logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 4

Bab 4
Aku kembali ke ruang tamu.
Semuanya kini duduk di sofa ruang tamu.
Mas Agung yang duduk selalu berdekatan dengan zahra tak memperdulikanku yang terus menatap benci padanya. Setelah hening beberapa saat, Pak Rt yang masih kerabat Ibu Mertua, memulai pembicaraan.
"Bagaimana, bisa kita mulai sekarang?" Aku mengangguk begitu juga yang lain.
"Indi, apa kabar, Nak?" Ayah Mertua menyapa dengan wajah teduhnya. Sepertinya khawatir mungkin, aku tidak tahu.
"Baik, yah. Alhamdulillah."
"Syukurlah .…" Lelaki itu menarik napas panjang.
"Jadi, apa yang membawa kalian semua kesini? Aku banyak pekerjaan, jadi tak usah berlama-lama lagi," ucapku langsung.
"Baik, Nak Indira, kalau begitu langsung saja. Saya sebagai RT dan juga perwakilan keluarga besar Bapak Ali, yaitu Mertua Nak Indira sendiri. Ingin membicarakan sekaligus mendamaikan atas masalah dan juga bagaimana dengan hubungan kalian kedepannta.
Maksud saya, Agung, Zahra, dan Nak Indira sendiri sebagai istri pertama Agung." Pak RT menghela nafas panjang kemudian berbicara lagi.
"Jadi, saya mau tanya, dari pihak Nak Indira maunya bagaimana? Karena tidak mungkin jika kita terus-terusan larut dalam masalah. Sementara tidak ada kejelasan disini. Semuanya harus di selesaikan segera. Bagaimana dengan keinginan Nak Indira sendiri? Silahkan menjawab."
Aku menatap tajam Mas Agung. Yang sejak tadi tak mengalihkan pandangan pada Zahra. Hanya sesekali menatapku.
"Saya tidak akan memeperpanjang masalah ini. Saya sudah putuskan mau berpisah dengan Mas Agung," jawabku jelas tanpa basa-basi. Yang langsung membuat Mas Agung menoleh cepat. Aku tahu lelaki itu tak percaya akan mendengar perkataan dariku.
"Nak." Ibu bersuara lirih.
"Pikirkan dulu, kasihan Adi,'' sarannya dengan menggenggam tanganku.
"Maaf, Bu, aku tidak mau dimadu dan aku tidak terima jika Mas Agung menikahi perempuan itu tanpa seijinku."
"Indi, bukankah sudah kubilang alasannya, kenapa kamu tidak mengerti, hah?" Mas Agung berkata dengan raut wajah merah. Dia mengacak rambut kasar.
Dasar egois kamu Mas.
"Maaf, Mas, Bu. Keputusanku sudah bulat. Mari kita akhiri semuanya. Aku meminta padamu sekarang. Tolong kabulkan dana jangan dipersulit. Aku mohon!" Aku sama sekali tidak menyesali keputusanku, karena bagiku keputusan yang kuambil sudah benar menurut pemikiranku. Lagipula Adi juga sudah berkata demikian. Anak kecil yang seharusnya tidak tahu masalah orang dewasa.
"Tidak, Indi, Aku takkan menceraikanmu!"
Mas Agung berteriak. Aku mendelik tajam. Kenapa sikapnya berubah. Bukankah dia tahu, jika aku pernah bilang dulu, bahwa aku tak akan sudi jika di madu. Tidak akan.
"Aku tidak peduli, Mas. Ceraikan aku sekarang juga!!" balasku dengan menekankan kata cerai. Dia harus tahu, bahwa aku tidak mau berbagi. Berpisah bagiku lebih baik daripada harus menahan sakit diduakan.
"Tidak akan pernah!!"
"Aku mohon!"
"Tidak sampai kapan pun."
"Mas." Zahra ikut campur sambil berdiri dan menahan tangan Mas Agung yang mengepal.
"Biarkan Mbak Indi dengan keinginannya." Seperti dialah korbannya, Zahra menatap benci padaku. Tapi kutahu, dia pasti bahagia dalam hatinya.
Kubalas tatapan keduanya tak kalah tajam.
Kita lihat, apa kamu bisa memilih, Mas.
"Zahra!" bentak Mas Agung.
"Mas jahat." Zahra duduk kembali dan tak bisa berkata-kata.
"Indi, Mas mohon, jangan seperti ini." Rajukanmu tak akan berhasil kali ini Mas. Tekadku sudah bulat.
"Kalau begitu, tinggalkan dia!!!" telunjukku mengarah pada Zahra. Membuat Zahra nampak kaget dan menganga.
"Indira! jangan lancang kamu!!!" Wajah lelaki itu memerah seperti menahan amarah.
Aku tak peduli.
Kamu memang keras kepala, Mas. Egois.
Kenapa kamu tidak mau melepaskan aku. Bukankah sudah ada Zahra disisimu.
"Nak, berikan pilihan lain, selain kata cerai. Tidakkah kamu kasihan pada Adi lagipula tidak ada salahnya jika kamu mencoba untuk menerima Zahra sebagai adik madumu." kali ini Ayah Mertua yang bicara.
Beliau memang baik dan selalu bijaksana.
Namun bagaimana aku bisa menerima perempuan itu, bahkan dalam mimpi pun aku tidak sudi untuk di madu.
"Maaf, Ayah. Indi tak sudi berbagi suami. Apapun alasannya!" jawabku lemah.
"Cobalah dulu, Nak Indi. Berikan kesempatan suamimu untuk berusaha berbagi dengan kalian berdua," ucap Pak RT ikut meyakinkan.
"Itu benar, Indi" Ibu dan Ayah Mertua ikut menimpali.
"Tapi, Bu, Yah."
"Ayah percaya padamu, Indi." Aku tidak bisa berkata-kata lagi karena tak mungkin juga aku melawan ucapan Ayah Mertua. Meskipun sebenarnya Aku memang sudah tidak sudi bersama dengan Mas Agung suamiku. Tapi kenapa seakan mulutku tak bisa berkata lagi. Hingga akhirnya aku memilih diam dengan kepala yang terasa pening.
Sedangkan Mas Agung, sepertinya senang. Dia menarik napas lega, kulihat dari raut wajahnya.
*****
Tiga hari bersamaku dan empat hari bersama Zahra, dengan alasan Zahra tengah hamil muda. Itulah keputusan yang mereka diskusikan tadi.
Aku tidak ikut menanggapi karena merasa semua percuma saja. Toh, aku tidak diberikan pilihan untuk menolak dan memberikan pendapatku.
"Aku akan kembali setelah mengantar Zahra dan keluarga yang lain pulang," pamit Mas Agung sebelum aku beranjak ke kamar. Namun hanya kubalas dengan anggukan.
🍎🍎🍎🍎🍎
Hingga malam, bahkan besok paginya menjelang.
Mas Agung sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya.
Sepertinya berat buat lelaki itu untuk meninggalkan Zahra yang memang lebih segala-galanya dariku. Aku memang kalah usia, penampilan, gaya rambut bahkan sampai cara bicara pun aku kalah jauh di belakangnya.
Pantas saja jika Mas Agung lebih mengutamakan Zahra, istri mudanya. Dan tak peduli pada hatiku.
"Bu, kok bengong begitu, sih?" Adi yang tengah sarapan melirik tak suka kepadaku. Membuatku tersadar dari lamunan.
"Eh, enggak, kok. Ibu hanya sedang berpikir tentang belanjaan." Aku terpaksa tersenyum, meski hati sebenarnya merasa tidak menentu.
"Ibu ga usah bohong, deh. Adi tahu Ibu lagi mikirin Ayah khan?" Ah, anak itu, meski masih SD tapi seakan tahu banyak tentang isi hatiku.
Aku memang bercerita pada Adi tadi malam bahwa ayahnya akan pulang, dan aku berkata padanya agar ia tidak bersikap dingin pada Mas Agung. Namun nyatanya kini, bahkan hidungnya pun tak kelihatan.
Pembohong.
"Adi, kamu nggak usah peduliin Ibu, kamu fokus aja pada sekolahmu, ya?" Aku mengusap lembut kepalanya yang sedikit basah, bekas mandi tadi.
Anak kecil itu mengangguk.
"Bu, Adi mau tinggal berdua sama ibu, tanpa Ayah juga nggak apa-apa."
Deg! Aku terpaku dengan permintaanya. Sekaligus tak mengerti kenapa dia sampai meminta hal itu.
"Kenapa tiba-tiba, Di?"
"Aku mau bahagia sama Ibu, aku nggak mau lihat ayah, Bu." Anak itu terlihat sedih. Sebagai seorang Ibu, aku bisa membaca isi hatinya.
"Iya, Sayang. Kita pasti akan bahagia." Aku mengecup kepalanya lembut. Sepertinya Adi menyimpan kebencian terhadap mas Agung.
*****
"Indira … dimana kamu?" Teriak Mas Agung dari ruang tamu. Aku yang baru saja selesai sholat duha segera menghampirinya.
"Ada apa, Mas?" tanyaku langsung.
"Kok malah tanya, kalau suami pulang itu sambut dong, biasanya juga khan begitu. Lupa kamu?" sungut Mas Agung terlihat sedikit kesal.
"Maaf Mas, aku sudah tak berhasrat lagi menyambutmu. Bukankah sudah ada Zahra yang siap menyambut dan membawamu ke pelukannnya?"
"Disini khan tak ada Zahra, gimana sih kamu?" Mas Agung terlihat kesal.
"Kalau begitu, balik lagi sana dan temui Zahra."
"Apa kamu tak suka aku pulang ke sini, Indi?"
"Ya, jika kamu ingin pergi lagi, silahkan!"
"Kamu itu, ya, tiap aku datang kesini selalu saja mengajak bertengkar. Membuatku gak betah tinggal di rumah." Mas Agung terlihat kesal. Ia mengacak rambutnya kasar lalu menyandarkan kepalanya di sofa.
"Buatkan aku kopi," suruhnya, dengan mata yang masih memandang plafon ruang tamu.
"Aku …"
"Apa untuk sekedar kopi saja aku harus marah lagi, Indi?" Aku berlalu segera ke arah dapur. Malas rasanya harus mendengar kata-katanya yang sudah jauh berubah dari Mas Agung yang dulu.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (337)

  • avatar
    Firda Naura

    what if i told you i love you

    5d

      0
  • avatar
    Danzz Restianzz

    bagus banget ceritanya

    14d

      0
  • avatar
    SilvaAline

    parabens amei o livro, super bom gostei demais

    21d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด