logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 5

Kasih terbangun saat pintu kamarnya di ketuk. Badanya terasa pegal karena kelelahan, ditambah selepas sholat subuh tadi ia malah tertidur di lantai hanya dengan beralasakan sajadah, bahkan mukenanya pun belum sempat di lepas.
Tok, tok, tok. Ketukan kembali terdengar untuk kesekian kalinya.
Kasih buru-buru melepas mukena dan melipatnya, kemudian bergegas membuka pintu.
"Kamu baru bangun, Nak?" tanya Pak Darno saat melihat Kasih menguap.
"Iya, Pak. Tadi abis subuh ketiduran."
"Kamu sepertinya lelah sekali, tadi malam bapak panggil buat makan juga nggak bangun," ajak Pak Darno.
"Iya maaf, Pak. Kasih nggak dengar Bapak manggil," ucap Kasih sambil menunduk.
"Ya sudah, ayo kita sarapan dulu," ajak Pak Darno.
Mereka lalu menuju ruang makan bersama.
"Enak banget baru bangun langsung makan, udah kayak nyonya besar aja," sindir Bu Welas.
Kasih hanya diam, ia berusaha untuk tidak menghiraukan sindiran ibunya.
"Ini masih pagi, Bu. Jangan mulai bikin keributan," ujar Pak Darno tajam.
Bu Welas mendengus sebal, tapi akhirnya duduk juga di sebelah suaminya. Bu Welas mengambil piring kosong lalu mengisinya dengan nasi serta lauk dan menghidangkanya di depan sang suami.
"Dimana Raja? Bapak nggak liat dia dari semalam," tanya Pak Darno.
"Raja nginep di tempat temanya, ada tugas katanya," sahut Bu Welas.
"Nah, itu dia pulang," ucap Bu Welas lagi dengan antusias saat mendengar suara sepeda motor memsuki halaman rumah.
Kasih melihat ibunya berlari keluar untuk menyambut putranya. Lagi, rasa perih itu datang kembali. Padahal kemarin saat ia pulang dari kota yang jauh, ibunya hanya acuh saja. Namun, ketika Raja yang pulang, Bu Welas nampak sangat bahagia. Padahal Raja hanya pergi ke tempat temanya.
Sesaat kemudian Bu Welas datang dengan menggandeng Raja yang tengah menekuri ponselnya. Bu Welas menyuruh Raja duduk di kursi lalu menghidangkan makananya dengan penuh perhatian.
"Makan yang banyak, cah bagus," ucap Bu Welas lembut.
Raja yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya mendongak. Ia terkejut saat melihat Kasih yang duduk di sebelahnya.
"Kenapa pulang, Mbak?" tanya Raja, menatap Kasih heran.
Pertanyaan yang sama persis dengan ibunya saat pertama kali bertemu Kasih.
Tidak bisakah mereka menanyakan kabarku dulu sebelum bertanya alasanku pulang? Kasih membatin dengan perasaan dongkol.
"Dia kena PHK dan jadi pengangguran sekarang. Bener-bener nggak berguna," cibir Bu Welas.
"C'k, nambah-nambahin beban keluarga aja," ujar Raja nyelekit.
"Jaga ucapan kamu, Raja!" sentak Pak Darno tajam.
Raja terperangah melihat kemarahan Bapaknya. Terang saja ia terkejut, selama ini Pak Darno tidak pernah membentaknya.
"Kenapa Bapak marah? 'Kan yang aku bilang bener," sungut Raja tak terima.
"Kamu nggak pantas bicara begitu. Biar bagaimanapun Kasih itu Kakakmu. Hormati orang yang lebih tua," ucap Pak Darno tegas.
"Sudah, Pak, jangan di perpanjang. Aku nggak apa-apa, kok," ucap Kasih membujuk Pak Darno agar tidak marah.
Ia tidak ingin keluarganya menjadi bahan omongan tetangga karena sudah bikin ribut dari pagi. Apalagi kemarin orangtuanya sempat berdebat dengan suara keras. Bukan tidak mungkin ada tetangga yang mendengarnya lalu menggunjingkan mereka.
"Puas kamu, Kasih? Senang kamu bikin keluarga ini ribut?" bentak Bu Welas pada putrinya.
Kasih menatap tak percaya pada ibunya. Mengapa jadi ia yang di salahkan? Padahal Kasih sama sekali tidak membuat keributan, sejak kepulanganya kemarin ia hanya diam meskipun selalu di sindir dengan kata-kata pedas oleh ibunya.
"Sudah diam, Bu. Jangan menyalahkan Kasih. Memang sikap Raja yang keterlaluan."
Pak Darno menatap tajam istri dan putranya. Meski tampak tidak terima, Bu Welas dan Raja hanya bisa diam dan menurut.
"Ayo kita mulai makan saja, lupakan masalah tadi," ucap Pak Darno dengan suara yang lebih lunak.
Pak Darno menatap Kasih yang masih bengong dengan piring kosong.
"Kasih, kenapa piringmu masih kosong? Ayo makan, mau bapak ambilkan?"
"Nggak perlu, Pak. Kasih ambil sendiri aja."
Kasih lalu mengisi piringnya dengan sedikit nasi, sayur sop dan sambal. Saat akan mengambil sepotong ayam goreng, Bu Welas menggeser piring berisi ayam itu agar menjauh dari jangkauan tangan putrinya.
"Ini buat Raja, kamu makan aja tempe atau telur dadar itu," ucap Bu Welas dengan tatapan tajam.
Kasih menarik kembali tanganya yang sempat terulur, rasanya ingin sekali marah. Namun, pantaskah marah dan benci pada orang tua sendiri? Meski tak dapat dipungkiri, kebencian itu perlahan mulai muncul di hatinya.
"Jangan begitu, Bu. Itu 'kan ayamnya masih banyak, bagi Kasih juga sepotong."
"Nggak bisa, Pak. Ini buat lauk Raja makan siang nanti."
"Buat makan siang 'kan bisa masak lagi, Bu. Lagian itu ayamnya masih banyak, lebih dari cukup kalo cuma buat lauk makan siang."
"Enak aja nyuruh masak lagi. Sekarang itu bahan-bahan mahal, Pak, jadi harus irit." Bu Welas masih membela diri.
Kasih menarik nafas berat, sakit rasanya di bedakan oleh ibu sendiri. Sedangkan Raja sibuk melahap makananya sambil bermain ponsel. Pak Darno menggelengkan kepalanya, ia memilih mengalah dari pada mereka ribut lagi.
"Ini, Nak, kamu makan ayam punya bapak aja," ucap Pak Darno seraya memindahkan potongan ayam gorengnya ke piring Kasih.
"Nggak usah, Pak, buat bapak aja. Kasih biar makan pakai tempe dan telur," tolak Kasih.
Kasih mengambil potongan ayam itu dan mengembalikan pada bapaknya. Namun, Pak Darno menolak dan meletakanya kembali ke piring Kasih.
"Nggak apa-apa, bapak bosen sama ayam, lagi pengin telur dadar."
Pak Darno tersenyum, lalu dengan cepat mengambil sepotong telur dadar dan melahapnya.
"Makasih, Pak," ucap Kasih dengan mata berkaca-kaca.
"Halah, lebay!"
Bu Welas mendengus sebal melihat kelakuan suami dan putrinya yang menurutnya berlebihan.
Sayangnya saat mendengus itu ia sedang mengunyah satu gigitan besar daging ayam. Karena dengusanya yang tiba-tiba ia pun tersedak daging ayam yang belum selesai dikunyah.
*******
Kasih akhirnya bisa duduk setelah seharian sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Ibunya dengan alasan menjaga toko, telah melimpahkan semua pekerjaan rumah pada Kasih.
Setelah sarapan tadi pagi, Kasih harus segera beberes. Mulai dari menyapu, mengepel lantai, mencuci piring, mencuci baju, menjemur hingga menyetrika pakaian yang sudah kering yang jumlahnya menggunung.
Entah sejak kapan pakaian itu belum di setrika oleh ibunya, hingga tumpukanya sampai menggunung. Setelah kumandang adzn dzuhur, Kasih baru bisa meluruskan pinggangnya.
Kalau saja Pak Darno ada di rumah, bapaknya itu pasti membela Kasih. Sayang, Laki-laki itu sudah berangkat ke sawah setelah sarapan. Setelah pensiun Pak Darno memang menyibukan diri dengan mengelola sawah miliknya.
Meski sawahnya cuma tersisa beberapa petak saja, tapi karena ia telaten merawatnya hasil panen setiap tahunya pun bagus. Setidaknya kebutuhan beras untuk keluarganya sudah terjamin.
"Enak ya, santai-santai di rumah sementara ibu capek jagain toko."
Bu Welas muncul dari pintu samping yang menghubungkan rumah dengan tokonya. Melihat Kasih tengah duduk berselonjor kaki di ruang tengah, membuat emosinya naik.
Kasih diam saja, niatnya setelah sholat dzuhur ia ingin istirahat sambil menghubungi sahabatnya, Nia. Sejak kemarin ia belum sempat mengabari Nia jika ia sudah sampai kampung dengan selamat.
Kasih takut Nia mencemaskanya. Namun, baru satu menit ia duduk ibunya sudah datang dan marah-marah.
"Heh, kamu budeg apa gimana?" sentak Bu Welas tidak sabar karena Kasih hanya diam.
"Kasih baru selese beberes, Bu. Bukanya sedang santai seperti dugaan Ibu," jelas Kasih dengan sabar.
"Halah, nggak usah alasan. Sekarang kamu masak sana, ibu udah lapar."
"Iya sana masak, Mbak. Aku juga lapar," sambung Raja yang baru keluar dari kamarnya.
Pemuda itu selalu saja sibuk dengan ponselnya. Kali ini ia sepertinya tengah mendengarkan musik, terlihat dari telinganya yang tersumbat earphone dan kepalanya yang sesekali bergoyang.
"Ini 'kan punyaku."
Kasih reflek menarik earphone yang sedang digunakan Raja saat menyadari bahwa benda itu adalah miliknya.
"Apa sih, Mbak? Kasar banget," sentak Raja Marah.
"Ini punyaku, kenapa kamu ambil tanpa ijin?"
"Aku cuma pinjem. Pelit banget jadi orang."
"Kalo pinjem itu ngomong, izin sama yang punya. Kalo nggak izin berarti kamu nyuri bukan pinjem."
Raja mendelik mendengar ucapan Kasih. Wajahnya berubah merah padam menahan amarah.
"Kamu nuduh aku nyuri, Mbak?"
"Kasih, berani kamu nuduh Raja mencuri?" bentak Bu Welas tak terima putra kesayanganya di tuduh pencuri.
Kasih meremas baju gamisnya sebagai pelampiasan emosi. Ia sudah lelah bekerja seharian, tapi tidak pernah dihargai. Sedang Raja yang hanya ongkang-ongkang kaki malah selalu di bela oleh ibunya.
"Memang benar 'kan yang aku bilang, Bu? Bukankah ibu dulu mengajari begitu? Dulu saat aku pinjam barang milik Mas Bagus tanpa ijin, ibu juga bilang kalo aku pencuri."
Bu Welas membelalakan matanya, wajahnya terlihat sangat terkejut karena Kasih mulai berani membalas ucapanya.
Dulu sewaktu kecil, Kasih pernah meminjam sebuah penggaris milik bagus. Padahal ia sudah berulang kali meminta izin, tapi bagus tidak memberinya. Padahal penggaris itu juga tidak sedang digunakan oleh bagus.
Kasih kecil saat itu sudah mengerti, Bagus yang lebih tua tiga tahun darinya itu hanya ingin membuatnya kecewa. Karena Kasih sangat butuh penggaris tersebut untuk mengerjakan tugas sekolah, akhirnya ia pun mengambilnya diam-diam.
Bagus marah saat melihat Kasih menggunakan penggaris miliknya lalu mengadukanya pada Bu Welas. Bu Welas pun murka dan mengatai Kasih dengan sebutan pencuri.
Meski sudah berulang kali kasih menjelaskan masalahnya, Bu welas tidak pernah mau peduli. Ia hanya peduli dan percaya pada putranya saja.
"Kenapa diam, Bu? Benarkan yang aku katakan?"
Suara Kasih yang terdengar seperti mengejek seketika membuat ibunya emosi.
"Putraku tidak mungkin mencuri. Kamu sebagai kakak harusnya yang lebih pengertian. Ngalah sedikit lah sama adikmu," ucap Bu Welas sengit.
Kasih berulang kali mengucap istighfar dalam hatinya, berusaha meredam emosi yang meluap-luap. Harus mengalah seperti apa lagi untuk di hargai oleh ibunya? Apakah pengorbananya selama ini masih kurang? Sudah cukup.
Kasih tidak ingin lagi berdiam diri. Ia harus bisa membela haknya mulai saat ini. Hak untuk dihargai, hak untuk diperlakukan secara adil. Hak untuk mendapatkan cinta yang sama dari ibunya.
"Apa belum cukup pengorbananku selama ini, Bu? Apa salahku hingga ibu begitu membenciku?" tanya Kasih dengan suara bergetar.
Bu Welas hanya mencebikan bibirnya. Sedangkan Raja terlihat begitu senang dengan pembelaan ibunya. Wajahnya yang angkuh semakin terlihat pongah.
"Memangnya pengorbanan apa yang sudah kamu lakukan?" cibir Bu Welas.
Kasih menarik nafasnya dalam, bersiap untuk memuntahkan semua unek-unek yang terus dipendamnya selama ini.
"Dari kecil aku selalu mengalah. Aku diam saat ibu lebih memperhatikan Mas Bagus dan Raja. Aku diam saat ibu memanjakan mereka, membelikan mereka mainan dan baju-baju yang bagus. Sedangkan aku ibu paksa memakai kaos dan celana pendek bekas Mas Bagus. Padahal aku ini perempuan, tapi aku selalu memakai baju bekas laki-laki."
"Berapa kali ibu membelikanku baju baru? Paling cuma setahun sekali di saat lebaran. Sedangkan Mas Bagus dan Raja, kapan pun mereka minta ibu akan langsung mengajak mereka belanja."
Kasih berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Sementara Bu Welas dan Raja terlihat santai, sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Kasih.
Meski begitu, Kasih tetap melanjutkan aksinya mengeluarkan semua racun di hatinya. Ia takut kebencian yang perlahan hadir akan semakin menumpuk jika ia tidak meluapkan isi hatinya.
"Aku terima saat ibu tidak mau membiayai sekolahku. Untunglah saat itu ada nenek yang bersedia menanggungnya. Bahkan baju-bajuku pun lebih banyak nenek yang membelikan. Dan setelah aku bekerja, ibu selalu minta sebagian gajiku. Aku ikhlas memberikanya, tapi kenapa ibu tidak pernah menghargaiku?"
Kasih mengusap air mata dengan ujung lengan gamisnya. Ia sudah berusaha keras untuk tidak menangis. Namun, rasa sakit di hatinya begitu besar hingga membuat pertahananya jebol seketika.
"Udah ngomongnya? Pake nangis segala, lebay!" cibir Raja dengan songongnya.
"Baru berkorban segitu aja bangga. Kamu bayangin ibu yang sudah bertaruh nyawa saat melahirkanmu. Sampai mati pun kamu nggak akan bisa membalasnya," Bu Welas menimpali dengan sinis.
Kasih tertunduk, air matanya semakin deras mengalir. Ternyata percuma saja berbicara dengan orang yang hatinya sudah tertutup. Tidak ada lagi ruang baginya. Ibu dan adiknya bahkan tidak bisa bersimpati sedikit saja padanya.
"Lagian kamu itu perempuan, memang sudah jadi tugasmu untuk berkorban membantu keluarga. Kalo kamu ikhlas ya, nggak usah ngeluh. Dasar munafik," ketus Bu Welas.
"Udahlah, Bu. Biarin aja benalu nggak guna ini. Sekarang aja hidup cuma numpang sama ibu, kok, sok-sokan marah-marah. Dasar nggak tahu diri," sindir Raja sengit.
"Dia ini emang nggak ada gunanya. Nyesel kenapa dulu pas bayi nggak ibu buang aja," sahut Bu Welas sambil mendorong kepala Kasih dengan jari telunjuknya.
Kasih semakin tergugu. Hatinya perih mendengar setiap kata yang diucapkan ibunya. Sementara Raja tersenyum lebar karena merasa telah menang telak dari Kasih.
"Udah mending ibu masak sekarang, aku laper."
Raja merajuk sambil bergelayut manja pada ibunya. Bu Welas menatap putranya dengan lembut.
"Aduh kasian anak ibu. Ayo, ibu masakin menu favoritemu nanti. Cumi saos padang?"
Raja bersorak kegirangan, mereka lalu beranjak pergi tanpa memedulika Kasih yang masih terisak. Niat hati ingin mengungkapkan perasaan agar merasa lega, Kasih justru merasa semakin sesak dan terpukul.
Sepertinya memang sudah tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungan Kasih dengan ibunya. Bukan Kasih tidak mau berusaha, tapi ibunya lah yang sudah menutup hatinya rapat-rapat.
Selama ini ia berpikir, jika diamnya dan pengorbanya sedikit demi sedikit akan meluluhkan hati Bu Welas. Namun, kenyataan berkata lain. Hati perempuan itu semakin keras bahkan membatu. Karena itulah, mulai saat ini Kasih diam dan mengalah lagi.
Lihat saja, Kasih akan membuktikan bahwa ia lebih bisa berguna dibanding dua saudaranya yang kolokan itu. Tunggu saja!
=================================

หนังสือแสดงความคิดเห็น (29)

  • avatar
    UdinSolik

    crita bagus

    22/06/2023

      0
  • avatar
    LestariArbiDwi

    bagusss

    07/04/2023

      0
  • avatar
    dickyzulkarnain

    ok baik

    10/03/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด