logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Game Over, 07

"Cantik banget." Jaendra meneliti penampilan Saima sebelum pemuda itu menggandengnya untuk masuk mobil.
"Kita mau ke mana?"
"Rahasia." Jaendra memasangkan sabuk pengaman Saima, setelahnya memasang sabuk pengaman untuk diri sendiri. "Oke, cantik?"
"Oke."
Jaendra meraih tangan Saima untuk dicium.
"Babe." Jaendra menoleh sekilas, membagi fokus dengan jalanan karena mobilnya sudah berjalan meninggalkan gerbang komplek rumah Saima. "Sebelum berangkat, mampir ke rumahku dulu, ya? Baru ingat tadi ada yang ketinggalan."
"Apa?"
"Ada, deh."
Saima mendengus. "Penting?"
"Banget." Jaendra mengedipkan sebelah mata. "Beneran cuma mampir, kok."
"Oke."
Mobil berhenti saat lampu merah menyala.
"Aku sempat baca perkiraan cuaca hari ini, dan terimakasih Tuhan karena katanya cuaca hari ini bakalan cerah seharian."
Saima menarik sedikit turun kaca mobil. Melihat sendiri jika cuaca hari ini memang secerah itu.
"Kan?" Jaendra kembali menjalankan mobil saat lampu yang sebelumnya berwarna merah berganti warna hijau. "Pokoknya semua waktumu hari ini buat aku. Nggak boleh protes, kamu sendiri yang bilang lagi free. Oke?"
"Oke."
Jaendra tertawa. "Tumben, dari tadi langsung oke-oke aja. Ngambek? Kayaknya nggak mungkin."
Tentu saja tidak mungkin. Lagipula mendapati wajah Jaendra yang secerah itu, rasa bahagia yang juga ikut terpencar benar-benar menular. Hati Saima justru menghangat alih-alih sebaliknya.
"Babe. Menurutmu, penampilanku hari ini gimana?"
Itu pancingan.
Saima tahu Jaendra. Mengetahui jika tanpa perantara orang, pemuda itu sudah menyadari sendiri kalau dirinya memang setampan itu.
"Nggak jomplang, kan? Sama kamu yang cantik banget?"
Jaendra mengenakan kaos putih dipadukan jaket denim dan celana jeans, outfit yang sejauh ini selalu menjadi favorit. Sebenarnya apa yang Jaendra kenakan hari ini atau hari-hari bisanya, tidak ada bedanya. Sama-sama terlihat, "Bagus," komentar Saima.
"Ganteng juga nggak?" Jaendra cengengesan.
"Ganteng."
Jaendra terdiam dengan jakun yang bergerak menelan ludah. Terdengar pemuda itu mengumpat lirih lantas menyugarkan rambut beberapa kali.
"Babe ..." Jaendra menggeram, tetapi bukan dalam artian buruk.
"Kamu ganteng, Jae," tegas Saima.
Posisi Jaendra yang tengah mengemudi membuat Saima tidak bisa leluasa menatap keseluruhan wajah pemuda itu kecuali telinga kekasihnya yang jelas memerah.
"Nggak pernah siap aku sama kamu yang mode manis gini." Jaendra mengusap tengkuk. "Beruntung aku lagi nyetir, kalo nggak ..."
Saima menepuk paha Jaendra.
Jaendra menoleh, memperlihatkan seringai.
"Fokus nyetir, Jae."
"Awas aja kamu nanti." Mobil Jaendra berhenti sebentar saat sampai di depan gerbang masuk komplek perumahan, menunggu sang satpam menarik ke atas palang penjaga agar jalan terbuka.
Meneliti keadaan tempat ini yang se-elite itu dan dihuni oleh orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas, tidak heran jika fasilitas juga keamanan yang ada sangat memadai.
"Jae?" Panggil Saima saat Jaendra tak kunjung memajukan mobil padahal pintu sudah terbuka dan malah terpaku menatap mobil di depan sana yang berhasil masuk.
"Jae." Tidak hanya memanggil, kali ini Saima juga menyentuh lengan Jaendra.
"Setelah dipikir-pikir, apa yang tadi mau aku ambil nggak terlalu penting."
Saima mengernyit ketika Jaendra justru memundurkan mobil.
"Kita udah sampai, Jae."
Jaendra menatap Saima, nyengir. "Hehehe, buang-buang waktu, ya? Sorry. Jangan marah, please?"
***
"Stop, Babe!" Seru sosok yang berada dalam jarak satu meter dari Saima tersebut.
Saima yang sebelumnya tengah menikmati rasanya berjalan menyusuri bibir pantai, berhenti sejenak.
Jaendra dengan sebuah kamera terkalung di leher tersebut mengangguk. "Iya, diem disitu. Jangan kemana-mana." Tangan pemuda itu memberi gestur supaya Saima berhenti.
Saima mengernyit. Sesekali ia membenahi anak rambutnya yang terbang karena angin yang berhembus, menutupi wajah. Sebab hari ini ia memang tidak mengikatnya.
"Kenapa, sih?"
Jaendra tersenyum. "Agak mundur sedikit coba."
"Buat apa?"
"Mundur aja."
"Ngapain mundur?"
"Pokoknya harus mundur."
"Tapi aku nggak mau."
"Babe ..."
Saima menatap penuh selidik.
"Nggak, Babe. Enggaaak. Aku nggak ada ngerencanain yang aneh-aneh." Jaendra mengangkat dua jemari tanda peace. "Ayo, mundur Cantik."
Saima menghela nafas. Sebenarnya ia kesal karena Jaendra tidak mau memberitahu apa yang kini pemuda itu tengah rencanakan. Hanya saja, memilih menurut sepertinya lebih baik ketimbang berdebat karena kali ini Jaendra nampak tidak mau mengalah.
Baiklah.
Saima mundur sedikit.
"Nah ... gitu dong dari tadi." Jaendra nyengir senang. "Terus ..." Pemuda itu terlihat berpikir sejenak sebelum lanjut mengatakan, "Geser ke kanan."
Saima menatap datar.
"Hehehe. Ayolah, Babe!"
"Oke."
"Geser ... hmmm, oke, stop! Pas. Udah segitu aja, Babe."
Saima diam. Menunggu intruksi Jaendra yang barangkali akan kembali terdengar.
"Wow," komentar Jaendra.
"Apalagi?" Tanya Saima, agak sarkas.
Jaendra hanya cengengesan. Tidak mengatakan apa-apa sekalipun pemuda itu nampak mengarahkan kamera dan memotret Saima tanpa aba-aba.
"Jae!" Protes Saima.
"Bagus kok, beneran." Jaendra berjalan mendekat untuk memperlihatkan pada Saima hasil jepretannya. "Nih, kalo nggak percaya, lihat aja sendiri."
Saima melihatnya.
"Bagus, kan?"
Saima tidak menjawab, namun diam-diam dalam hati ia mengiyakan. Dalam foto tersebut, wajahnya memang tanpa senyum tetapi sepertinya hal tersebut tidak menjadi masalah karena pemandangan pantai yang Jaendra sertakan di dalam fotonya sangat pas, membuat salah fokus ketika mata memandang.
"Cantik banget," komentar Jaendra. Pemuda itu mengalihkan tatapan dari kamera kemudian memandang Saima. "Aku udah bilang belum?"
"Cantik banget? Udah."
Jaendra tertawa keras, pemuda itu sepertinya sadar jika Saima tengah menyindirnya. "Kamu emang gemesin." Lalu lanjut tertawa.
Tidak hanya wajah, Telinga Jaendra bahkan sampai memerah karena kebanyakan tertawa. Pemuda itu sempat menyentuh telinganya yang memakai anting kecil—Jaendra memang menindik kedua telinganya by the way. Sudah lama, tepatnya saat lulus sekolah—sebelum mengatur nafas agar tawa pemuda itu mereda. Begitu berhasil lantas berkata, "Apa yang kamu kamu pakai buat jalan kita kali ini."
"Ini maksudnya?" Saima menunjuk apa yang ia kenakan. Sebuah dress berwarna hitam dengan panjang di bawah lutut. "Kenapa?"
Lalu, lesung di kedua pipi Jaendra tercetak.
"Selama ini, aku benar-benar nggak pernah lihat kamu nggak cocok pakai pakaian apapun. Entah itu modelnya norak? Ngebosenin? Tetap aja anehnya ... cocok-cocok aja di kamu. Cantik."
"Terus?"
"Tapi yang kamu pakai kali ini benar-benar beda banget."
"..."
"Bukan cuma cocok, bukan cuma cantik." Jaendra mengalungkan kameranya ke leher Saima sebelum mencubit kedua pipi Saima dengan cara yang begitu menyebalkan. "Tapi ... kamu juga jadi kelihatan—damn! Sexy banget, Babe."
Jaendra mengedipkan sebelah matanya.
"Mesum!"
Jaendra terbahak begitu Saima menjitak pemuda itu tepat di ubun-ubun.
Alih-alih balas menjitak, Jaendra lebih memilih mencium pipi Saima lantas segera berlari kabur begitu mendapatinya siap mengamuk. Meninggalkan ia yang panik, menoleh ke kanan kiri, dan untungnya tidak ada orang yang melihat apa yang barusan terjadi.
Saima melipat tangan di dada. Tetap diam di tempatnya sekalipun Jaendra berulangkali memanggil namanya untuk bergabung. Ia menonton.
Menyaksikan bagaimana Jaendra melepas sepatunya—entah apa maksudnya, Saima tidak tahu, pemuda itu menggulung habis lengan kaos putih pendeknya dan memperlihatkan secara cuma-cuma bisep berotot tersebut—sebelum menggila, berlari menyusuri bibir pantai seraya berteriak kencang.
Saima tersenyum tipis. Tempat ini, ah, tidak. Lebih tepatnya pantai ini ... tidak berubah. Suasananya masih sama dan kini, ia tidak menyangka bisa kembali datang bersama sosok sama yang waktu itu juga mengajaknya kesini untuk kali pertama.
Jaendra Eka Maharga.
Masih ingat betul bagaimana dulu pemuda itu mengejarnya tanpa mengenal kata lelah meski hanya acuh yang Saima berikan. Berkali-kali ia menghardik kejam, tetapi Jaendra terlalu keras kepala untuk mundur.
Lalu, puncaknya, ada di sini.
Di pantai ini, Jaendra kembali menyatakan perasaan yang sudah kesekian kali. Tanpa bunga atau bau keramaian seperti yang pemuda itu lakukan sebelumnya. Segalanya berlangsung sederhana, tidak neko-neko, akan tetapi begitu bermakna diingatan.
Jaendra menggenggam tangannya. Pemuda itu tidak banyak berbicara selain mengatakan pada Saima betapa ia layak dicintai karena selanjutnya Jaendra menunduk lantas ... menangis.
Bukan jenis tangis meminta belas kasih, Saima tahu. Tetapi hatinya kala itu yang sekeras batu tetap melayangkan pertanyaan pada Jaendra. Apakah pemuda itu menangis agar ia berubah pikiran? Terlalu kejam namun anehnya Jaendra tidak marah.
Jaendra hanya menggeleng kecil, tersenyum. Kemudian dengan suara serak, pemuda itu menjawab, jika dirinya menangis karena terlalu senang. Tidak menyangka bisa mencintai seseorang bukan hanya sedalam ini tetapi juga ... setulus ini.
Mungkin awalnya, Saima menerima Jaendra karena berpikir, tidak ada salahnya mencoba. Tanpa rasa sayang, tanpa rasa cinta.
Kemudian, waktu berlalu sangat cepat. Sudah satu setengah tahun Saima bertahan di samping Jaendra, banyak hal telah terjadi, rasanya akan terdengar sangat bohong jika ia mengatakan kalau belum merasakan kedua rasa tersebut.
Saima merasakannya.
Senyata ini.
Dan, sepenuhnya mempercayai Jaendra adalah cara yang Saima gunakan untuk menunjukan betapa besar perasaan yang ia miliki.
***
Setelah lelah berteriak kesana kemari, Jaendra mengadu pada Saima bila pemuda itu merasa lapar. Ia hanya bisa memutar bola mata malas ketika mengatakannya, Jaendra seakan-akan tidak bertenaga, setelahnya adalah merangkul dan menumpukan setengah bobot tubuh padanya yang membuat ia oleng tentu saja.
Berjalan meninggalkan pantai seraya menenteng sepatu, Jaendra bertanya padanya ingin makan dimana. Saima memberi saran untuk mencari tempat makan terdekat saja, sebab ia juga merasa lapar.
"Kalo gitu, gimana kalo kita makan di warungnya itu tuh, yang udah pernah kita datengin. Waktu dulu aku ajak kamu ke sini," usul Jaendra.
Saima tentu langsung mengiyakan. Namun, siapa sangka? Saat sampai di warung yang Jaendra maksud, terdapat kejutan disana.
"Woy, bucin!"
Jaendra menoleh.
"Abis ngemis dimana lo?"
Jaendra berdecak. Tangan Saima yang tengah digenggam tertarik, saat Jaendra membawanya pada meja yang diisi oleh tiga orang yang tentu ia tahu merupakan teman-teman Jaendra.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Jaendra pada sosok berwajah terlihat garang, Yudha namanya.
Jaendra menarik satu kursi kosong yang tersedia untuk duduk Saima. Selanjutnya, pemuda itu mengambil kursi kosong di meja lain untuk tempat duduk sendiri, menempatkannya tepat di samping Saima.
Tidak ketinggalan, Jaendra juga menyempatkan menyelimutkan jaket denimnya yang sebelumnya sempat dilepas dan ditinggalkan di mobil pada bahu terbuka Saima karena model dress tali yang dikenakan.
"Yeu, si bucin, gue lagi nanya malah ditanya balik. Ya, lo pikir gue lagi ngapain disini selain makan? Ngew—akh, Niken! Apaan si lo?!" Yudha mengusap kupingnya yang baru saja kena jewer.
"Mulut lo, Yudh. Tolong dikondisikan. Ada Saima."
Saima tidak tahu harus memberi respon apa saat Niken yang berada di samping kanan Yudga melempar senyum tidak enak. Gadis yang mengenakan kaos super ketat yang memperlihatkan perut rata tersebut berikutnya menyapanya, terlalu akrab seolah tengah membuktikan jikalau pertemuan terakhir mereka di ćafe waktu itu membuat hubungan keduanya menjadi dekat padahal Saima tidak merasa begitu.
Untungnya, sosok lain yang berada di samping kiri Yudha bersuara. Pemuda yang Saima ketahui agak pendiam dan memiliki wajah bak tokoh komik tersebut menatap Jaendra. "Lo dari mana?" Tanya Theo.
Jaendra nyengir. "Biasalah," jawab pemuda itu sembari merangkul mesra Saima. "Abis jalan dong."
"Pamer terooos," sinis Yuta. "Emangnya lo doang yang bisa pamer? Gue dong, diajakin Niken jalan. Tapi sayangnya setan satu ini segala mau ikut." Yudha menunjuk Theo. "Ngerusak suasana aja, udah enak cuma berdua padahal."
Saima mendapati Theo yang menatapnya lama sesaat sebelum beralih saling tatap dengan Jaendra—yang ternyata juga tengah ditatap oleh Niken, gadis itu tampak menipiskan bibir.
Theo menyeringai, nampak biasa saja meski Jaendra menatap pemuda itu dengan wajah tidak suka yang jelas terpampang sekalipun musnah begitu Jaendra menoleh pada Saima.
Masih merangkul, Jaendra mengusap rambut Saima. "Babe, kamu mau pesan apa?"
"Aku—"
"Bibi, kimi mii pisin ipi?" Yudha  menirukan kalimat Jaendra dengan gaya bicara mengejek. "Anjirlah. Cabut sekarang aja, yuk, Ken? Dari pada lama-lama di sini nontonin orang ngebucin. Iri enggak, sakit mata iya."
Yudha merangkul Niken yang diam saja. "Katanya tadi lo mau ngajakin gue ke tempat yang istimewa banget buat lo. Bisa jalan kaki nggak, sih? Kata lo pantainya dekat-dekat sini."
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (56)

  • avatar
    Rusmiati

    suka banget sama alur ceritanya, bikin greget dan gak mau berhenti baca... kharakter Saima the best banget, mampu menyembunyikan perasaan itu gak mudah dan gw salut sama saima. jadi baper pokonya.

    08/08/2022

      3
  • avatar
    harmoniWahana

    bagus sekali

    9d

      0
  • avatar
    SaputraAprianda

    bagus 😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎😎

    25/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด