logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Suamiku Orang Pakistan

Suamiku Orang Pakistan

Eva SulFa


1. Patah Hati

Pernah ga sih kalian patah hati karena dighosting? Kalau pernah fix kita senansib. Rasanya iti nyesek-nyesek gimana gitu, padahal baru kemarin bahas KUA. Eh, siang ini harus tahu sebuah fakta tentangnya kalau sudah pernah bersama, parahnya lagi tahu itu dari masa lalunya. Pengen nangis rasanya, sungguh aku tak kuat menahan rasa ini.
Setelah tahu fakta itu membuatku malas keluar kamar, meski pun bunda terus saja memanggil. Mungkin khawatir dengan anaknya yang sungguh menggemaskan ini. Kucoba menetralkan perasaan yang rasanya begitu menyesakkan dada, bukannya hilang malah air mata menetes lagi. Nyeseknyakan terasa lagi, sakit sekali.
Tahu begini mending keluar saja, kumatikan data di ponsel dan berjalan ke luar tanpa memperdulikan tampilan. Jam segini ayah pasti belum pulang, kalau bunda sejak tadi siang sudah di rumah. Lebih baik ke ruangan bunda, tadikan beliau manggil siapa tahu bisa ngobati hati dedek yang baru saja dighosting.
"Bunda," panggilku pada beliau yang tengah asyik membuat desain baju.
"Hemm."
Ya Allah singkat sekali sama seperti dia yang selalu singkat membalas pesanku, tapi berhasil membuat perasaan ini meningkat. Tega, bunda tega sekali. Masa iya anaknya semenggemaskan ini dicueki, rasanya pengen nangis. Apa pola-pola itu lebih penting, Bun?Hiks.
"Bunda," rengekku lagi dengan suara hampir menangis.
Benar saja bunda langsung menghentikan aktivitasnya dan langsung menatapku, tapi kenapa seperti kaget dan malah tertawa.
"Bunda, kenapa?"
Bukannya berhenti bunda malah makin tertawa, apa wajah ini seperti pelawak? Beliau pun bangkit dan mengajakku berjalan ke arah kaca.
"What?!"
Demi apa pun itu bukan aku, masa iya kaca itu melihatkan orang dengan jilbab seperti marsha di film marsha and the bear, belum lagi mata sembab. Omaigat, tapi wait. Kutatap baik-baik kaca itu, karena mata ini sembab jadi perlu ketelitian melihat kejelasan cintanya. Bukan hanya perhatian, tapi ternyata modus saja.
"Aaaaa!"
Bunda makin ngakak melihat kekagetanku, dengan segera kurapikan jilbab dan baju yang tadi kuangkat dan diikat ke pinggang. Untung memakai leging.
"Bentar, Bunda selesaikan dulu engga lama lagi selesai kok."
Belum menjawab, eh bunda malah langsung duduk lanjuti menyelesaikan desain yang dibuat tadi. Nasib-nasib, beginilah jadi anak orang sibuk. Eh, aku jugakan tadi sibuk. Iya, sibuk mikiri dia yang ngeghosting.
Selagi bunda membuat desain kutatap wajahku dikaca, engga jelek amat. Cantik kok, tapi kenapa bisa dia ngeghosting, ya?
Apa karena tingkahku seperti anak kecil? Engga, kayanya bukan itu. Lagian dia selalu suka tingkahku, katanya aku unik. Aih, dedek jadi melting kalau ingat itu. Sayangnya harus tahu fakta kalau dia pernah ada something sama teman yang aku kenal, meski pun itu dulu rasanya tetap nyesek sampai ke hati.
Kutarik napas dan keluarkan sampai berapa kali, kemudian mencoba tersenyum seperti biasa. Sebuah lesung pipi di sebelah kiri terlihat keluar meski pun samar tidak terlalu jelas, tapi sesaat kemudian ku pasang wajah cemberut. Lelah dedek pura-pura senyum.
Dari pada menatap kaca mending lihat fotonya, tapi mana ponselku? Hadeh, aku baru ingat ternyata tinggal di kamar, dasar pelupa.
Mataku beralih menatap bunda yang sudah membereskan peralatannya tadi, saatnya curhat segera kubantu dan beres tanpa memakan waktu lama. Kami pun keluar menuju ruang keluarga tak lupa juga membawa cemilan.
"Kenapa tadi dipanggil tidak menjawab?"
Tuhkan belum juga mau cerita sudah ditegur, "Dedek lagi patah hati, Bun," cicitku pelan.
"Apa? Sama siapa? Kok bisa?" tanya beliau kaget dan heboh.
Huft, kalau sudah begini otomatis membuka kenangan awal dengannya, dengan amat dan sangat terpaksa. Kuceritakan kembali kisahku dengannya yang sudah membuat hati ini hancur berkeping-keping.
"Ututu sayangnya, Bunda," kata beliau tertawa geli sambil menariku ke dalam pelukannya.
Kubenamkan kepala dalam pelukan beliau, rasanya begitu menentramkan. Beruntungnya diri ini memiliki beliau, sesibuk apa pun pasti menyempatkan waktu mendengar keluh kesah anak gadisnya.
"Dengarkan Bunda, Sayang. Mencintai itu boleh, tapi ingat tetap pada batasannya. Kamu tahu kenapa kamu kecewa?"
Kutundukkan kepala dengan sedih. Iya, ini memang salahku, tak seharusnya berharap pada Faisal. Namun, rasa itu tumbuh dengan sendirinya tanpa bisa kucegah. Sekarang rasa sesak itu menyerang hati, ini semua karena harapanan dan terlalu bawa perasaan hanya karena perhatian kecilnya.
"Bunda," lirihku sambil terus memeluk beliau.
Kutumpahkan semua sesak di hati, inilah akibat terlalu berharap pada manusia.
"Bersikaplah biasa saja, Sayang. Anggaplah kalian seperti baru pertama kali kenal."
"Masalahnya Dedek kalau temu dia pasti deg-deg'an lagi, Bun."
"Bersikaplah seperti kalian pertama kali kenal."
Suara ayah membuatku terlonjak kaget dan melepaskan pelukan, sejak kapan beliau ada di sini. "Ayah, kapan pulang?"
"Barusan."
"Kenapa engga salam?" tanyaku marah.
"Ayah dari tadi salam malah ga ada yang jawab. Ya, udah Ayah masuk saja. Eh, ga tahunya lagi curhat," kata Ayah pura-pura ngambek.
Aku hanya bisa menyengir seperti orang tidak berdosa, kami pun menyalami beliau sembari megucap salam. Ayah pun menjawab salam kami dan ikut duduk juga, bunda menceritakan apa yang kualami.
"Jadi, Dedek suka dia?"
Sesaat aku terdiam bingung harus menjawab apa, hati ini memang mencintai dia.
Namun, ada karena sikapnya yang tidak jujur perihal masa lalunya membuat hati ini sakit.
"Dek."
"Eh, i-iya, Ayah." Panggilan ayah membuatku akhirnya menjawab iya.
Jujur aku takut menatap beliau, bagaimana kalau beliau marah. "Tatap Ayah, Dek."
Perlahan kuangkat kepala menatap beliau dengan rasa takut. "Sejak kapan kamu mencintainya?"
"Sejak dia mulai akrab, Yah," jawabku takut.
"Oh." Hanya itu saja jawabannya ayah membuatku membelakkan mata.
Bagaimana tidak tadi pertanyaannya bikin senam jantung, rasanya ingin nangis melihat reaksi beliau. "Ayah," rengekku kesal.
"Lagian kamu itu masih kecil sudah suka-suka saja. Yah, udah nikmati tuh rasa sakitnya," jawab Ayah sambil mengambil minum dan cemilan yang tadi kami bawa.
"Ayah ga paham Dedek," rajukku
"Ayah paham kok."
"Bunda," rengekku lagi.
Bunda terkekeh saja melihat kami, karena setiap saat pasti aku dan ayah berbeda pendapat akan debat. "Kalau kamu suka, ya kejar, Nak."
"Ha? Apa?"
"Kejar Ziasya Virgantama," kata bunda penuh penekan saat menyebut namaku.
Aku menggelengkan kepala sambil cemberut, ya kali cewek ngejer. Walau pun begini masa iya aku harus mengejar dia? No big no, jatuh dong harga diri perempuan nantinya. Memang sih tidak ada salahnya mengejar, tapi maaf itu bukan diriku. Sebab kodrat wanita itu mulia, jadi kalau dia suka pasti akan berusaha mendapatkan kita. Bener ga? Yuk coment menurut kalian gimana?
"Bunda, dengerkan Ayah. Ayah tidak mau Zia mengejar cowok. Dia itu perempuan loh."
"Dari pada Zia murung mulu, Yah."
"Tapi ga begitu, Bunda," kata ayah gemas.
"Ayah, dengerin Bunda. Lagian tidak ada salahnya perempuan mengejar dan mengungkapkan perasaan."
"Memang tidak ada salahnya, tapi Ayah tidak setuju. Lagian kalau dia memang niat sama Zia pasti tidak akan menyembunyikan apa pun."
"Kan Bunda hanya memberi saran kejar kalau dedek mau, Ayah."
"Pokoknya ga boleh."
"Ga ada salahnya, Ayah."
"Pokonya Zia ga boleh mengejar cowok."
Tuhkan ayah saja sependapat denganku eh tunggu, tapi ini kenapa mereka malah yang debat, ya?
"Stop, kenapa malah Ayah sama Bunda yang debat?"
"Kamu setuju saran siapa, Dek?" tanya mereka bersamaan.
Hadeeh, kutepuk jidatku dengan kasar. Kalau sudah begini ribet, lebih ribet dari pada milih baju. Lebih baik pamit ke kamar.
"Dedek, mau ke kamar saja, Yah, Bun." Kucium pipi mereka dan berlalu ke kamar.
"Jadi, Dedek pilih siapa?" tanya mereka sebelum aku masuk kamar.
"Dia," jawabku sambil tertawa dan segera masuk ke kamar.
Pasti mereka debat lagi, biarkan saja karena dengan itu rasa cinta ayah dan bunda pasti akan semakin kuat. Pasti kalian bertanya kenapa? Karena setiap sudah debat mereka akan berebut minta maaf dan saling mengatakan "aku yang salah." Siapa yang suka debat dan setelah itu mengatakan hal itu? Hayo ngaku?
***
Mataku menerawang ke atas mengingat keakraban kami, yang pada akhirnya membuat hatiku kembali sakit. Kenapa bisa aku mencintai dia sebegitu dalam, kenapa? Arrrghhh, rasanya benar-benar menyesakkan hati. Kenapa dia tega membangun harapan, tapi pada nyata masih menyimpan rasa pada orang di masa silam?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (92)

  • avatar
    XieYueLan

    Wehehe gak bisa bayanginnya punya suami orang Pakistan. Putri Yue udah hadir disini. hayo ingat gak aku siapa?

    14/08/2022

      0
  • avatar
    Noordiana Binti Abdullah

    so good

    4d

      0
  • avatar
    Budi Mahesa

    good

    14d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด