logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Selalu Memaafkan

Marsya berjalan lunglai memasuki gedung perusahaan, ia tiba-tiba tidak bersemangat karena harus bertemu Anna yang sudah pasti akan memamerkan kembali kekasihnya. Ia akan banyak bercerita pada temannya, hal apa yang sudah dilakukannya bersama dengan Alif.
Jika dipikir-pikir, bukan Anna yang menjadi selingkuhan Alif. Namun, malah Marsya yang justru menjaga hubungannya itu.
“Mbak Marsya,” ucap seorang wanita di belakang Marsya.
Tangan Marsya yang akan menarik pintu pun, ia urungkan dan dengan sigap membalikkan tubuhnya.
Rupanya wanita itu adalah seseorang yang pernah bertemu dengan Marsya di sebuah cafe, dia adalah Dinda yang Marsya yakini memang kekasih Alif.
“Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Marsya dengan sopan.
Sedangkan Dinda hanya membuang napas kasar, “iya lo harus bantu gue. Tolong, lo pergi dari kehidupan mas Alif. Karena gue sekarang sedang mengandung anak dia.”
“Apa?” Mata Marsya seketika membelalak sempurna, ia tidak percaya dengan ucapan dari Dinda.
“Lo nggak usah kaget mbak, gue udah bilang. Kalau mas Alif itu pacaran sama gue dan kita udah sering tidur jadi lo harus—“
Plak!
Tanpa sadar, tangan Marsya mengangkat ke atas dan menampar Dinda. Matanya terlihat berkaca-kaca saat ini, bahkan ia tidak tahu harus mengatakan apa.
“Lo, kok nampar gue?” Dinda terlihat kesal sambil memegangi pipinya.
“Kamu!” tunjuk Marsya pada Dinda.
“Kenapa nggak punya harga diri? Kamu baru kenal Alif satu bulan, dan aku udah lima tahun. Aku bahkan nggak hamil selama menjalin hubungan ini, kami bahkan nggak pernah tidur bareng. tapi kamu ... kenapa berniat menghancurkan hubungan aku sama dia?” sambung Marsya yang mulai emosional.
Dinda hanya menyunggingkan bibirnya, “jangan seolah lo yang tersakiti di sini, memangnya gue mau jadi selingkuhan Alif? Gue udah ngaca beberapa kali, dan lo jauh lebih baik daripada gue. Asal lo tau, gue udah nolak dia dan nyuruh dia kembali. Tapi, dia tetep balik sama gue dan bilang bakal bubar sama lo.”
Dinda mulai menangis, air matanya mengaliri kedua pipinya saat ini.
“Gue nggak mau jadi yang ke dua, gue juga nggak mau terus sembunyi dari hubungan ini. Dia itu cowok nggak baik, makanya gue minta lo pergi dari hidup dia, karena lo nggak pantes buat Alif. Lo terlalu baik kalau harus sama Alif,” sambung Dinda.
Marsya menghela napasnya, ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
“Kalau kamu nyuruh aku pergi dari hidup Alif, gimana sama kamu sendiri? Dia cowok nggak baik, apa kamu mau sama dia dan rela terus menerus liat dia berselingkuh?” tanya Marsya.
Dinda pun terdiam dengan tangan yang mengusap perutnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, yang jelas Dinda tidak mau jika Marsya wanita baik menjalin hubungan dengan Alif.
“Yang penting itu mbak Marsya, jangan pikirin gue. Karena gue udah biasa hidup kayak gini, jangan sia-siain waktu mbak sama cowok nggak jelas macam Alif.”
Marsya membuang napas perlahan, kemudian ia menutup lalu membuka matanya.
“Kenapa kamu peduli sama aku, kita nggak pernah saling kenal. Kenapa kamu nggak mau aku hidup sama Alif? Apa yang kamu tau tentang hubungan kita?”
“Semuanya, mbak. Kalau gue cerita semua yang udah dilakuin Alif, mungkin mbak nggak akan sanggup berdiri.”
Sebetulnya apa yang sudah Alif lakukan di belakang Marsya? Hingga wanita lain mewanti-wanti jika Marsya jangan menjalin hubungan dengan Alif. Faktanya, Marsya sangat terluka dengan hal ini, namun dirinya berusaha tegar dan tak peduli apa pun yang sudah dilakukan oleh Alif. Namun, apakah harus ini yang terjadi? Alif menanam benih pada rahim wanita lain.
“Tolong, mbak. Hargai perasaan lo sendiri,” sambung Dinda sambil melangkahkan kakinya pergi dari hadapan Marsya.
Sedangkan Marsya hanya terdiam, hatinya terluka dan butuh penjelasan lebih dari Alif.
“Tunggu!” Marsya baru mengingat sesuatu.
Dinda pun menghentikan langkahnya, “ada apa?”
“Siapa nama kamu?” tanya Marsya.
“Dinda,” ucap Dinda singkat.
***
Malam hari, ketika selesai bekerja. Marsya menunggu Alif di sebuah restoran, ia ingin makan malam bersama pria yang masih menjadi kekasihnya itu. Namun, sepertinya Alif terlambat datang ke sana. Terlihat Marsya beberapa kali melirik jam di tangannya, yang sudah menunjukkan pukul delapan.
Namun, tiba-tiba Alif datang dengan wajah kusut. Ia berjalan lunglai menghampiri Marsya.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Marsya yang heran dengan sikap Alif.
Alif hanya menggeleng pelan, ia pun menundukkan kepalanya, seolah tak berani menatap Marsya.
“Kamu, mau makan apa? Ayo pesen.” Marsya membuka menu makanan, namun Alif mencegahnya.
“Sya, aku mau ngomong sama kamu.” Alif mulai menatap Marsya dengan mata sayu.
“Kita harus makan dulu, udah lama juga kan kita nggak makan bareng. Ngomongnya nanti aja ya, aku tau kamu pasti laper abis kerja.” Marsya tetap mencoba tegar, walaupun ia tahu saat ini Dinda pasti sudah mengadu pada Alif tentang kehamilannya.
Alif hanya pasrah, walau bagaimanapun perutnya memang sudah sangat kelaparan saat ini.
Menu hidangan yang dipesan oleh Marsya pun sudah tersaji di meja makan, ia terlihat sangat antusias karena sudah sangat lapar sejak tadi.
“Ayo, di makan sayang.”
Alif hanya mengangguk, ia pun harus mengisi energi untuk berbicara dengan Marsya.
Selang beberapa menit, makanan pun sudah habis. Terlihat Marsya yang sudah kenyang, dan Alif yang masih tak berekspresi. Ia pun meraih tangan kekasihnya itu, dan menatapnya dalam.
“Aku boleh ngomong sekarang?” tanya Alif.
Marsya hanya tersenyum, ia tahu apa yang akan dikatakan oleh Alif saat ini. Demi hatinya yang sudah terluka, Marsya harus mencari angin segar terlebih dahulu, agar ketika Alif mengatakan hal pahit, dirinya tak menangis.
“Jangan sekarang, aku mau kita jalan-jalan dulu. Kamu tau nggak sih, aku kan kangen banget sama kamu.” Marsya tetap tersenyum, walaupun ia ingin sekali melempar garpu pada wajah Alif.
Alif hanya mengangguk pelan, walau bagaimanapun ia masih menjadi kekasih Marsya yang harus menemaninya.
Mereka pun ke luar dari restoran, Marsya dan Alif berjalan kaki menyusuri jalanan kota yang masih ramai. Ia tidak mau menaiki mobil Alif, karena Marsya rasa berjalan kaki mengingatkan dirinya pada masa-masa ketika Alif masih belum menjadi apa-apa.
Alif yang ditemani oleh Marsya dari nol, dan berjuang bersama-sama untuk meraih mimpi. Nyatanya saat ini tidak sama seperti dulu, bahkan Marsya tidak akan pernah tahu jika dirinya akan memaafkan Alif atas kesalahannya.
“Sayang, kamu inget nggak. Dulu kita sering kan jalan bareng kayak gini? Kamu pegang tangan aku kuat-kuat dan setelah itu lari karena ada hujan, he he.” Marsya memegang tangan Alif, sambil memainkan jarinya.
Alif mengangguk, ia menatap senyuman yang terlukis di wajah Marsya. Saat ini, Alif tidak tahu keadaan Marsya yang terluka, ia pikir Marsya tidak tahu tentang perselingkuhannya.
“Kamu lucu deh, takut sama kecoa. Jadi, aku yang harus kejar-kejaran sama kecoa itu,” sambung Marsya.
Alif meraih pundak Marsya dan membuat kekasihnya itu menghentikan langkahnya, ia membelai rambut Marsya dengan lembut. Menatap mata cokelat gadis itu yang terlihat sangat cantik.
“Kamu, selalu cantik dan akan tetap begitu.”
Marsya tertawa kecil, “gombal.”
“Sya, aku boleh ngomong sekarang?” tanya Alif yang sudah tak sabar ingin mengatakan sesuatu.
Marsya tahu, dirinya tidak bisa terus mencegah Alif. Maka hanya anggukan sebagai jawabannya, lagi pula hatinya akan tetap sakit.
“Sya, aku mau nikah sama kamu.”
Seketika Marsya membelalak, ia tidak menyangka jika hal yang Alif katakan adalah pernikahan.
“Kamu serius? Kok tiba-tiba?”
Alif mengangguk, “iya Sya. Tapi, aku minta sama kamu, tolong pura-pura hamil anak aku.”
Marsya mengerutkan keningnya, bingung. Sebetulnya apa yang ada di dalam pikiran Alif saat ini?
“Maksud kamu apa? Aku ... harus pura-pura hamil?”
“Iya, Sya. Maafin aku, karena ini kesalahan aku. Jadi, aku minta kamu pura-pura hamil dan kita menikah. Aku nggak bisa nikahin cewek itu, dia—“
“Cewek yang mana?” Marsya memotong ucapan Alif, ia tahu sudah pasti wanita yang dimaksud adalah Dinda.
“Kamu, beneran selingkuh dari aku?” Marsya sudah tahu, namun ia ingin tahu kejujuran dari mulut Alif.
Sedangkan Alif hanya mengacak rambutnya, ia terlihat frustasi saat ini.
“Maafin aku, Sya. Aku khilaf, aku bener-bener nggak inget malam itu di club malam. Dia cewek nggak bener, aku nggak mau nikahin dia.”
Marsya menggeleng-gelengkan kepalanya, jujur saja lima tahun belum cukup untuk ia mengenal Alif. Bisa-bisanya dia berbohong dan membuat hal gila dengan mengatakan jika Dinda wanita tidak baik.
“Klub malam? Sejak kapan kamu sering ke sana? Alif, aku pikir lima tahun cukup untuk kita mendewasakan diri. Tapi apa? Kamu malah semakin kekanak-kanakan, kamu mau aku pura-pura hamil dan cewek itu melahirkan anak kamu, seolah dia lahir dari rahim aku? Karena kamu malu sama status Ibunya, gitu?” Marsya menaikkan nada bicaranya.
Alif mencoba meraih tangan Marsya, namun Marsya menolaknya.
“Usia Dinda jauh di bawah aku, dan kamu seenaknya menipu dia. Sekarang, kamu bilang dia cewek nggak baik? Kamu mau membuang cewek nggak baik itu? Lalu gimana denganku? Di mata kamu, aku ini baik atau buruk? Alif, aku tau apa yang kamu lakuin di belakang aku. Tapi, aku bungkam dan terus memaafkan kamu,” sambung Marsya.
“Dinda? Kamu tau dia?”
Marsya membuang napas kasar, “dia cewek yang di cafe itu, dan dia juga yang datang ke kantor mengaku tengah mengandung anak kamu, dia yang suruh aku pergi dari cowok nggak jelas kayak kamu. Dia bahkan bilang, jangan buang-buang waktu buat kamu. Jadi, sabenernya apa yang udah kamu lakuin di belakang aku? Siapa lagi cewek yang kamu tipu setelah Anna?” Marsya semakin menaikkan nada bicaranya.
Mendengar hal itu Alif terlihat terkejut, “Anna? Kamu—“
“Dia temen kerja aku, dia pamer punya pacar ganteng, CEO perusahaan. Dan kamu tau, aku yang harus merahasiakan hubungan kita, kamu tau rasanya di posisi aku yang bahkan bukan selingkuhan kamu tapi harus diam demi menjaga perasaan selingkuhan kamu itu!”
Tubuh Alif terlihat lemas, tampaknya apa yang ia lakukan sudah Marsya ketahui. Ke mana saja Alif, hingga Marsya yang tidak salah apa-apa harus menanggung luka.
“Alif, aku kurang apa di mata kamu? Oh, atau aku memang nggak bisa memuaskan kamu? Sampai kamu main-main sama cewek nggak baik itu? Dinda bilang, aku ini kaku dan nggak bisa bikin kamu leluasa, iya?”
“Bu-bukan itu, Sya.”
“Lalu apa? Apa aku harus melepaskan semuanya sebelum kita menikah? Aku tau, itu yang kamu maksud Alif. Lantas kenapa, kamu nggak menikahi aku secepatnya? Kenapa kamu malah memilih mengukir janji manis pada wanita lain, dan membuang dia ketika sudah tak layak? Kamu tega Alif, mereka nggak salah. Kamu yang udah membodohi mereka.” Marsya menunjuk Alif tepat di depan hidungnya.
Sedangkan Alif tidak bisa berkata-kata lagi, semuanya sudah ketahuan oleh Marsya, dan mungkin malam ini mereka akan resmi berpisah.
“Kamu yakin kalau kita berpisah setelah aku tau kebusukan kamu?” tanya Marsya lagi.
Ia pun melanjutkan, “nggak semudah itu Alif, kamu harus membayar waktu lima tahunku yang ke buang sia-sia. Aku mau menikah, tapi dengan satu syarat. Kamu harus memutuskan hubungan dengan wanita lain, dan berjanji setia.”
Alif pun mulai mengangkat kepalanya, “kamu serius? Kamu maafin aku, Sya?”
Tidak ada lagi yang harus Marsya lakukan, selain menikah dengan Alif yang sudah menghancurkan hatinya.Walaupun sakit, namun cinta untuk Alif tetap ada di dalam hati Marsya. Ia akui, dirinya sangat bodoh untuk terus mempertahankan Alif.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (32)

  • avatar
    StayhalalAbrar

    mantap

    14/07

      0
  • avatar
    Rizky saputraRaihan

    sangat bagus

    05/06

      0
  • avatar
    MardhiaMarsya

    iya lebih kurang begini lh hidupku nyatanya... pas bgt namanya juga sama marsya cowoknya aja lain namenya

    29/04

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด