye.”
Andien mulai beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan Clara dengan berjalan sembari berjengit layaknya anak-anak. Rambutnya dikibaskan ke kanan dan ke kiri. Persis seperti amal kecil.
“Ya, silahkan. Pergi sana. Kalau bisa tak usah kembali.” Gumam Clara pelan.
Clara kembali diam. Ia mulai memikirkan perkataan Andien. Haruskah ia meminta maaf? Tapi kenapa? Bahkan ia merasa tak melakukan kesalahan sama sekali. Clara mengendikkan bahunya. Sepertinya ia harus memilih pulang lebih awal. Ia benar-benar merasa badmood tak memiliki gairah untuk menjadi pekerja malam ini.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (177)

  • avatar
    Ghe Thonbesy

    ceritanya seru

    19d

      1
  • avatar
    ່༺K꙰I꙰T꙰S꙰U꙰N꙰E꙰E꙰༻

    bagus

    24d

      0
  • avatar
    Ryan Garcia

    sangat bgus

    27d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด