logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Berondong Gatal Yang Terpental

"Bisakah kau lebih jujur lain kali padaku, suamimu?" bisik Sakti dengan embusan napas hangat menyapu pipi Sari.
"Maaf. Aku hanya … aku …." Sari benar-benar tidak bisa fokus dengan posisi meraka saat ini.
"Apa?"
Dengan mengembuskan napas kasar, Sari pun melepas pelukan itu.
"Aku harus pergi. Maaf," katanya lagi dengan menutup mata karena tidak mau melihat apa yang ada di balik handuk yang sudah terlepas itu.
Kembali Sakti menahan lengannya. "Suapi aku dulu dan buka matamu!"
Sari pun memaksa matanya untuk terbuka. Ia menengadah menatap wajah Sakti yang segar agar matanya tidak perlu mencuri pandang ke bagian bawah.
Sakti yang merasakan kegugupan di wajah istrinya pun tiba-tiba terpikir sesuatu yang jahil. Bagaimana bisa Sari menghindari memandang tubuhnya, padahal ia sudah sering dibawa ke nirwana oleh tubuh itu.
Pria itu menarik perlahan lengan yang tadi ia genggam. Lalu, meletakkan di pahanya.
Sontak hal itu membuat Sari berteriak, lalu terdiam karena menyadari tangannya baru saja menyentuh kain, buka kulit.
"Astaga. Aku pikir kau tidak memakai celana."
Sakti pun tertawa mendapati wajah kikuk sang istri. Padahal, ia suaminya bukan pria asing.
"Cepat suapi aku. Aku menghabiskan banyak energi saat harus berpura-pura marah padamu."
***
Ponsel Zoya berdering di tengah malam. Ia yang masih berkutat dengan laptop pun melihat siapa yang meneleponnya di saat jam istirahat itu.
"Iya, Bela. Ada apa?"
"Zoya, bagaimana kencanmu dengan Alden? Apa berjalan lancar?" tanya Bela yang mencoba melancarkan serangannya kembali.
"Lancar apanya. Dia tidak sopan, memberi minumanku obat perangsang," jawabnya kesal.
"Oh ya? Bagaimana bisa?" tanya Bela berpura-pura. Padahal, ia adalah otak dari obat gila itu.
"Entahlah. Sepertinya menjomlo lebih baik saat ini daripada harus berurusan dengan lelaki seperti itu. By the way, kau di mana? Kenapa sepi sekali. Biasanya …."
"Biasanya aku sedang mengerang kenikmatan saat kau menelepon, itu maksudmu?"
Zoya pun tertawa karena isi pikirannya tertebak. "Kau tau saja."
"Itu 'kan saat kau menelepon. Kalau sekarang 'kan aku yang meneleponmu. Tentu saja aku tidak sedang melakukan itu dan sedang senggang sekarang. Lagi pula, kenapa kau suka tidak mematikan saat aku suruh. Apa kau diam-diam mendengar?"
"Mm … itu …. Ah, Bela. Bagaiman kabar ibumu? Apa sudah sembuh?" Zoya pun mengalihkan pembicaraan agar tidak ketahuan kalau selama ini ia menikmati semuanya hanya dengan membayangkan.
"Itulah sebab aku meneleponmu. Ibuku yang kemarin masuk ke rumah sakit, sekarang harus di operasi. Aku butuh biaya besar karena ibuku tidak punya asuransi."
"Kenapa dioperasi?"
"Ada tumor di rahimnya. Kalau tidak segera diangkat, entah apa yang akan terjadi." Bela menangis terisak dengan kepalsuan agar Zoya merasa iba padanya.
Selalu saja usaha Bela berhasil kalau menjual nama ibunya yang sedang sakit. Padahal, orang tua itu masih sehat dan masih pergi ke sawah setiap hari.
"Kau butuh berapa?"
"Sebenarnya 50 juta. Tapi, karena aku meminjam, lebih baik hanya 10 juta saja. Tapi, apa kau keberatan, Zoya?"
Zoya terdiam sejenak. Ia berpikir pasti Bela sedang kesusahan mencari pinjaman. Namun, ia tidak bisa mentransfer banyak-banyak karena semua rekeningnya diawasi oleh sang kakak.
Bulan lalu ia dimarahi oleh Sakti karena meminjamkan uang sebesar 20 juta pada Bela. Kalau ia mentransfer lagi pada Bela, pasti ia dimarahi lagi.
"Maaf, Bela. Aku tidak bisa meminjamkanmu karena takut dimarahi Kak Sakti. Dia mengawasi semua rekeningku."
"Tidak apa, Zo. Mungkin aku bisa menghubungi teman-teman yang lain yang bisa membantu. Tapi … aku juga tidak yakin akan berhasil."
Suara Bela mendadak sendu agar bisa menghanyutkan perasaan temannya yang mudah iba itu.
"Semoga berhasil, Bel."
Sambungan telepon terputus dan Bela melempar ponselnya karena kesal telah gagal mendapatkan uang dari Zoya. Hanya gadis itu temannya yang tidak memperhitungkan soal uang selama ini. Namun, karena kehadiran Sakti, ia pun kehilangan kesempatan emas yang selama ini dinikmatinya.
***
Alan sudah berpakaian olahraga lengkap. Ia memakai kaus tanpa lengan dan celana pendek. Sepatu serta handuk kecil melingkar di lehernya.
"Mau ke mana?" tanya sang ibu.
"Joging, Ma." Ia menenggak segelas susu dan menghabiskan setengahnya. Lalu mencium sang ibu dan segera pergi.
"Anak itu kenapa aneh sekali. Biasanya dia tidak mau olahraga di luar. Polusi, berisik, atau apa saja alasannya. Kenapa sekarang aneh begitu?"
Hana menggeleng memikirkan perubahan sikap anaknya yang signifikan. Namun, ia tidak bisa berlama-lama dan segera menuntaskan sarapan.
Sesampainya di gerbang rumah, Alan menghampiri satpam rumahnya.
"Yakin, dia sering joging?" tanyanya.
"Iya. Biasanya sendirian, tapi kadang sama laki-laki," jawab si satpam.
"Siapa?"
"Sepertinya kakaknya. Tapi entahlah, mereka sama sekali tidak mirip."
Alan pun bergegas pemanasan di depan pagar dan memperhatikan rumah tetangganya. Ia akan sangat bersyukur kalau gadis yang ia antar malam itu, akan berlari mengelilingi kompleks pagi ini.
Tidak ada doa yang tidak dikabulkan. Hanya saja, setiap doa butuh waktu agar bisa terwujud bersama usaha yang seimbang.
Alan semringah melihat gadis bertubuh langsing dan tinggi, tetangganya berlari mendekati pagar rumah. Sengaja pria itu berlari lambat agar bisa beriringan dengan Zoya.
Zoya memakai pakaian olahraga yang tertutup dengan kombinasi warna putih dan kuning. Gadis itu sudah terbiasa berlari mengelilingi kompleks sebelum menyibukkan diri dengan laptop dan kucing-kucingnya.
Zoya tidak mengenali Alan sama sekali pagi itu. Ia berlari melewati pria itu tanpa memberi teguran.
Pria itu mengikuti ritme langkah Zoya dan mulai merasa gerah saat sinar matahari perlahan menyisip. Selama ini, ia sangat jarang bersentuhan langsung dengan cahaya matahari. Karena gaya hidup dan pekerjaan yang menuntutnya untuk selalu berada di dalam ruangan.
Gadis itu terlihat aneh di mata Alan. Ia berlari dengan arah yang berubah-ubah, tidak selalu lurus ke depan. Terkadang ia berlari ke kiri dan ke kanan dan terkadang ia berlari sambil melompat.
Akan tetapi, saat Zoya berlari mundur, Alan yang berada tepat dalam satu garis lurus pun tidak bisa menghindar hingga mereka bertabrakan.
"Ketahuan 'kan!" bentak gadis itu.
Alan yang meringis karena sikunya terluka pun bertanya, "Ketahuan apa?"
"Kau pasti sengaja mengikutiku. Ayo mengaku!"
"Me … mengikuti apa?"
Zoya menarik leher baju pria itu dan memaksanya berdiri. "Sekali lagi kau ketahuan," Zoya meletakkan tanggannya di leher, lalu menggerakkan seperti orang sedang menyembelih. "Kuhabisi kau!" ancamnya.
Pria itu hanya bisa menganga melihat gadis itu ternyata ganas tidak seperti dugaannya.
Tanpa memedulikan Alan, Zoya pun kembali berlari pulang. Moodnya berantakan karena sadar sudah diikuti sejak pria itu keluar dari rumahnya.
"Cepat sekali larinya, Nona?" sapa satpam saat ia baru sampai di rumah.
Zoya pun menghampiri satpam itu dan bertanya, "Apa bapak tau tetangga baru kita?"
"Tetangga baru? Sepertinya tidak ada tetangga baru. Rumah itu masih ditempati Bu Hana. Baru saja saya melihat mobilnya keluar," kata si satpam.
"Lalu, siapa pria yang tadi mengikutiku?"
"Entahlah."
Zoya pun pergi meninggalkan satpam itu dengan benak penuh pertanyaan yang ia jawab sendiri. Namun, satu kemungkinan yang sangat ia yakini adalah kalau pria tadi adalah suami baru tetangganya itu.
"Dasar tante-tante girang. Seleranya brondong gatal."

หนังสือแสดงความคิดเห็น (323)

  • avatar
    ZahiraUlvia

    bagus

    2d

      0
  • avatar
    slayyymira

    bagus aku sangan menyukai cerita inii🤩

    7d

      0
  • avatar
    PnkAura

    aplikasi ini sangat bagus

    12d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด