logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

3. Jawaban Luka

Begitu sampai segera aku pamit pada bunda dan masuk ke dalam mobilku. Sengaja mobil kubawa santai masih ada satu setengah jam lagi sebelum Zuhur. Jujur hati ini belum sanggup bertemu Kak Jesi, tapi hati ini juga berterimakasih karenanya.
Andai dia tidak menceritakan tentang hubunganya dengan kak Deva, mungkin aku tak tahu kalau mereka pernah ada hubungan. Yah, mereka dulu pernah berkomitmen. Jangan bingung dari mana aku mengenal kak Jesi, sebab kami sering bertemu di butik. Namun, dia belum tahu siapa aku. Sejak saat itulah kami akrab karena dikiranya sama-sama pelanggan.
Awalnya dia bercerita jika masih mencintai orang yang selalu buatnya sayang, tapi sekarang menjauh karena kesalahannya. Itu yang kutahu darinya dan saat kutanya siapa laki-laki itu dia selalu mengelak. Hingga beberapa hari lalu aku mengetahui siapa nama laki-laki itu, saat itulah rasa hati ini begitu hancur sehancurnya. Apa lagi saat melihat status kak Deva yang menuliskan.
"Tidak apa-apa kalau kita dijadikan tempat pelarian, itu artinya kita bermanfaat."
Saat itu juga kak Jesi menelpon dan mengatakan kalau kak Deva mengaku masih mencintainya. Wanita mana tidak sakit saat mengetahui itu, sebisa mungkin isakku tidak keluar. Setelah dia selesai menelpon tangisku pun pecah.
Yah, itulah alasannya kenapa rasanya belum sanggup bertemu kak Jesi. Kuhapus air mata yang tadi jatuh, dan menatap wajah di layar kamera Hp. Setelah membuat mimik wajah agar tidak terlihat sedih barulah aku keluar, terlihat kak Jesi sedang tersenyum melihat kehadiranku.
Rasanya begitu berat, tapi aku harus bisa. Anggap saja ini ujian melupakan kak Deva.
"Hai, Kak," sapaku berusaha seceria mungkin.
"Mau pesan apa, Dek? Biar Kakak traktir hari ini," katanya lengkap dengan senyum.
"Orange jus saja," kataku pada pelayan yang baru saja datang menghampiri.
"Samain," kata Kak Jesi.
Kami semua diam dan larut dalam pikiran masing-masing sampai pelayan tadi datang lagi, jujur rasanya aku sudah tidak nyaman dengan suasana sekarang. Kuketuk-ketuk Hp untuk melihat jam, yang sudah hampir jam sebelas kurang sepuluh menit.
"Kak, jadi mau cerita apa?" tanyaku to the point
Dia terdiam dan mengaduk minumannya, terlihat jelas kalau ada beban di hatinta. "Menurutmu apa, Kakak mundur saja?"
"Mundur kenapa?" tanyaku kaget.
Bukannya aku senang dia mundur, tapi menyayangkan bagaimana tidak seorang Deva sudah mengakui rasa.
Namun, begini sikap Kak Jesi. "Kenapa, Kak?" Kuulang lagi bertanya.
"Dia seperti berbeda, cuek dan tidak sama."
"Memang sebelumnya gimana, Kak?"
"Dia perhatian, lemah lembut dan suka menasehati," katanya sambil tersenyum.
Selanjutnya mengalirnya cerita tentang Kak Deva saat bersama dia. Entah kenapa rasanya hatiku sakit sekali melihat senyum itu apa lagi ceritanya, ternyata yang dia perhatian bukan hanya padaku saja.
"Menurut Adek, Kakak harus bagaimana?"
Ingin aku mengatakan diri ini juga mencitainya dan kalau ingin mundur, mundur saja tidak usah banyak drama dan buat kak Deva terluka. Sayangnya kalimat itu tidak mampu kuucapkan, karena rasa itu sudah berkurang.
"Kakak cinta sama kak Deva?" Ya, akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Ada keraguan dari caranya mengangguk, "Kalau, Kakak ragu tegasin sama dia! Kalau, Kakak suka suruh dia buktiin dan katakan Kakak juga sayang ke dia," ujarku kesal.
"Kakak, sudah bilang. Tapi dia malah tidak menanggapi, mungkin ini salah, Kakak."
Mendengar perkataannya yang seperti ingin menangis membuatku tidak tega, "Maaf, Kak. Habisnya Zia kesal, kenapa Kakak tidak minta bukti dan malah biarkan perasaan itu mengalir begitu saja."
"Adek, tidak mengerti bagaimana rasanya mencintai, tapi orang yang dicintai acuh."
"Zia tahu," jawabku cepat. "Zia, tahu persis mencintai lalu diacuhkan, asal Kakak tahu orang yang Zia cintai ternyata masih memiliki rasa pada masa lalunya," lanjutku dengan menatapnya tajam.
"Maksud kamu, Dek? Jadi orang yang sering kamu ceritakan itu masih suka sama masa lalunya?"
"Iya, Kak," jawabku lemah.
Dan itu kamu, hanya saja kalimat itu kusimpan dalam hati bersama perih yang seakan mengoyak-ngoyak. Sakit sekali rasanya, apa lagi orang itu adalah orang selama ini menjadi teman curhat.
"Apa kamu akan melupakannya, Dek?"
"Yah, Zia akan lupa'kan dia dan anggap semua hanya kenangan semata," jawabku tegas.
"Andai Kakak bisa seperti kamu, Dek."
"Kalau, Kakak suka dia jangan biarkan dia berjuang. Jangan biarkan dia bertanya tentang rasanya ke Kakak seperti apa. Tapi, jelaskan kalau Kakak juga suka dia."
Kak Jesi mengangguk dam tersenyum sembari memegang tanganku, "Terimakasih, Dek."
Kuanggukkan saja kepala karena bingung ingin menjawab apa, biarlah sakit ini milikku. Kak Deva berhak bahagia, kulirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima belas menit.
"Kak, Zia pamit dulu, ya. Soalnya mau nemuin ayah," kataku sambil memasukkan Hp ke dalam tas.
"Makasih, ya, Dek."
"Sama-sama, Kak. Kalau begitu Zia duluan, ya."
"Hati-hati, Dek."
Kuanggukan kepala sebagai jawaban iya, gegas kukeluar dan masuk ke dalam mobil. Air mataku kembali tumpah, rasa sesak itu kembali lagi.
"Bodoh ... bodoh," geramku sembari memukul dada yang terasa begitu sesak.
Sakit sekali rasanya saat mengetahui tentang fakta itu dan ceritanya tadi, saking kesalnya kunyalakan mobil dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi.
Semua sudah cukup dan rasa ini harus hilang, yah. Harus hilang dan lenyap bila perlu jangan pernah diingat lagi. Aku harus lupakan, lupakan semua!
Begitu sampai di kantor ayah segera kututup pintu dengan kasar, kantor sepi karena karyawan sedang sibuk. Bergegas kulangkahkan ke ruangan ayah.
"Assalammualaikum, Yah."
"Wa'alaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh, baru sampai?"
Kuanggukkan kepala karena sedang malas bicara, ayah yang paham keadaan hatiku segera mendekati.
"Ada apa, Nak?"
Usapan lembut tangan ayah dikepala membuat hati ini makin sakit, air mataku kembali tumpah.
"Hei, putri cantik Ayah kenapa?" tanya beliau khawatir.
"Sakit, Yah," kataku sambil menunjuk dada.
Ayah yang bingung langsung memelukku, "Menangislah, Nak. Menangislah sampai kamu lega."
Cukup lama aku menangis dalam pelukan Ayah, tapi tetap saja rasa sakit itu masih ada.
"Siapa yang buat anak Ayah menangis?" tanya Ayah tegas, terlihat amarah di sana.
"Jawab Ayah, Dek. Apa ini ulah Deva?"
Kugelengkan kepala tanda bukan, melihat air mataku yang masih menetes Ayah menarik napas dan menghapusnya. "Sudah, ya, Dek," ujar beliau lembut.
Namun, aku tahu Ayah sedang marah. "Ayah, jangan marah dengan siapa pun. Ini salah Dedek," ujarku pelan dengan nada bergetar.
Beliau menatapku dengan serius, seulas senyum muncul meski pun masih ada kilatan amarah di matanya. "Jangan lagi mencintai orang yang sudah menyakitimu, Nak. Ayah tidak mau melihat kamu menjatuhkan air mata hanya demi orang yang salah," pinta beliau tegas
Nak adalah panggilan Ayan sebagai permintaan kalau dia tidak ingin dibantah, kuanggukkan kepala dengan cepat.
"Bismillah," gumamku pelan sambil terus menarik napas dan menghembuskannya.
"Kamu pasti bisa, Dek."
"Makasih, Ayah. Ayah, adalah laki-laki yang tidak akan pernah menyakiti Dedek," kataku sambil mencium takzim tangan beliu.
Ayah hanya tersenyum dan menyuruhku mencuci muka dan berwudhu supaya tenang.
'Aku pasti bisa lupakan semua.'
Yah, aku pasti bisa. Lambat laun semua akan hilang. Ah, andai dulu aku tidak mengenalnya. Saat di dalam kamar mandi terdengar suara notifikasi dari dalam tasku. Tertera notifikasi Mohammad Ali Khan menanggapi cerita anda.
"Cerita? Cerita apa?"
Dari pada penasaran kuklik notifikasi itu dan benar saja dia menanggapi love ceritaku semalam.
"Who is he?"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (92)

  • avatar
    XieYueLan

    Wehehe gak bisa bayanginnya punya suami orang Pakistan. Putri Yue udah hadir disini. hayo ingat gak aku siapa?

    14/08/2022

      0
  • avatar
    Noordiana Binti Abdullah

    so good

    4d

      0
  • avatar
    Budi Mahesa

    good

    14d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด