logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 4

"Lho, ngapain kamu pulang?"
Bu Welas terkejut kala membuka pintu dan mendapati Kasih tengah berdiri di teras rumahnya sore ini.
"Assalamualaikum, Bu," ucap Kasih lalu meraih tangan ibunya dan menciumnya.
"Kenapa pulang?"
Bukanya menjawab salam, Bu Welas malah kembali menanyakan alasan kenapa Kasih pulang. Kasih yang merasa lelah setelah lebih kurang delapan jam berada di bus, hanya bisa menahan rasa dongkol.
Kasih sudah sangat ingin masuk ke kamarnya untuk merebahkan diri dan meluruskan punggungnya setelah duduk di kursi bus yang sempit selama berjam-jam. Namun, sesampainya di rumah Bu Welas menyambutnya dengan tidak ramah. Jangankan beramah tamah, memeprsilahkan masuk pun tidak.
"Ditanya orang tua, kok diem aja?" ucap Bu Welas dengan tatapan tidak senang.
Kasih baru akan menjawab ibunya ketika suara langkah kaki terdengar mendekat hingga mengurungkan niatnya.
"Ada apa ini?" tanya Pak Darno saat muncul di belakang istrinya yang berdiri di ambang pintu.
"Lho, Nduk. Kamu kapan pulang?" tanya Pak Darno sumringah saat melihat Kasih.
Pak Darno lalu menghambur keluar untuk memeluk putrinya. Membuat Bu Welas harus memiringkan badanya agar suaminya itu bisa lewat.
"Baru aja, kok, Pak," jawab Kasih sambil memeluk satu-satunya orang yang mungkin masih peduli kepadanya.
"Ayo masuk, kamu pasti capek abis perjalanan jauh."
Pak Darno mengambil alih tas kasih lalu menuntunya masuk rumah.
"Awas tho, Bu. Kamu ini anak pulang bukanya di suruh masuk, malah petentengan di pintu," tegur Pak Darno pada istrinya.
Bu Welas hanya melirik dengan malas lalu berjalan masuk rumah. Pak Darno mengajak Kasih duduk di ruang tamu. Meski raut mukanya masih tidak senang, Bu Welas ikut duduk di samping suaminya.
"Bu, tolong kamu bikinin minum buat Kasih. Kasian abis perjalanan jauh."
"Halah, Pak. Kayak tamu aja dibikinin minum segala. Ini 'kan di rumah sendiri, ambil lah sendiri kalo haus," jawab Bu Welas sinis.
"Jangan gitu tho, Bu. Kalo Raja pulang ngampus aja kamu langsung sibuk siapin makan minum. Ini Kasih datang dari jauh kamu biarin," ucap Pak Darno terlihat mulai kesal.
Kasih yang melihat orang tuanya mulai berdebat segera menengahi.
"Nggak apa-apa, Pak. Nanti biar Kasih ambil sendiri aja."
"Memang seharusnya begitu. Perempuan itu tugasnya melayani bukan dilayani," sahut Bu Welas.
"Kamu juga perempuan tho, Bu. Berarti kamu juga harus melayani. Sana ambilkan minum," balas Pak Darno.
"Yang pantas dilayani itu laki-laki. Ngapain melayani sesama perempuan. Lagian Kasih itu posisinya sebagai anak, pantasnya dia yang melayaniku," Bu Welas masih saja beralasan.
"Susah emang ngomong sama orang keras kepala," gerutu Pak Darno.
Bu Welas hanya menanggapinya dengan dengkusan serta mulutnya yang bergerak-gerak mencibir.
"Kamu ambil cuti, Nduk? Atau sedang liburan?"
Pak Darno kini kembali mengalihkan perhatiannya pada Kasih, yang sedari tadi hanya diam menunduk. Meski sudah terbiasa dengan sikap ibunya, tapi ia tidak dapat mungkiri jika rasa perih tetap saja hadir di sudut hatinya.
"Pabrik tempat Kasih kerja tutup karena pandemi, Pak. Jadi banyak karyawan yang kena PHK," jawab Kasih pelan.
Gadis itu semakin menundukan kepala, takut akan reaksi ibunya.
"Apa? Jadi kamu di PHK?" tanya Bu Welas dengan nada tinggi.
Kasih mengangguk dengan lemah. Seperti yang sudah ia duga sebelumnya, ibunya sangat marah.
"Dasar nggak berguna. Baru berapa bulan kerja sudah kena PHK. Kamu emang nggak bisa diandalkan, bisanya cuma bikin repot orang tua," maki Bu Welas dengan nafas memburu.
Kasih hanya bisa menangis mendengar setiap umpatan yang ibunya lontarkan. Ingin rasanya ia melawan, tapi ia masih berusaha untuk menghormati permpuan yang telah melahirkanya itu. Bagaimana pun ibunya adalah orang yang berjasa bagi hidupnya.
"Sudah lah, Bu. Ini bukan salah Kasih, tapi karena musibah yang sedang melanda negeri. Bahkan seluruh dunia juga merasakanya," ucap Pak Darno.
Lelaki yang rambutnya mulai memutih itu berusaha menasihati istrinya yang terus saja memarahi Kasih.
Bu Welas akhirnya berhenti marah-marah, tapi masih mencebikan bibirnya dengan kesal.
"Kasih, kamu masuklah ke kamar untuk istirahat. Tenang saja, Kamarmu bersih karena selalu bapak bersihkan," ucap Pak Darno dengan lembut.
Kasih mengangguk sambil mengusap air matanya. Ia lalu beranjak masuk kamar sambil membawa tas ranselnya.
Benar kata Pak Darno, meski lama ditinggal kamar Kasih tetap terlihat rapi dan bersih. Kasih meletakan ranselnya di lantai, lalu merebahkan tubuh lelahnya diatas kasur busa miliknya.
Jika Bagus dan Raja bisa tidur nyaman dengan springbed yang empuk, Kasih harus puas hanya dengan kasur busa.
Kasih hampir saja terlelap saat mendengar orang tuanya berdebat. Suara mereka terdengar jelas, mungkin karena mereka sudah berpindah dari ruang tamu ke ruang keluarga yang berada di dekat kamar Kasih.
"Bagaimana, Pak? Bapak setuju buat jual sawah kita, 'kan?"
Suara Bu Welas terdengar sangat mendesak sedangkan Pak Darno hanya menarik napas kasar berulang kali.
"Sudah bapak bilang, bapak nggak akan jual sawah itu, Bu. Kenapa kamu terus maksa?"
"Tapi kita butuh uang untuk bantu nikahanya Bagus bulan depan, Pak. Selain itu, Bagus juga minta bantuan buat bangun rumahnya di Kalimantan," ujar Bu Welas gusar.
"Makanya nikah sederhana aja, nggak usah mewah-mewah. Uangnya nggak ada, kok maksa."
Pak Darno mulai kesal. Sedari dulu istrinya selalu memanjakan kedua putra mereka. Sawah warisan miliknya yang begitu luas kini hanya tinggal beberapa petak saja.
"Kamu itu terlalu memanjakan Bagus sama Raja, Bu. Apa yang mereka mau selalu kamu turutin, akibatnya sawah warisan dari orangtuaku terjual semua demi memenuhi gaya hidup mereka yang sok mewah."
Kasih terkejut saat mendengarnya. Ia baru tahu jika sawah orangtuanya yang luas itu sudah banyak yang terjual.
Kasih jadi ingat, sejak dulu Bagus dan Raja memang selalu dimanja oleh ibunya, apa yang mereka mau selalu dikabulkan.
Bagus bahkan lulusan universitas terkenal di jakarta, yang pasti biaya persemesternya sangat mahal. Belum lagi biaya hidupnya disana, untuk kost makan dan lain-lain. Mungkin karena itu sawah mereka sampai banyak terjual.
"Bapak kok, jadi perhitungan begitu. Lagian juga kita jual sawah buat anak, Pak. Bukan buat orang lain," sungut Bu Welas tak kalah sengitnya.
"Bapak bukanya mau perhitungan, Bu. Coba ibu mikir, kalo sawah yang cuma sisa beberapa petak itu dijual, kedepanya kita mau makan apa? Warungmu pun sekarang sepi. Nggak bisa kalo cuma ngandelin pensiunanku, belum lagi biaya kuliah Raja yang mahal! "
"Kita masih ada sawah yang lain, Pak? Sawah itu aja yang dijual." Bu Welas masih belum menyerah merayu suaminya.
"Sawah yang mana lagi?" tanya Pak Darno.
"Yang dekat jalan itu, warisanya emak. Itu pasti laku mahal, Pak. Cukup itu buat Bagus," ujar Bu Welas semangat.
Kasih masih setia mendengarkan obrolan mereka. Pantas saja ibunya selalu meminta uang padanya. Rupanya keuangan keluarganya tidaklah semakmur dulu.
"Jangan ngawur kamu, Bu. Itu sawah bagianya Kasih. Kamu sendiri dengar amanah emak sebelum meninggal 'kan? "
"Sama aja, Pak. Emak itu ibuku, harusnya aku yang lebih pantas dapat warisan bukan anak itu," sanggah Bu Welas sengit.
Kasih kembali dibuat terkejut. Selama ini ia sama sekali tidak mengetahui jika ia mendapat warisan dari neneknya.
"Nggak, sertifikatnya mau bapak balik nama menjadi namanya Kasih. Kamu nggak berhak, Bu. Neneknya mewariskan itu khusus untuk Kasih," seru Pak Darno.
Dari nada suaranya mulai terdengar jika ia tengah menahan emosi. Kasih bangkit dari posisinya berbaring. Kini ia sudah duduk tegak diatas ranjang. Perdebatan kedua orang tuanya masih terus berlangsung.
Kasih mulai takut jika kedua orang tuanya lepas kendali dan saling menyakiti satu sama lain. Namun, untuk keluar kamar dan melerai juga ia tak berani.
"Kamu kenapa selalu membela anak itu, sih, Pak? Sekali-sekali pikirkan juga Bagus dan Raja!" seru Bu Welas dengan suara melengking.
"Aku yang harusnya tanya, kenapa kamu selalu membenci Kasih? Apa salahnya? Bagus dan Raja sudah sedari dulu menikmati hartaku, tapi Kasih selalu kamu sisihkan. Mana pernah kita membahagiakanya? Seharusnya sudah sejak dulu bapak tegas membelanya," balas Pak Darno dengan getar suara di ujung kalimatnya.
Seperti ada rasa sesal dari setiap kata yang diucapkanya. Kasih menangis haru saat mendengar pembelaan bapaknya. Sedang Bu Welas semakin meradang.
"Anak nggak berguna itu buat apa di bela? Syukur aku masih mau membesarkanya. Sekarang ibu nyesel, harusnya emang dibuang aja pas masih bayi dulu!"
Plak!
Pak Darno menampar pipi Bu Welas karena sudah sangat emosi. Sikap istrinya kali ini memang sudah keterlaluan. Kasih seketika berlari keluar kamar. Dilihatnya sang ibu tengah menatap nyalang bapaknya sembari memegang pipinya yang memerah bekas tamparan.
"Jaga ucapanmu, Bu! Kasih itu putri kita. Kenapa kamu selalu memperlakukanya seperti musuh, hah?" sentak Pak Darno garang.
Kasih terpaku, lututnya serasa lemas kehilangan tenaga. Ia tidak pernah melihat bapaknya semarah ini. Matanya merah dengan nafas tersengal karena menahan emosi yang meluap.
Setelah mendapat tamparan dan bentakan tidak lantas membuat Bu Welas ketakutan. Justru ia terlihat semakin murka.
"Kamu tanya kenapa, Pak? Bukanya kamu yang paling tahu alasanya? Apa kamu sudah lupa perbuatanmu dulu? Kamu dan mendiang ibumu lah penyebabnya. Jangan sok suci kamu, Pak!" raung Bu Welas dengan suara lantang.
Tubuhnya tampak bergetar karena menahan emosi. Namun, air mata tampak mulai mengaliri wajahnya. Sorot matanya jelas sekali menampakan luka, tapi ia menututupinya dengan segala emosi yang siap meluap kapan saja.
Tanpa di duga setelah mendengar ucapan istrinya, amarah yang semula terlihat begitu membara dari mata merah Pak Darno seketika meredup. Hilang, menguap tanpa bekas. Laki-laki itu terlihat lunglai lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang keluarga.
"Aku tahu, Bu, tapi itu semua masa lalu. Tak bisakah kamu berdamai sekarang?" ucap Pak Darno pelan.
Bu Welas tertawa sambil berkacak pinggang di hadapan suaminya yang terduduk dengan lesu. Kasih semakin tidak berani mendekat, ia masih tetap terpaku di depan kamarnya.
"Gampang banget kamu nyuruh aku berdamai sama masa lalu. Bukan kamu yang mengalami, jadi kamu nggak akan ngerti, Pak!" sahut Bu Welas dengan nada tinggi.
"Kalaupun kamu masih dendam, kenapa tak meluapkanya padaku? Kenapa harus Kasih yang jadi korbanya? Putri kita tidak salah apa-apa, Bu."
Bu Welas terdiam, tapi jelas terlihat ia masih tidak Terima dengan ucapan suaminya. Namun, sepertinya ia sudah tidak berniat membalas ucapan suaminya lagi.
Beberapa saat kemudian Bu Welas melangkah pergi menuju kamarnya. Ia membuang muka saat melihat Kasih yang berdiri menatapnya. Melenggang masuk kamar lalu menutup pintunya dengan keras.
Kasih menyandarkan tubuhnya di pintu kamar, badanya terasa lelah sekali. Padahal dia tidak ikut bersuara sama sekali, tapi emosinya juga ikut teraduk-aduk karena mendengarkan perdebatan mereka.
Dilihatnya Pak Darno yang masih duduk termenung. Ia jadi ingin tahu, masa lalu seperti apa yang sudah dialami oleh ibunya hingga membuat perempuan itu sangat membenci dirinya.
================================

หนังสือแสดงความคิดเห็น (29)

  • avatar
    UdinSolik

    crita bagus

    22/06/2023

      0
  • avatar
    LestariArbiDwi

    bagusss

    07/04/2023

      0
  • avatar
    dickyzulkarnain

    ok baik

    10/03/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด