logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

2. Diagnosa

Hazan duduk sembari menggoyangkan kedua kaki. Hatinya gusar.
Ia masih mengenakan pakaian kerja lengkap. Sejak semalam, belum sempat ia ganti baju. Hazan tidak memedulikan dirinya, ia hanya peduli kepada Yerin.
Seorang perempuan menghampirinya. Membawa tas jinjing berisi pakaian. Kini ia persis berada di samping Hazan mengulurkan tas jinjing berisi pakaian ganti.
"Ganti baju dulu, Dek.”
Mbak Zahra telah duduk di samping Hazan. Perempuan ini adalah Kaka tertua di keluarga Hazan.
Sejujurnya Hazan enggan mengganti pakaian. Ia lebih memilih menunggu di sini. Jika terjadi sesuatu, tentu Hazan adalah orang pertama yang tahu.
Mbak Zahra adalah sosok yang Hazan kagumi sejak kecil. Dia adalah perempuan mandiri dan cerdas. Berbakti kepada orang tua dan sayang keluarga.
Semua terbukti sekarang, Mbak Zahra lah anggota keluarga yang paling berhasil. Suaminya sering menangani proyek besar. Mbak Zahra pun memiliki bisnis fashion. Ia sebagai distributor pusat, memiliki pelanggan dari Aceh hingga Papua.
Tidak ada alasan Hazan untuk menolak permintaan Mbak Zahra. Ia melenggang menuju kamar kecil untuk berganti pakaian.
Hazan melangkah dengan lunglai. Ia belum merasakan empuknya kasur sejak kemarin. Matanya seperti mata panda.
Hazan teringat akan Abyan. Ia tahu jika putranya bangun tanpa bunda di sampingnya ia bisa menangis, kemudian mencari bunda ke seluruh sudut rumah. Hazan memutuskan untuk mengubungi Abyan melalui Mbak Sarah.
Rumah Mbak Sarah persis di samping Hazan. Ayah mereka sudah mewariskan tanah satu per satu kepada anak-anaknya. Itulah yang membuat rumah mereka berdampingan kini.
Layar telepon sudah menunjukkan wajah Mbak Sarah.
"Mbak, Abyan sudah bangun?" tanya Hazan.
"Sudah, tadi Mbak lihat lagi sarapan telur goreng sama Omah,"jawab Sarah.
"Nggak nangis, Mbak? Boleh kasih hp ke Abyan? Aku mau ngomong," pinta Hazan.
"Ayaaaah," suara Abyan terdengar manja.
Hazan yang merasa bersalah karena meninggalkannya semalam, berpura-pura memasang wajah bahagia.
"Kakak, lagi apa di sana? Kata Bude Sarah lagi makan telur ya sama Omah?"
"Iya, Ayah. Ini Kakak sudah selesai makannya. Ayah lagi di mana? Bunda kemana? Kok nggak ada di samping Ayah? Kata Omah semalam Ayah sama Bunda ke rumah sakit ya?"
Abyan bertanya tanpa jeda. Anak laki-laki ini memang selalu bertanya jika belum puas akan sesuatu. Rupanya penjelasan Omah semalam masih belum bisa memuaskan rasa ingin tahunya.
Hazan tersenyum. Sembari menyusun kalimat yang tepat agar memuaskan rasa ingin tahu putranya.
"Iya Kak. Ayah sama Bunda lagi di rumah sakit. Sekarang Bunda lagi diperiksa sama dokter. Kakak doain ya, supaya Bunda segera sembuh dan bisa pulang lagi. Kakak yang pinter ya di sana, jagain Omah".
Abyan menunjukkan wajah berbeda. Mata bulat yang biasanya terlihat antusias kini tidak terlihat.
Awalnya Abyan terlihat jelas di layar kamera. Setelah Hazan bicara, hanya ada langit-langit rumah yang memenuhi layar. Abyan meninggalkan video call begitu saja.
“Abyan, Kaka…”
Terdengar suara Omah memanggil cucu laki-lakinya itu.
"Hazan… "
Omah memanggil menantunya. Menampakkan wajahnya dengan balutan kerudung berwarna moca.
"Abyan ngambek kayanya. Tadi lari ke luar menuju rumah Sarah ".
"Iya nggak apa-apa, Ma. Mungkin kangen sama Bundanya.” Hazan memaklumi.
"Tadi malam juga Abyan nangis nyariin Yerin. Ya Mama jelaskan saja kalau kalian sedang di rumah sakit. Gimana keadaan Yerin sekarang?"
"Kondisi Yerin menurun, Ma. Aku dan Mbak Sarah lagi menunggu hasil radiologi. Mudah-mudahan hasilnya baik ya, Ma."
Hazan semula ragu untuk bicara jujur, tapi ia tak sanggup menyimpan kebohongan. Bagaimana pun Omah adalah orang yang paling berarti untuk Yerin. Begitu pun sebaliknya.
Panggilan video telah diakhiri. Wajah Mama lebih murung dari biasanya. Hazan segera menuju kamar kecil untuk mengganti pakaian.
Handphone Hazan kembali berdering. Panggilan masuk dari Mbak Zahra.
***
Hawa dingin terasa di ruangan berukuran 8x5 meter ini. Hazan dan Mbak Zahra telah duduk dihadapan dokter Bony.
Yerin telah membaik. Ia butuh penanganan khusus. Sekarang ia tempatkan di ruang ICU. Di ruangan tersebut Hazan tak perlu khawatir meninggalkannya, karena sudah ada perawat yang bertugas menjaga.
Dokter Bony telah memegang lembaran berwarna hitam putih. Foto rontgen Yerin akan disampaikan kepada Hazan dan Mbak Zahra.
"Bapak dan Ibu, ini hasil rontgen Ibu Yerin", ujar dokter Bony sambil menunjuk ke arah hasil rontgen.
"Jadi bagaimana hasil pemeriksaan istri saya, Dok?" tanya Hazan.
Dokter Bony menatap Hazan dan Mbak Zahra dalam. Ia menghela nafas. Kabar seburuk apapun harus disampaikan kepada keluarga bersangkutan.
"Jadi begini, Pak, berdasarkan gejala batuk dan sesak nafas yang dialami istri bapak awalnya saya mengira ini adalah masalah paru-paru. Ternyata setelah hasil rontgen keluar, Bapak bisa lihat di sini...", dokter Bony menunjukkan gambar yang lebih spesifik.
"Kondisi ini tidak normal, Pak. Pertama ada flek di paru-paru istri bapak. Kemungkinan ini disebabkan oleh virus. Walaupun hasil swab belum keluar, sebaiknya tetap waspada. Kedua, ada pembengkakan di jantung istri Bapak. Inilah yang menyebabkan istri Bapak sesak nafas dan sakit dada," ujar dokter Bony.
Hazan tidak mempercayai informasi dari dokter Bony begitu saja. Ia tahu bahwa istrinya sejauh ini sehat dan tidak pernah mengalami keluhan apapun.
"Dok, jangan bercanda. Istri saya tidak pernah ada keluhan sakit jantung. Keluarganya pun tidak ada yang memiliki sakit jantung. Kalau pun ada infeksi virus, istri saya tidak pernah pergi kemana pun. Ia selalu di rumah. Apalagi semenjak pandemi covid ini." Hazan mencoba menyangkal.
"Ini hasil rontgen dan data ini akurat Pak. Memang terkadang semua ini di luar kehendak Bapak atau pun saya sebagai dokter. Saya hanya menjadi wasilah untuk menyampaikan dan membantu istri Bapak. Semuanya kita serahkan lagi kepada Tuhan, Pak".
"Apakah ada obatnya, Dok? Apakah istri saya bisa sembuh? Lalu bagaimana bayi yang sedang ia kandung?"
"Saat ini hanya mukjizat dari Tuhan yang bisa kami harapkan, Pak. Saya pun berharap istri Bapak bisa sembuh. Bapak yang tegar ya."
Runtuh sudah tembok pertahanan yang Hazan bangun. Ia dan Mbak Zahra memilih meninggalkan ruangan.
Mbak Zahra tidak mampu berkata melihat sang adik yang begitu terpukul dengan diagnosa dokter.
Mereka memilih untuk mengunjungi Yerin di ruang ICU.
Ruangan yang steril dan tenang. Hanya boleh satu orang yang mengunjungi pasien.
Hazan menatap Yerin dengan iba. Selang terpasang di setiap tubuhnya. Ia pandangi perut Yerin, buah hati tercinta setia menemani bunda di dalam sana bahkan hingga kondisi tersulit.
Hazan memegang tangan Yerin. Matanya berkaca. Ia belum bisa menerima kenyataan.
Yerin menggerakkan tangan. Matanya telah terbuka sedikit demi sedikit. Sebuah senyuman terlukis dengan indah di wajah teduhnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (84)

  • avatar
    AvikaVika

    bagus banget

    20/08

      0
  • avatar
    JayaAgung

    wkwk

    19/08

      0
  • avatar
    NaufalAsep

    ok banget

    31/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด